Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Friday, January 18, 2019

putra kiyahi bisri syansuri ke 5 dan ke 6


Moechamad Aliaschab alias KH. Abdul AzizBisri

Putra kelima KH. Bisri Syan–suri dan Hj. Chdidjah yaitu Moechamad Aliaschab yang kemudian dikenal dengan KH. Aziz Bisri. Lahir pada tanggal 03 Agustus 1929 (27 Safar 1348 H). KH. Aziz Bisri merupakan sosok kiai yang disiplin, rapi dan tegas.
Ketegasan itu terbukti ketika KH. Aziz Bisri berhadapan dengan suatu kegiatan. Ia selalu menar–getkan harus sukses. Ia juga tak segan-segan meluapkan amarah manakala ada yang tidak disiplin. Jika dalam suatu kegiatan, KH. Aziz Bisri tidak berkenan atau menemukan sesuatu yang tidak sama dengan prinsipnya, seketika itu juga, ia akan marah dan mengambil keputusan supaya kegiatan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kehendak KH. Aziz Bisri.
KH. Aziz Bisri memiliki delapan putra dan putri yaitu KH. Abdul Wahid Aziz, Hj. Noor Azizah Aziz, Hj. Lilik Khodijah Aziz, Hj. Masriatin Aziz, Hj. Noor Fatimah Aziz, Hj. Luluk Muasshomah Aziz, Umi Salamah Aziz dan Noor Hayati Aziz.
Dalam mendidik anak-anaknya, KH. Aziz Bisri memberikan pendidikan secara langsung. Namun ketika tidak sedang bersama, maka pihak pengasuh memberikan pendidikan tersebut.
Dalam berorganisasi, KH. Aziz Bisri cukup berbeda dengan putra-putri KH. Bisri Syansuri lain–nya. Ia memilih untuk memasuki partai GOLKAR (Golongan Karya) yang tidak sejalan dengan perin–tah atau fatwa dari KH. Bisri Syansuri.
KH. Aziz Bisri memiliki alasan tersendiri untuk mendukung dan masuk dalan partai GOLKAR. Ia berpendapat bahwa jika dalam partai tersebut, tidak ada orang NU-nya, lalu siapa yang akan menjadi pihak untuk mengingatkan jika partai tersebut me–lenceng dari ajaran agama Islam. Alasan lain adalah ia ingin memperjuangkan aswaja di partai non-Islam. 

KH. Moechamad Sochib Bisri


KH. Moechamad Sochib Bisri lahir di Jombang 21 November 1932 (23 Rajab 1351 H). Ia ada–lah putra keenam atau terakhir dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah.
Tak hanya dikenal sebagai putra pendiri dan pengasuh pon–dok pesantren Mamba’ul Ma’arif, KH. Moechamad Sochib Bisri juga tersohor sebagai organisatoris, ak–tivitas partai politik dan organisasi Islam Nahdaltul Ulama’. Kiprahnya dibidang politik diawali saat Kyai Sochib masuk dalam fungsionaris parta ber–lambang ka’bah. Pada saat itu Kyai Sochib, terpilih menjadi anggota dewan di wilayah Bangkalan, Madura. Hal ini tidak terlepas dari amanah yang diberikan oleh KH. Bisri Syansuri untuk supaya dapat menjalin hubungan baik dengan para kyai dan saudara di daerah bangkalan.
KH. Moechamad Sochib Bisri, dalam riwayat pendidikannya pernah melakuakan tradisi yang ke–banyakan dilakukan oleh para kyai sebelumnya, yaitu ‘nyantri keliling’. Mulai dari Lirboyo, Lasem, Krap–yak sampai pada Gontor. Hal ini dilakuakan untuk menambah ilmu agamanya hingga lebih matang dalam mangarungi dunia pesantren dan organisasi islam kelak. Pendidikan nyantri keliling tersebut, ti–dak terlepas dari dari dorongan dorongan KH. Bisri Syansuri. Hal ini dilakukan untuk dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan pondok pesantren yang didirikannya kelak.
Setelah malakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, Kyai Sochib Bisri mengikuti jejak KH. Bisri Syan–suri untuk masuk dalam organisasi Islam dan politik pada tahun 1972. Dalam politiknya, KH. Moecha–mad Sochib Bisri tidak terlepas dari partai ber–lambang ka’bah tersebut. Semasa hidupnya, ia sangat loyal pada partai, sehingga banyak pejabat pemerintahan yang selalu menjadikan KH. Moechamad Sochib Bisri sebagai penasihat agama. Selain itu juga, Kyai Sochib Bisri juga aktif dalam kegiatan sosial, yaitu dengan ikut serta dalam kegiatan Rumah sakit umum di Jombang. Kyai Sochib Bisri menjadi penasehat spiritual di rumah sakit tersebut.
Dalam organisasi Islam yang diikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, KH. Moechamad Sochib Bisri pernah memegang tampuk kepemimpinan PCNU di Jombang. Ia juga pernah menjadi pengurus di PWNU Jawa timur. Semasa mengabdi di pesantren, ia juga merupakan pengasuh sekaligus ketua yayasan Mamba’ul Ma’arif. Kedua posisi yang dipegang oleh satu orang tersebut, merupakan yang pertama dan terakhir kalinya terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Setelah sepeninggal beliau, belum per–nah ada yang menjadi pengasuh sekaligus pemimpin yayasan dalam satu waktu.
Dalam persaksian Kyai Akhwan, Mbah Mad—begitu ia menyebutnya— merupakan sosok yang inovatif. Ia tak segan-segan berseberangan dengan ayahnya, Kyai Bisri. Dikisahkan dalam satu kesem–patan, Mbah Mad turut serta dalam perkumpulan Ulama di Jombang bersama ayahnya. Saat itu, para ulama sedang membahas foto. “Seng diharamkan itu gambar, foto itu dijepret, maka boleh. Aku ijen,” demikian tegas Mbah Mad, sebagaimana diceritakan oleh KH. Akhwan.
Kesaksian lain yang diceritakan oleh KH. Akhwan adalah saat jamaah sholat. Kyai Bisri—ayahanda mbah Mad, yang dikenal cukup disiplin selalu mengawasi santri yang tak ikut jamaah. Kyai Bisri tak segan-segan mencari anak yang tidak ikut berjamaah sholat sampai ketemu. “Kalau ketemu disel nang gudang. isinya gudang itu kacang. Yang mbengok itu Kiai Ahmad, karena kacangnya dimakan santri,” demikian tutur KH. Akhwan.
KH. Moechamad Sochib Bisri menikah tahun 1957 dengan Hj. Nadhiroh Mansyur dan dikaruniai Sembilan putra dan putri yaitu, Lathifah Shohib, Zaenab Shohib, Muflihah Shohib, Abd Mujib Sho–hib, Abdulloh, Mas'adah Shohib, Mu'linah Shohib, Abd Mu'id Shohib, dan Abd Salam Shohib. Dimata keluarga, KH. Moechamad Sochib Bisri merupakan sosok yang disiplin, tegas dan perhatian terhadap pendidikan putra-putrinya.

Thursday, January 17, 2019

Putri kiyai bisri syansuri


Hj. Moeasshomah


Hj.Moeasshomah merupakan putri kedua dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Hj. Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal 1339 H), di Denanyar Jombang.
Ia menikah dengan Kiai Hasbullah Salim dan dikarunia tiga orang putra-putri. Pertama, Hj. Muhasshonah Hasbullah, kedua Hj. Sholihaty Hasbullah dan ketiga K. Muslih Hasbullah. Seperti halnya yang lain, ketiga anaknya diberikan pendidikan agama langsung, terutama oleh kiai Hasbullah, walaupun terkadang pendidikan itu juga diberikan oleh sang kakek kyai Bisri.

Hj. Solichah


Hj. Solichah, yang dikemudian hari dikenal dengan Solichah A. Wahid Hasyim dilahirkan di De–nanyar Jombang pada 19 De–sember 1923 (11 Jumadil Awal 1344 H). Ibunya, Hj. Chadidjah, adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakbe-ras. Sedangkan ayahnya, Kyai Bisri Syansuri adalah seorang ulama keturunan kyai dari pesantren Lasem.
Kelahiran Solichah diliputi oleh suasana per–juangan yang membingkai alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai putri seorang kyai, Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi prestige yang melekat dan diwarisinya sejak dilahirkan.
Pada masa Solichah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat diliputi kecemasan, me–nyongsong malapetaka Perang Dunia II. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya sema–kin meluas menjangkau masyakarat di luar pesan–tren, Solichah remaja mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya, yaitu menekankan agar generasi re–maja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial.
Lingkungan pesantren Denanyar dimana Soli–chah remaja hidup dalam kesehariannya, juga me–miliki selera budaya terutama kesenian. Ini berbeda dengan yang hidup di dunia para kolonialis maupun yang digemari oleh para priyayi. Pada masa remajanya, Solichah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilahan dua pandangan dunia yang antagonistik tersebut.
Para gadis juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Dasar pertimbangan urusan perjodohan yang hidup di dunia pesantren berbeda dengan yang hidup di kalangan warga pedesaan pada umumnya. Laki-laki yang kemudian terpilih untuk mendampingi Solichah adalah pilihan Ha–dhratus Syekh Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dari pondok pesantren Tebuireng. Dan, seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra Kyai Cholil dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrohim dipanggil Yang Maha Kuasa.
Pada usianya yang belum memasuki usia ke-15 tahun, Solichah telah menyandang status janda. Solichah kemudian diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitan yang kedua. Calon suami yang kedua juga berasal dari keluarga pondok pesantren, hanya bedanya kali ini Solichah sudah mengenal lebih dahulu calon suaminya. Calon suami keduanya adalah Wahid Hasyim, putra kandung Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sebelumnya Soli–chah sudah pernah bertemu ketika ta’ziyah.
Pernikahan mereka diselenggarakan pada 10 Syawal 1356 H atau 1938 M dan kemudian dikaruniai empat orang anak laki-laki dan dua orang perempuan. Usia perkawinan Solichah dan Wahid Hasyim hanya berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, karena pada tahun 1953 suami tercintanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan. Saat itu, Solichah sedang mengandung anak keenam.
Sepeninggal suaminya, Solichah tetap gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan ke–luarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Solichah inilah yang sangat menen–tukan perjalanan hidup anak pertamanya, Abdur–rahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang presiden. Solichah meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, se–telah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di komplek pemakaman Tebuireng Jombang.

Hj. Moesjarrofah

Hj. Moesjarrofah merupakan putri keempat dari KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Ia lahir pada 31 Desember 1925 bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1344 H). Tahun 1938 Hj. Moesjarrofah melangsungkan pernikahan dengan Kiai Fatah. Waktu itu, Kiai Fatah berusia 25 tahun, sedangkan Hj. Moesjarrofah masih berusia 12 tahun. Perni–kahan tersebut masih ada hubungan kekerabatan dari Hj. Chadidjah yang merupakan istri dari KH. Bisri Syansuri.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua be–las putra dan putri (tiga putra dan sembilan putri) yaitu: (1) Fatimah; (2) Mu’izah; (3) Hj. Nafisah; (4) Hj. Hurriyah; (5) Mahsunah; (6) Hj. Muthmainnah; (7) Hubby Syauqi; (8) Hj. Lilik Muhibbah; (9) KH. Abdul Nasir; (10) KH. Ahmad Taufiqurrahman; (11) Hj. Syafiyah; (12) Bani (meninggal saat kecil).
Hj. Moesjarrofah merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan putra dan putrinya. Da–lam banyak hal, Hj. Moesjarrofah juga tauladan yang dapat dijadikan uswah bagi putra-putrinya dan para santri khusunya perihal ubudiyah. Ia juga dikenal sebagai seseorang yang istiqomah dalam mengasuh pondok pesantrennya. Setelah wafatnya kiai Fattah, ke-istiqomahan Hj. Moesjarrofah tersebut tampak dengan lebih memperhatikan dan selalu menyam–paikan perkataan-perkataan dari kiai Fattah kepada santrinya.
Bagi para santri, Hj. Moesjarrofah adalah figur yang sangat perhatian dan peduli. Hal ini ditun–jukkan tatkala para santri mendapat sebuah masalah, sikapnya sangat tenang dalam memberikan solusi terbaik untuk para santrinya. Santri merupakan sua–tu bagian dari hidup dan keluarga Hj. Moesjarrofah, karena para santri dianggapnya sebagai anak sendiri. Maka dari itu, curahan perhatian dan kasih sa–yangnya sepenuhnya ia berikan untuk santri-santrinya.
Menurutnya, sikap yang demikian adalah ben–tuk tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren pada saat itu. Kecintaannya kepada santri sudah tidak perlu dibantahkan, kecintaan itu juga terwujud ketika Hj. Moesjarrofah mendirikan pondok pesan–tren khusus bagi mereka yang yatim piatu. Kegiatan khusus ia lakukan pada setiap tanggal 10 Muharram dengan mengundangan anak yatim piatu dan me–ngajak makan bersama dengan keluarganya. Kon–sistensinya tercermin dalam dedikasinya pada pen–didikan, utamanya pesantren.
Disiplin, komitmen, konsekuen Hj. Moesjarro–fah dalam masalah al Qur’an dan Ibadah juga terbilang sangat tingi. Ada suatu hal yang selalu menjadi ciri khusus Hj. Moesjarrofah ketika mang–hadapi suaminya untuk berdiskusi, ia selalu meli–batkan orang ketiga sebagai penengah dan mediator. Seseoarang yang selalu menjadi pihak ketiga tersebut adalah KH. M.A Sahal Mahfudz, yang juga menantu kiai Fatah.
Hj. Moesjarrofah merupakan tokoh yang aktif dalam organisasi dan masyarakat. Di antara yang pernah diikuti oleh Hj. Moesjarrofah adalah Mus–limat. Ia sangat aktif dalam mengikuti setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan Muslimat, seperti pengajian rutin kepada masyarakat. Hal ini dila–kukan di kala Hj. Moesjarrofah sudah berusia lanjut. Meski demikian, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian-pengajian. Kecintaannya juga terwujud dalam pengabdian ke masyarakat sekitar. Walaupun Hj. Moesjarrofah merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren besar, namun beliau tetap men–jaga keharmonisan hubungan dengan masyarakat sekitar.

Wednesday, January 16, 2019

Putra kiyai bisris syansuri


KH. Ahmad Athoillah Bisri

KH. Ahmad Athoillah Bisri, putra pertama dari KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. KH. Ahmad Athoillah Bisri lahir di Jombang pada 18 Juni 1916 M. bertepatan dengan 17 Sya’ban 1334 H. KH. Ahmad Athoillah Bisri turut menjalani pendidikan ‘nyantri keliling’ yang merupakan tradisi dalam mendalami ilmu agama Islam. Di antaranya, pernah belajar di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar di bawah asuhan ayahanda, KH. Bisri Syansuri, hingga usia remaja. Kemudian me–lanjutkan ke Pondok Pesantren Tremas Pacitan, seangkatan dengan KH. Mu’thi Ali (mantan Menteri Agama RI) dan KH. Ali Ma’sum (Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak).
Setelah melakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, KH. Ahmad Athoillah Bisri mengabdi pada pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Bisri Syansuri (Ayahnya sendiri). Selama pengabdiannya tersebut, KH. Ahmad Athoillah Bisri menjadi asisten penga–suh. Ketika KH. Bisri Syansuri mulai fokus menjadi anggota DPR, posisi pengasuh pondok pesantren mulai ia pegang.
KH. Ahmad Athoillah Bisri merupakan sosok yang menginginkan pembaharuan, seperti diada–kannya pendidikan salaf ke sistem madrasah dengan berdirinya madrasah Mabadi’ul Huda. Madrasah ini dikemudian hari menjadi MTsN dan MAN Dena–nyar. Semasa KH. Ahmad Athoillah Bisri menjadi pengasuh dan mendidik para santri, kitab yang menjadi ciri khasnya adalah Tafsir Jalalain, Syarah Ibnu Aqil dan Kifayatul Ahyar.
Metode pembelajaran yang diterapkannya, me–makai cara sorogan di kelas, dengan cara santri membaca dan memeragakan, guru mendengar dan meluruskan bacaannya. KH. Ahmad Athoillah Bisri juga terkenal sangat tegas dan disiplin ketika berhadapan dengan para santrinya.
KH. Ahmad Athoillah Bisri merupakan sosok yang sangat mempedulikan kepada santri yang ku–rang mampu, namun sungguh-sungguh dalam me–nuntut ilmu. Sehingga ia tak segan-segan membiayai santri tersebut sampai selesai di pondok pesantren.
Kyai Athoillah menikah dengan Hj. Mahmulah, putri bungsu KH. Masyhoed, Pengasuh Pondok Pesantren Keprabon Solo. Dalam pernikahannya dengan Hj. Mahmulah, ia dikaruniai empat orang putra dan putri yaitu, Ahmad Hafidz Ahmad, Hamidah Ahmad, Halimah Ahmad dan Hanifah Ahmad. Dalam kehidupan keluarga Kyai Athoillah dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan sangat mengutamakan keluarga.

Tuesday, January 15, 2019

Wasiat KH. Bisri Syansuri


Wasiat KH. Bisri Syansuri

Jombang 1980, KH. Bisri Syansuri kembali ke pangkuan-NYA. Seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri menerima jabatan menjadi Rais Aam NU hingga akhir hayatnya pula. Ia meninggal pada hari Jum’at, 25 April 1980, bertepatan dengan 19 Jumadil Ahkir 1400 H, di kediamannya: Pondok Pesantren Mam–baul Ma’arif Denanyar, Jombang. Kiai Bisri wafat pada hari Jumat, “sebagaimana doanya, ia memang menginginkan ajalnya di hari Jum’at,” kenang KH. A. Aziz Masyhuri. Bagi Kiai Aziz, Mbah Bisri itu termasuk pendiri NU yang paling terakhir wafatnya. Ia tidak sekedar pengurus atau aktivis NU, tapi lebih dari itu: Mu’assisu an nahdloh.
Kiprahnya dalam organisasi sosial keagamaan dan politik memberi arti bahwa keteguhan, keda–laman ilmu dan keluasan pandangan telah mengha–dirkan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Meski, berbagai riak menandai perjalananya, tetapi kukuh pendiriannya-lah yang akhirnya mengantarkan NU, baik sebagai jam’iyah maupun sebagai gerbong poli–tik menemukan perannya dalam mewarnai arena politik negeri ini.
Ia dikenang sebagai sosok yang teguh pendi–rian, ahli fiqh yang saklek, namun tetap mau menyediakan seluruh jiwa raganya untuk kebesaran organisasi Islam. Sikap ini, sejatinya juga tak luput dari membekasnya pengalaman saat ia menyaksikan Kiai Wahab mendirikan cabang Syarikat Islam di Makkah: dirasakan perlunya mengorganisir diri da–lam melakukan perjuangan keagamaan, di luar 'kumpulan' masing-masing pesantren.
Kiai Bisri berpulang ke rahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan meta–morfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan.
Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencermi–nan dari penerimaan mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupannya. Sebelum beliau wa–fat, ada beberapa wasiat yang diamanatkan kepada keluarga atau keturunannya.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku Wasiat, yen aku kapundut, supoyo siji: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku papat, diurus anak-anakku ora papat, diurus anak-anakku nuli putu-putuku lan sak teruse. Sak teruse ing ndalem lingkungan jam’iyah organisasi Nahdlatul Ulama.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku makilno moco surat wasiatku nang anakku Hj. Sholichah kang disekseni: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Dalem ngelaksana‘aken dawuhipun Abah. Maosa–ken surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-Hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Aku wasiat yen aku kepundhut supoyo:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang diurus dining anak anakku, nuli putu putuku, sakteruse, lan wong kang disetujui, kang cakep cukup ngurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif, kang
disetujui dining sebagian akeh ahli waris lajer lanang lan wadon.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus lan diasuh dining anak Ahmad Atho’illah lan diwakili anakku Shohib Bisri sak teruse. Serta dibantu anak anakku liyane, nuli putu putuku sakteruse. Lan wongkang dise–tujui kang cakep cukup mengasuh pondok pesantren putra mau kang dimufakati dining golongan kang akeh saking ahli waris lajer lanang lan wadon.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus lan diasuh dining Hj. Mariyam Mah–mud, lan anak anakku, nuli putuku sak teruse, lan wongkang disetujui kang cakep cukup ngurus lan mengasuh pendok pesantren putri mau, kang disetujui sebagian akeh soko ahli warisku kang lajer lanang lan wadon. Yen soko anak-anak putuku sakteruse wis ora ono sing mencukupi syarat, mongko pengurus lan pengasuh pondok pesantren kudu dipilih oleh sebagian akeh ahli waris, kang lajer lanang lan wadon, pengurus yayasan, lan pengusuh pon–dok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Kudu soko wongkang ono lingkungane Jam’iyah Nahdlatul Ulama.


Bismillahirrohmanirrohim
Saya Wasiat, kalau saya meninggal supaya, satu: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku empat, diurus anak-anakku tidak empat, diurus anak-anakku lalu cucu-cucuku dan seterusnya, seterus–nya dalam lingkungan jam’iyah organisasi Nah–dlatul Ulama
Bismillahirrohmanirrohim
Saya mewakilkan baca surat wasiatku pada anakku Hj. Sholichah yang disaksikan: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Saya melaksanakan perintahnya Abah, membaca–kan surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Saya wasiat kalau saya meninggal, supaya:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jom–bang, diurus oleh anak anakku, lalu cucu-cucuku, seterusnya dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus Yayasan Mam–ba’ul Ma’arif, yang disetujui oleh sebagian
banyak ahli waris turunan langsung laki-laki dan perempuan.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus dan diasuh oleh anak saya, Ahmad Atho’illah dan diwakili anakku Shohib Bisri, seterusnya, serta dibantu anak anakku lainnya, lalu cucu-cucuku seterusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup menjadi pengasuh pondok pesantren putra tadi, yang disepakati oleh sebagaian besar ahli waris keturunan laki-laki maupun perempuan.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus dan diasuh oleh Hj. Mariyam Mahmud dan anak anakku, lalu cucu-cucuku dan sete–rusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus dan mengasuh pondok pesantren putri tadi, yang disetujui sebagian besar dari ahli warisku, yang keturunan lang–sung laki-laki atau perempuan. Kalau dari anak-anak cucuku seterusnya sudah tidak ada yang mencukupi syarat, maka pengurus dan pengasuh pondok pesantren harus dipilih oleh sebagian besar ahli waris yang keturunan lang–sung laki-laki dan perempuan. Pengurus yayasan dan pengasuh pondok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jom–bang harus dari orang yang ada di lingkungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Demikianlah wasiat Kiai Bisri Syansuri pada generasinya. Wasiat ini ditulis guna memberikan pe–tunjuk bagi pengembangan peninggalan-peninggalannya bagi kejayaan Islam secara keseluruhan. Wa–siat tersebut tersimpan dalam Arsip Yayasan Mam-baul Ma’arif Denanyar, berupa rekaman suara (kaset pita). Wasiat KH. Bisri Syansuri ini direkam pada 18 Juli 1978, bertepatan dengan 12 Sya’ban 1390 Hij–riyah.




Saturday, January 12, 2019

Muslimat NU di Panggung Politik


Muslimat NU di Panggung Politik

Bagi Aisyah Hamid, Muslimat Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut Muslimat) lahir dari getaran berbagai irama yang bergolak di kalangan wanita Islam Indonesia, khususnya wanita di lingkungan Ahlu as sunnah wa al Jamaah. Pada awal abad ke-20 terjadi transformasi kultural sebagai konsekuensi logis modernisasi. Banyak munculnya pesantren pe–rempuan yang memicu adanya gerakan-gerakan wa–nita tersebut.
Keterlibatan kaum perempuan dalam kampa-nye NU patut mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya karena keberhasilan cara-cara mereka terap–kan, tetapi juga perjuangan mendapatkan hak seba–gai calon yang dipilih untuk menjadi anggota legislatif dari partai NU.
Usulan tersebut mendapat pertentangan dari kiai-kiai yang masih memiliki pemikiran konservatif. Argumentasinya, seorang perempuan dalam melak–sanakan tugas di legislatif dikhawatirkan banyak gangguan yang membuatnya tidak kuat.
Gangguan itu bersifat bahaya moral dan fisik, baik dari sisi politiknya maupun pribadinya, sebagai ibu rumah tangga. Memang tidak seorang pun anggota Muslimat yang dapat mengingat siapa Kiai yang menolak calon legislatif perempuan ketika itu. Walaupun ada kemungkinan orang itu adalah KH. Bisri Syansuri yang terkenal konservatif mengenai masalah gender di perpolitikan. “Pada awal tahun 1960-an, ia menentang keterlibatan perempuan dalam kegiatan marching band dan latihan militer,” Kata Aisjah Dachlan, pada 17 februari 1992 dan Asma Syahruni, 21 Februari dan 9 maret 1992, sebagaimana dikutip Fealy.
                Setelah melalui perdebatan sengit, PBNU akhirnya menyetujui adanya anggota perempuan dari NU, serta memberi instruksi pada Lapunu agar perempuan juga dimasukkan dalan daftar nama calon. Sebagaimana sebelumnya, dengan keputusan untuk memperluas hak-hak anggota perempuan, para tokoh NU tidak bisa melawan keharusan politik. Tokoh-tokoh perempuan dari PNI, Masyu–mi, dan PKI terbukti menjadi juru kampanye yang efektif. Hanya dengan memberikan kesempatan yang sama kepada Muslimat, NU berharap akan dapat memaksimalkan dukungan dari pemilih perempuan.

Friday, January 11, 2019

tradisi pesantren perempuan


Tradisi Perempuan dalam Pesantren

Perempuan pada awalnya adalah kelompok yang asing bagi pesantren, bahkan kehadirannya dalam pesantren dianggap sebagai tabu oleh para kiai. Ini diperlihatkan bahwa pada masa awal, yang banyak menimba ilmu di pesantren adalah laki-laki saja, karena kebanyakan pendidikan pesantren hanya diberikan untuk laki-laki dan belum ada pendi–dikan pesantren untuk perempuan.
Greg Barton, dalam buku Biografi Gus Dur menuliskan bahwa pada tahun 1917, KH. Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari ibu,adalah kiai yang pertama kali mengenalkan kelas putri ke dunia pesantren. Dalam proses dan sistem pelajaran, pesantren masih memiliki kesan bias gender. Secara kelembagaan pesantren masih menerapkan sistem segregatif, memisahkan ruang perempuan dan ruang laki-laki dengan dalih agama.
Segregasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat pembagian ruangan, tetapi juga pada tingkat keil–muan. Santri laki-laki dengan kebebasannya yang lebih, biasanya mendapatkan kesempatan yang lebih untuk mengakses informasi ilmu, dibandingkan de–ngan santri perempuan yang memang sangat dibatasi.
Materi pendidikan yang didapatkan perempuan tidak sepadat yang didapatkan laki-laki. Santri pe–rempuan secara keilmuan biasanya lebih diarahkan kepada menghafal, misalnya, menghafal Al-Qur'an, dari pada ke arah menganalisis. Santri laki-laki belajar ilmu-ilmu alat (Sharaf, Nahwu, Bahasa Arab, Mantiq, Balaghah, dan lain sebagainya), santri pe–rempuan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ubudiyah, dan juga kepada suaminya kelak, misalnya belajar Fiqh dan ilmu Akhlak.
Pada umumnya kitab kuning diajarkan secara sama, baik untuk santri laki-laki maupun santri perempuan. Hampir tidak ada kurikulum yang di–buat khusus untuk perempuan. Semua kurikulum mengacu pada kitab-kitab kuning yang isinya ber–laku umum, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Kitab kuning ini, terutama kitab fiqih, memuat banyak bidang kajian, diantaranya: bidang ubudiyah (yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa, zakat dan haji), hukum keluarga (family/personal law), yaitu masalah-masalah tentang nikah, talak, rujuk, waris, dan sebagainya, muamalah (hukum pidana), ath’imah/adzabiah (maka–nan dan binatang sembelihan) sampai pada bidang qadha’ (peradilan) dan jihad yang lebih berarti perang fisik.

Secara umum, bidang ibadah paling sering dipelajari adalah semua kitab fiqh aliran Syafi’i dimulai dari masalah ibadah. Ibadah merupakan seperempat dari seluruh isi kitab fiqh. Porsi kedua yang lebih besar adalah materi akhlaq dan tasawuf. Oleh karena itu, maka mata pelajaran yang sebe–narnya secara khusus menjadi fokus perempuan, seperti haid (menstruasi), menyusui, dan masalah-masalah reproduksi lainnya dipelajari juga secara bersama-sama, laki-laki dan perempuan.

Thursday, January 10, 2019

pesantren perempuan pertama


Perintisan Pesantren Perempuan

KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chodidjah mem–buat keputusan berani dengan membuka kelas khu–sus perempuan, sekitar tahun 1920 di Pondok Pesantren Denanyar. Menurut pengakuan Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, langkah ini yang pertama di kawasan Jawa Timur. “Santrinya adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda belakang rumah beliau,” kata Aisyah Hamid, di kediamannya, 31 Oktober 2012.
Langkah penting ini adalah percobaan pertama di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur,” demikian tulis Gus Dur.
Langkah yang dianggap kurang sesuai di mata ulama pesantren itu, juga tidak luput dari penga–matan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga pada suatu hari sang guru datang melihat sendiri per–kembangan yang terjadi di pesantren bekas murid–nya itu. Walaupun tidak memperoleh izin spesifik dari sang guru. KH. Bisri Syansuri memilih melan–jutkan pengajaran itu, karena juga tidak ada larangan datang dari guru yang ditundukinya.
Ketetapan hatinya untuk meneruskan perco–baan adalah suatu perubahan sikap cukup besar dalam diri KH. Bisri Syansuri. Diterimanya perem–puan menjadi santri dalam sebuah pesantren, waktu itu bukanlah hal yang lazim dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Perlahan namun pasti, pesantren yang diasuh oleh Kiai Bisri mengalami perkembangan cukup pesat.
KH. Bisri Syansuri kemudian membagi wewe–nang pengawasan terhadap para santri. Bisri harus mengasuh dan memberi pelajaran sehari-hari kepa–da santri putra, sementara istrinya, Hj. Chodidjah, mendapat wewenang untuk mengawasi santri putri.
Pembagian wewenang di atas bukan semata-mata disebabkan oleh perkembangan pesantrennya saja, melainkan juga karena perhatian KH. Bisri Syansuri, yang mulai tersita. Pada masa ini, sebagai–mana dikisahkan Dahlan dalam buku Sholihah A. Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan, ia banyak disibukan oleh dinamika sosial dan politik seperti awal pembentukan NU sebagai organisasi Islam.
Dalam catatan Aziz Masyhuri disebutkan, ber–kat kegigihanya memperjuangkan perempuan dalam pendidikan pesantren, KH. Bisri Syansuri dan istri–nya kemudian membuka Madrasah Diniyah yang santrinya khusus perempuan, di tahun 1930.
Dalam pendidikan pesantren perempuan, KH. Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santri perempuannya yaitu mengenakan atasan berupa kebaya dan bawahan berupa jarik “sewek” atau sarung kemudian menggunakan kerudung se–bagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselem–pangkan.
Model berpakaian yang demikian ini, menurut Dahlan, merupakan kebiasaan yang digunakan oleh Nyai Hj. Chodijah, yang kemudian dipakai sebagai acuan para santri perempuannnya dalam melaksa-nakan pendidikan di pesantren. Ini menandakan adanya identitas baru untuk kaum perempuan dalam pesantren. Sehingga identitas tersebut menjadi khas dikalangan pesantren.

Wednesday, January 9, 2019

keseimbangan jamiyah NU



Pada masa Ali Pasha dan Turki Usmani inilah diskursus keislaman cukup bervariasi berkembang. Semua madzhab fiqh diperbolehkan berkembang diMakkah dan pada kondisi inilah ulama-ulama Nusantara banyak belajar di sana dan sebagian menjadi bagian dari ulama utama di Makkah. Pemi–kiran Islam yang beriringan antara syariat dan tarekat inilah yang dipelajari ulama Jawi di Mekkah dan ditransmisikan ke Nusantara, yang kemudian menjadi substansi dari tradisi Islam di Pesantren.
Meskipun pembelajaran Islam di pesantren le–bih berorientasi fiqh, namun keberagamaannya ti–dak terlepas nilai-nilai spiritual sufi yang mana ulama-ulama tarekat juga ambil bagian dalam mem–bentuk umat Islam. Agar mudah dicerna umat Islam di Jawa, para ulama-ulama Jawa mentransfor–masikan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah dicerna dan dipraktekkan sehari-hari.
Dalam tradisi ini, pilar utamanya adalah men–dapatkan kemanfaatan dari suatu karya sekaligus mendapatkan berkah dari pengarangnya. Dan ka–rena keberkahan inilah tradisi Islam yang dibangun para ulama-ulama tersebut tetap menjadikannya ulama dan pesantren bertahan hingga sekarang dan memiliki otoritas keagamaan. Pola tradisional dalam pembelajaran Islam ini menunjukkan suatu ikatan yang kuat antara guru-murid seperti syarah dan matannya.
Meskipun terkadang tidak pernah bertemu fisik, dalam tradisi tersebut terdapat ikatan spiritual sehingga berkah itu diberikan Allah untuk melan–jutkan perjuangannya. Oleh karena itu, syarah dan tentu jalur sanadnya dalam hubungan guru murid, adalah aspek utama yang meneguhkan pemben–tukan otoritas keagamaan.
Tugas seorang ulama adalah mengkomuni-kasikan misi dan gagasan-gagasan ulama-ulama ter–kemuka ke negeri Nusantara di mana tempat dan waktu yang berbeda. Dengan demikian, karya-karya ulama Nusantara berkembang menjadi teks-teks dasar dalam pembelajaran Islam Pesantren. Kitab syarah menciptakan sebuah hubungan antara ulama Timur Tengah dengan para santri di pesantren dan proses ini terus berlanjut turun temurun kepada generasi berikutnya secara musalsal sampai saat ini.
Munculnya Kiai Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya yang menegaskan sebagai benteng Ahlus Sunnah Wal Jamaahmerupakan peneguhan tradisi tersebut yang telah terbukti mampu menjadi penopang utama mempertahankan kemerdekaan RI dengan hentakkan ‘Resolusi Jihad’ melawan kolo–nialisme, dan menjadikan NU sebagai jam’iyah yang selalu menjaga NKRI. Dan Kiai Bisri menye–rahkan hidupnya untuk meneruskan perjuangan gurunya tersebut, dan karena ketawadhu’annya ke–pada guru utamanya (Kiai Hasyim Asy’ari), Kiai Bisri cukup dengan mentransmisikan karya-karya Kiai Hasyim kepada para santri dan masyarakat.
Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri telah memancangkan fon–dasi kokoh untuk menjaga kesinambungan jam’iyah NU terutama lembaga syuriah. Tugas itu tampaknya mampu diemban secara baik meskipun anarki “perkembangan zaman”, terutama semenjak masa modern-lanjut yang dimulai sejak masa Orde baru, menggedor-gedor lembaga itu. Paling tidak citra ketegaran mempertahankan keutuhan ajaran itu masih tercermin dalam sikap-sikap salah seorang pendiri NU, Kiai Bisri Syansuri yang digambarkan oleh Abdurrahrnan Wahid sebagai “pecinta fiqih sepanjang hayat”. Itu artinya, lebih dari dua pertiga usianya, Nahdlatul Ulama dikawal langsung oleh ‘generasi pendiri’ dengan keteguhan tak tergoyahkan dalam rnenjalankan tradisi Fiqih.
Oleh karena itulah kenapa Kiai Bisri dan kiai-kiai lainnya senantiasa berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap otoritatif, yang ditulis oleh para ulama dari madzhab empat. Menurut Kiai Bisri, keharusan untuk berkonsultasi dengan pendapat ulama ahli madzhab dalam memahami Qur’an dan Hadis, bukanlah semata-mata persoalan apakah para sarjana Islam sekarang diperkenankan atau tidak untuk melakukan ijtihad.
Kiai Bisri seperti lainnya berkeyakinan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh para ulama mengenai masalah-masalah syari’ah ada–lah merupakan tugas dan fungsi ulama yang otoritatif, yang jauh lebih paham dalam ilmu syari’ah dibandingkan kebanyakan orang. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan syari’ah sangat kompleks (rumit) yang memerlukan pendalaman sebelum seorang mengaku dirinya mampu atau menguasai masalah-masalah syari’ah. Ini bukannya berarti bahwa para ulama mengabaikan pendapat yang hidup di masyarakat (public opinion) dalam praktek mereka mengambil suatu keputusan. Dalam kenya–taannya, konsep ijma’ (konsensus yang dicapai oleh para ulama dalam sesuatu hukum) bagi para kiai, ijma’ merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kaum pembaharu menolak ijma’ sebagai sumber hukum, mereka lebih memilih qiyas sebagai sumber hukum yang ketiga.

Kiai Bisri ingin membumikan karya-karya Kiai Hasyim Asy’ari kepada santri kepada masyarakat agar lebih operasional. Kiai Bisri Syansuri pernah memimpin semua Majlis Imarah Ulama Jombang yang dibentuk oleh para ulama lulusan pesantren Tebuirerng sampai tahun 1980.
Organisasi ini mempunyai cabang-cabang di seluruh pelosok pedesaan di Jombang. Majlis ini menyelenggarakan pengajian sebulan sekali tem–patnya berpindah-pindah menurut permintaan dan giliran dari Majlis Imaroh setempat. Dalam penga–jian ini dibahas pertanyaan-pertanyaan tentang syari’ah Islam yang diajukan oleh masyarakat. Menurut kesaksian Zamakhsari Dhofier yang mengikuti Majlis Imaroh tanggal 19 Februari 1978. Dalam pertemuan tersebut muncul banyak perta–nyaan. Pertanyaan yang mudah langsung dijawab dalam pengajian tersebut. Beberapa pertanyaan yang dianggap sensitif ditangguhkan. Jawaban-jawaban cukup fleksibel dan mudah disesuaikan dengan keadaan, kecuali terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya prinsipil.
Terdapat pertanyaan yang dapat dijadikan ilustrasi yang baik melihat karakteritik pemikiran Kiai Bisri karena menyangkut aspek politik dan keagamaan sekaligus. Perntayaan ini memerlukan proses yang cukup rumit selama satu setengah bulan sampai akhirnya Majlis yang menangguhkannya.
Pertanyaan tersebut terkait adanya seorang pe–mimpin organisasi tarekat yang tidak membantu partai Islam dalam pemilu 1977. Bolehkah muridnya meninggalkan pemimpinnya tersebut dan memasuki organisasi tarekat yang lain? karena di dalam Umdah al Salik tertulis bahwa pemimpin (guru) tarekat ada–lah imam yang harus dianut oleh murid-muridnya.
Proses formulasi jawaban atas pertanyaan ter–sebut juga dapat menggambarkan bagaimana para kiai di Jombang melaksanakan praktek ijma. Se–minggu setelah pengajian bulanan, tanggal 26 Februari 1978, Kiai Bisri mengundang lima kiai anggota Majlis Imaroh ke rumahnya. Dalam kesem–patan itu, dia menanyakan perkembangan yang terjadi sehubungan dengan adanya perbedaan pen–dapat antarta Pesantren Tebuireng dan Pesantren Rejoso mengenai tarekat Qodiriyah wa naqsyabandiyah. Dia juga memerintahkan kelima kiai tersebut untuk meneliti pendapat para ulama besar yang berfaham syafi’iyah tentang perpindahan seorang murid tarekat ke tarekat yang lain dipandang dari sudut agama, tanpa menghubungkan persoalan ini dengan afiliasi politik guru tarekat sebagaimana tersurat dalam pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat.
Hampir selama dua bulan, kelima kiai tersebut menimbang pendapat-pendapat para ulama Syafi’i. Tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Mu jeeb, para ulama sepanjang sejarah Islam selalu berbeda pendapat mengenai doktrin, praktik dan penasfsiran tentang hukum-hukum Islam. Mengenai persoalan perpindahan murid dari satu tarekat ke tarekat yang lain, kelima kiai tersebut tidak mene–mukan suatu perumusan yang jelas dalam kitab-kitab klasik kecuali pendapat Ibnu Hajar al Haitany dalam kitabya Al Fatwa Al Hadisiyyah yang berbunyi sebagai berikut:
“Seorang murid tarekat diperkenankan mening–galkan gurunya bilamana sang guru tersebut tidak ahli dan tidak arif, dan dapat pindah ke tarekat yang lain yang dipimpin oleh guru yang ahli dan arif; selanjutnya murid tarekat diwajib–kan meninggalkan gurunya bilamana guru ter–sebut melakukan perbuatan-perbuatan yang dila–rang oleh Syari’ah Islam, misalnya menyalah gunakan kepemimpinanya untuk mengumpulkan kekayaan”.
Pada 5 April 1978, kelima kiai tersebut mem–bahas pendapat Ibnu Hajar al Haitany dengan Kiai Bisri Syansuri yang saat itu sebagai Rais Am PBNU. Para kiai tersebut pro kontra dalam menyikapinya, sehinga Kiai Bisri menyarankan agar formulasi al Haitamy tersebut disampaikan kepada Majlis bu–lanan tanpa diubah atau ditambah di Masjid Gudo pada tanggal 19 April 1978. Kiai Bisri menjelaskan formulasi al Haitamy tersebut pada pertemuan tersebut.
Formulasi al Haitamy tersebut telah memberi–kan kesempatan untuk mengkoordinasikan secara realistis antara hukum agama dan kenyataan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Kasus ini juga merupakan contoh yang jelas bahwa walaupun para kiai mengikuti suatu paham atau aliran madzhab tertentu (yaitu syafiiyah), namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hu–kum-hukum agama dengan kondisi sosial yang se–dang dihadapi.
Dalam konteks inillah kita bisa memahami langkah-langkah Kiai Bisri dalam keputusan-kepu–tusannya, seperti merintis pesantren perempuan, masalah KB, Perkawinan dan lainnya baik dalam berpolitik maupun bersosial seperti yang dijelaskan berikut ini.

Tuesday, January 8, 2019

KItab tidak bisa rusak karena air laut


Karakteristik Pemikiran: Tegas Berfiqih dan Lentur Bersikap

Sebelum beranjak pada isu-isu penting yang pernah dialami Kiai Bisri di tingkat nasional, perlu kiranya dipaparkan konteks perjuangannya yang berpegang teguh pada ketegasannya dalam berfiqh dan lenturnya dalam bersikap. Hal ini penting ka–rena Kiai Bisri dikenal tidak menorehkan karya dalam sebuah buku atau tulisan-tulisan sebagaimana kiai-kiai lainnya, sehingga sulit untuk dilacak.
Kiai Bisri menunjukkan kepada kita bahwa karya besar kiai atau ulama tidak semata berupa buku catatan atau kitab. Kiprah dan dedikasi tidak ubahnya sebuah prasasti yang layak menjadi mo–numen kehidupan. Kiai Bisri, adalah di antara sosok yang layak menjadi uswah hasanah bagi para santri dan pegiat NU.
Dalam sebuah kesempatan, KH. Abdul Aziz Masyhuri ketika mendampingi Kiai Bisri saat Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang, bertemu seorang guru besar Masjidil Haram bernama Syekh Zakariya bin Syekh Abdillah Billah yang mengikuti rombongan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani Makkah. Saat itu Syekh Zakariya punya beberapa karya tulis, di antaranya berjudul al-Jawahirul Hisan yang saat itu belum selesai dia tulis. Dalam karya tersebut, Syekh Zakariya ingin memasukkan biografi Kiai Bisri. Pada sat itu, Kiai Aziz Masyhuri diwawancarai oleh Syekh Zakariya.
Di antara pertanyaannya adalah mengenai karya tulis Kiai Bisri yang sudah dicetak. “Kiai Bisri Syansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku, karya monumentalnya adalah bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Kiai Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain. Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan”, jawab Kiai Aziz.
Dalam konteks ini, sepertinya Kiai Bisri sangat menjiwai kitab favoritnya Kitab Zubad, dimana pengarangnya memiliki tawadlu’ yang luar biasa dan keikhlasan yang ingin ditauladaninya. Imam Ibnu Ruslan menyelesaikan penulisan kitab Zubad di atas sebuah kapal yang berlayar di laut lepas. Pada saat kitab Zubad selesai ditulis, dia mengikatkan batu di bagian atas dan bawah kitab itu. Dia ingin melem–par kitab itu ke laut meskipun orang-orang di kapal saat melihatnya segera mencegahnya, namun dia tetap bersikukuh dengan niatnya. “Biarkanlah. Jika kitab karanganku ini benar-benar ditulis ikhlas karena Allah, air laut tidak akan mampu merusaknya”, katanya mantap. Akhirnya ombak berhasil membawa kitab tersebut ke tepi laut, dan seorang nelayan yang menemukan menyerakan kitab kepada salah seorang ulama di daerah itu.

Ulama tersebut lantas memerintahkan untuk menulis dan menyebarluaskan kitab asing tersebut Akhirnya kitab tersebut, berkat keikhlasan penga–rangnya, tersebar ke seluruh penjuru dunia, terma–suk di Indonesia. Seperti itulah keikhlasan ulama-ulama terdahulu. Mereka menomorsatukan keikhla–san dalam mengarang kitab. Tidak ada pikiran me–raih popularitas atau keuntungan materi melalui royalti.
Barangkali karena merasa belum mampu se–perti Imam Ibnu Ruslan, Kiai Bisri menunjukkan tawadlu’ cukup mentransmisikan kitab Zubad yang sanadnya diperoleh dari Kiai Hasyim Asy’ari agar mudah dicerna dan dijalankan dalam kehidupan se–hari-hari. Cukuplah sejarah mencatat namanya sela–lu bersama Kiai Hasyim Asy’ari, karena itulah Kiai Hasyim Asy’ari sangat dekat dengan Kiai Bisri.
Kiai Bisri menggunakan tradisi lisan (ngaji dan bahsu al masail) untuk mentransmisikan ilmu-ilmu gurunya kepada para santri dan masyarakat luas agar dapat lebih mudah dicerna dan dioperasionali–sasikan. Dengan tradisinya tersebut, Kiai Bisri lebih peka dan langsung mendapatkan masukan serta idiom-idiom yang berkembang di tengah masya–rakat. Kontekstualisasi dan kearifan lokal tersebut terinspirasi dari para leluhurnya, walisongo, dan ingin dikembangkan lagi untuk mengkoneksikan ilmu yang didapatkan dari Ulama baik di Nusantara maupun di Makkah kepada umat Islam. Selain itu, dia juga aktif bersilaturahmi seperti halnya Kiai Hasyim Asy’ari, mengunjungi murid atau koleganya selama menuntut ilmu.
Itulah yang secara terus menerus memompa semangat dan memperkuat daya rekat tradisi komu–nitas santri, menjaga warisan dari para ulama agar tidak tergerus dengan pemahaman-pemahaman ke–agamaan yang justru menjauhkan dari ajaran para salaf as shaleh, ahlu as sunnah wa al jamaah.
Oleh karena itu, rihlah (perjalanan) untuk tholab al ilm menjadi suatu konsep agama yang utama bagi Muslim. Konsep ini menunjukkan aspek khusus dari gerakan dan pertukaran di antara umat muslim, di mana penguasaan ilmu-ilmu Islam menjadi tema utama. Dalam kaitan inilah, keberadaan ulama-ula–ma seperti Kiai Bisri untuk meneruskan perjuangan para guru-gurunya yang saat itu memiliki komunitas di Masjidil haram.
Perkumpulan ulama-ulama tersebut dikenal dengan komunitas Jawi, atau Jama’ah al-Jawiyyin. Nisbat ini tidak sekedar meliputi teritorial ulama yang datang dari Jawa Dwipa saja, tetapi dari selu–ruh Nusantara (termasuk Melayu, Pattani, dan Philipina Selatan). Makkah tidak lagi dimaknai seba–gai pusat spiritual bagi kekuasaan politik,seperti terungkap dalam teks-teks kerajaan, tetapi mulai dipandang sebagai pusat pembelajaran Islam. Per–sepsi yang berubah ini berlangsung bersamaan dengan munculnya konfigurasi baru dalam Islam di Nusantara ketika institusi ulama semisal pesantren mulai mengambil bagian utama dalam perkemba–ngan Islam.
Kiai Bisri yang telah memberi para santri bim–bingan Islam dan keteladanan dalam sikap hidup (akhlak), mengajari mereka mambaca kitab, mem–beri mereka penjelasan lisan dari setiap bagian yang tertulis menjadi pilar pembelajaran. Bahkan Kiai Bisri lebih jauh lagi, tidak hanya di pesantren, tetapi berdakwah masuk dalam lingkungan masyarakat, membentuk komunitas Bahsul Masail dari masjid ke masjid di Jombang, sesuatu yang luar biasa dila–kukan dari tokoh yang sudah menasional. Dia men–jadikan pengajian sebagai sebuah forum untuk melisankan apa yang telah dia tulis dalam risalahnya, menegaskan model pengajaran pesantren yang ber–sifat lisan-dengar.
Kecenderungan Islam berorientasi syari’at pada awal abad ke-20 sebenarnya mulai menguat ketika di Makkah menjadi pusat gerakan puritan Dinasti Wahhabi, seiring kontrol politik Dinasti Sa’udi atas Hijaz pada 1803. Wahhabi merupakan pendukung ekstrim gerakan ortodoks yang dengan agenda purifikasinya, berperan dalam membuat Makkah cukup ketat terhadap tarekat-tarekat sufi hete–redoks. Kondisi ini berbeda ketika Makkah berada di bawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha (1813-1840) dan kemudian Turki Usmani (1840-1916), meskipun dua rezim tersebut tidak memiliki kontrol langsung atas Makkah. Mereka menyerahkan urusan ekonomi dan politik kepada penguasa lokal, syarif, sedangkan kehidupan masalah agama berada di tangan para ulama.

Monday, January 7, 2019

Kembalinya NU sebagai Jam’iyah


Kembalinya NU sebagai Jam’iyah

Setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa sistem banyak partai kurang menjamin keterlaksanaan pembangunan Nasional. Oleh karena itu, pemerintah orde baru ingin mela–kukan penyederhanaan partai dan perombakan struktur politik dengan membagi partai menjadi dua kelompok saja, yakni: materiil-spiritual dan spiritual-materil.
Dengan adanya penyederhanaan partai menjadi dua kelompok tersebut, maka pada 5 Januari 1973 kelompok “Spiritual–materiil”, yaitu NU, Permusi, PSII dan Perti menyatakan berfusi dan bergabung dalam sebuah wadah bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Deklarasi penggabungan itu pun dipertegas lagi dengan penandatanganan piagam pembentukan PPP pada tanggal 5 Pebruari 1973. Setelah penge–lompokan menemukan bentuknya, maka keluarlah UU nomer 3 tahun 1973 tentang partai politik dan Golongan Karya, yang menetapkan berlakunya hasil penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia de–ngan hanya dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indo–nesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Dalam melahirkan PPP, tampaknya NU memainkan peranan cukup penting. Peranan NU tampak pada pemberian lambang partai dengan gambar “Ka’bah” yang berasal dari KH. Bisri Syansuri. “Simbol ini dipilih, Supaya menjadi persatuan, persatuan ini diikat dengan simbol Kabah,” tutur KH. Kholid Mawardi dalam persaksiannya mengenang kelahiran partai ini.
Dalam struktur organisasi terlihat pada penem–patan lembaga Muktamar sebagai forum tertinggi partai. Dalam struktur kepemimpinan tampak pe–nempatan Majelis Syura sebagai pimpinan tertinggi partai yang dipimpin Rais Aam. Dan pada per–sonalia antara lain terlihat KH. Bisri Syasnuri sebagai Rais Aam, KH. M. Dachlan sebagai wa–kilnya, KH. Masykur sebagai Ketua Umum Majelis Pertimbangan, sedangkan KH. Idham Chalid sebagai Presiden Partai (AD/ART PPP).
Ini agaknya ditempuh NU agar pengalaman pahit yang pernah dirasakan sewaktu dengan Ma–syumi tidak terulang lagi. Oleh karena itu pada Musyawarah Nasional Dewan Partai pada 6-8 November 1975, NU perlu mengadakan konsensus mengenai kriteria perolehan jumlah kursi dalam pemilu 1977 mendatang.
Kesempatan yang dikenal dengan “Konsensus Munas 1977” itu berisi tentang pedoman untuk pembagian kursi DPR dan DPRD dengan berpe–doman pada perimbangan hasil perolehan pemilu sebelumnya.
Dalam kesaksian KH. Kholid Mawardi, keikut–sertaan KH Bisri Syansuri dalam melahirkan partai tersebut bak pagar tersendiri bagi partai ini. Di dalam lingkungan NU maupun PPP, Kiai Bisri merupakan pengendali akhlak dari umat nahdliyin. Beliau sangat fokus, jika sudah bersangkut paut dengan moralitas; akhlak.
Kalau organisasi tanpa Mbah Bisri, maka bisa-bisa tidak terkendali lagi, terbawa arus peradaban yang sudah rusak, misalnya money politik.” Tandas Kiai Kholid.
Slamet Efendi Yusuf dalam bukunya Dinamika Kaum Santri mengemukakan data tentang tidak —sepenuhnya— ditaatinya konsensus 1975 itu. Terbukti pada hasil Pemilu 1977 yang ketika itu PPP meraih kenaikan dari 94 kursi di tahun 1971, menjadi 99 kursi pada Pemilu 1977. Sehingga eks partai Islam yang sudah melebur diri ke tubuh PPP juga mengalami kenaikan: Permusi Mengalami ke–naikan dari 24 manjadi 25 kursi, PSII dari 10 menjadi 14 kursi, Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Te–tapi justeru NU tidak mengalami kenaikan malah turun dari 58 kursi menjadi 56 kursi. Ini berarti Konsensus Munas 1975 dari semula sudah tidak ditaati.
Dari segi publikasi, konsolidasi dalam bentuk Kombes memang cukup berhasil. Paling sedikit beberapa pejabat pemerintah yang tadinya belum paham benar akan eksistensi NU, dengan adanya Kombes itu menjadi paham dan selanjutnya bisa membuka hubungan. Namun dari segi kepentingan jam’iyah diniyah yang sebenarnya, belum banyak memberikan manfaat. Masalahnya, di dalam Kom–bes itu sendiri belum ada perubahan–perubahan yang berarti bagi kepentingan NU setelah me–ngubah bentuknya. Belum terjadi pembagian tugas dalam kepengurusan NU dan siapa pula yang menjaga gawang PPP.
Perangkapan Jabatan masih tetap dilakukan oleh tokoh-tokoh dan pejabat teras NU. Lihat misalnya Idham Chalid, Ketua Umum PBNU me–rangkap Presiden Partai, KH. Bisri Syansuri, Rais Aam Majelis Syura PPP, KH. Masykur, wakil Rais Syuriyah NU merangkap ketua Dewan Pertim–bangan PPP (AD/ART-PPP). Variasi seperti itu juga berlaku bagi pemimpin NU di tingkat wilayah (provinsi) atau tingkat Cabang (Kabupaten). Pe–rangkapan jabatan ini dikarenakan perintisan awal dari PPP supaya partai ini cepat mendapat massa terutama dariumat Nahdliyin.
Setelah NU meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan dan kembali kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan yang bersifat non-politik (jam’iyah), ter–lepas dari sikap keberatan yang dirasakan KH. Bisri Syansuri terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, beliau tidak dapat berpangku tangan melihat tan–tangan demi tantangan yang dihadapi.
Pada Muktamar ke 26 tahun 1979 di Semarang menghasilkan keputusan besar NU di kancah orga–nisasi Islam dan perpolitikan di Indonesia, dengan menunjukan sikapnya untuk kembali sebagai jam’iyah secara tuntas dan mantap. Seruan kembali ke jiwa 1926 harus dijawab dengan kegiatan operasional di seluruh jajaran kepengurusan NU. Dengan kembalinya konsep NU ke 1926 maka dibentuk program dasar dalam dua bagian yaitu Program Syuriyyah dan Program Tanfidiyah.
Program untuk Syuriyah terdiri dari 18 perangkat, di antaranya: Syuriyah harus peka terha–dap hajat hidup umat khususnya warga NU, harus dijalin hubungan erat antara Syuriyah dan Tanfi–dziyah di seluruh tingkatan, dengan Tanfidziyah memberikan Informasi atau data. Sedangkan Syuri-yah memberikan pengarahannya dan sebagainya.
Program Tanfidiyah terdiri dari 12 perangkat: bidang pendidikan (Ma’arif), bidang dakwah, bidang sosial (Mabarot), bidang kepemudaan, bidang peng–kaderan, bidang orientasi dan bidang pembentukan kepribadian NU dan lain sebagainya.


Secara konseptual, Muktamar tersebut berhasil memantapkan kembali NU ke bentuk jam’iyah. Lebih-lebih bila ditinjau dari produk Muktamar yang dihasilkan yakni berupa pengembangan AD/ART NU yang baru dan program dasar pe–ngembangan lima tahun NU. Tetapi produk terse–but mengalami hambatan yang cukup berarti. Hal ini disebabkan karena dalam pemilihan pengurus baru, masih belum ada pemisahan yang cukup jelas dalam kepengurusan antara di NU dan di PPP: terkesan masih didominasi pengurus lama.
Misalnya, Idham Chalid terpilih kembali seba–gai ketua Umum PBNU dan merangkap sebagai Presiden partai. Sedangkan KH. Bisri Syansuri juga menduduki kembali jabatan Rais ‘Aam PBNU tetapi juga merangkap Rais Aam Majelis Syura PPP. Yusuf Hasyim, ketua I PBNU juga merangkap sebagai anggota DPP-PPP. Mahbub Djuanaidi, Ketua II PBNU juga merangkap sebagai Ketua Umum PPP. Nuddin Lubis, Ketua III PBNU juga sebagai Wakil Ketua Umum PPP. H. Munasir, Sekjen PBNU juga merangkap anggota Majelis Pertimbangan PPP. KH. Anwar Musaddad, Wakil Rais ‘Aam PBNU juga menjadi Wakil Rais Majelis Syura PPP. KH. Ali Yafie, Rais Awwal PBNU juga merangkap sebagai Rais di Majelis Pertimbangan PPP. KH. Masykur, Rais Tsani, PBNU juga merangkap sebagai Ketua pertimbangan PPP.
Kekacauan berlanjut ketika seusai Muktamar di Semarang dikarenakan menonjolnya aktifitas NU ke arah politik-praktik. Kenyataan ini, menurut Anam, dapat disimak dari mulai terjadinya keretakan NU-MI (Muslim Indonesia) di dalam DPR/MPR, peri–hal pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) pemilu, yang merupakan perubahan dari UU No. 4/1975, yang sebelumnya adalah UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permu–syawaratan Perwakilan Rakyat.
Pembahasan RUU Pemilu ini berjalan alot dan memakan waktu lama. Pembahasan ini dimulai sejak September 1979 sampai dengan 1980. Pada tanggal 29 Februari 1980 dilangsungkan Sidang Pleno DPR untuk mengesahkan RUU tersebut. Di dalam tubuh PPP sendiri terjadi perbedaan pendapat sehingga unsur NU terpaksa tidak menghadiri sidang terse–but. Ketidakhadiran unsur NU itu, menurutnya, be–lum terselesaikannya beberapa pasal mengenai ‘pe–ngembangan masa’ yang belum disetujui kelompok NU. Namun demikian, ini merupakan bibit perpe–cahan dalam tubuh PPP. Banyak yang mengatakan jika KH. Bisri Syansuri di Jakarta, tidak akan terjadi seperti ini.
Kegiatan politik-praktis yang cenderung mere–takkan hubungan NU dan unsur non-NU, terutama dengan unsur MI di dalam PPP, menurut Anam, itu terjadi semenjak KH. Bisri Syansuri, Rais ‘Aam PBNU yang juga Rais Aam PPP, menderita sakit. Lebih memuncak lagi ketika KH. Bisri Syansuri pulang ke Rahmatullah.
Kepergian KH. Bisri Syansuri, yang wafat pada tahun 1980 dan dimakamkan di pemakaman pesan–trennya, Denanyar Jombang, memang merupakan pilu bagi NU dan PPP. Namun demikian, naluri politik jua lah yang akhirnya mendorong berbagai perpecahan di tubuh partai tersebut, setelah tokoh sentral yang diseganinya tidak ada lagi.
Peristiwa politik yang menghiasi lembaran seja–rah NU setelah di tinggal oleh Rais ‘Aam-nya, selalu datang dan pergi, sehingga tidak pernah terlihat adanya penyelesaian. Pada bulan Agustus 1980 terjadi perebutan jabatan “ketua Komisi VIII” di DPR-RI.
Dalam catatan Anam, pada Agustus 1980 DPR-RI melakukan pemilihan pimpinan komisi untuk tahun persidangan 1980/1981. Sesuai dengan konsensus Fraksi PPP bahwa Ketua Komisi VIII adalah haknya NU yang dalam tahun persidangan 1979/1980, ‘dipinjamkan’ kepada Drs. Sudardji dari MI. NU bermaksud mengambil kembali ‘pinjaman–nya’ tetapi ditolak sehingga dilakukan pemilihan secara terbuka dan Sudardji mendapat dukungan dari FKP dan ABRI. NU kalah
Kemudian pada 27 Oktober 1981 terjadi keri–butan masalah daftar calon anggota DPR kepada Lembaga Pemilihan Umum Indonesia (LPUI), yang diprotes oleh unsur NU, karena tanpa dimusyawa–rahkan terlebih dahulu. Pada hari yang sama, hanya Yusuf Hasyim dengan kawan-kawannya datang agak siang untuk menyerahkan daftar calon anggota DPR. Rebutan menyerahkan calon ini kedahuluan. Setelah pengumuman daftar calon, beberapa tokoh NU seperti: Drs. H. A. Chaliq Ali, Dr. T. Jafizham, HM. Jasjim Latief, dan lain-lain terpental dari no–mor utama, nomor jadi atau nomor prioritas, ke nomor kering —nomor cadangan— atau tidak ada harapan. Ternyata, sehabis pemilihan umum, tokoh-tokoh NU ini benar-benar tidak kebagian kursi di DPR.
Kericuhan diperparah lagi dengan protes dari MI mengenai perimbangan kursi DPR. Unsur MI menghendaki perimbangan yang “wajar” tanpa berpedoman pada “Konsensus Munas 1975”. Dengan kata lain, MI menghendaki pembagian Kursi untuk eks partai Islam lebih banyak dari NU.
Dalam catatannya, Anam menjelaskan bahwa isu pembagian kursi di DPR tanpa pedoman pada konsensus 1975 itu berasal dari Drs. Sudardji, tokoh MI. Tuntutan itu diberi embel-embel untuk member–sihkan sikap Orde Lama dan anggota yang pernah walk-out ketika pengesahan RUU pemilihan Umum 1980. Tentu yang dimaksud adalah kelompok NU.
Kekalahan politik yang dialami oleh NU tidak semata-mata lahir di ruang kosong. Sepeninggal KH. Bisri Syansuri, tindakan-tindakan indisipliner dari tokoh-tokoh NU sudah mulai terlihat. Sikap-sikap politik NU lebih mencerminkan sikap pribadi para tokohnya. Asas kebersamaan mulai memudar dan bahaya tumbuhnya kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan semakin mengancam tubuh NU.

Untuk menjaga jangan sampai kekhawatiran itu terwujud, maka perlu adanya pemagaran tokoh dalam tubuh NU. Namun usaha pemagaran itu sendiri tidak gampang, langkah awal terlebih dulu menyelesaikan jabatan Rais ‘Aam yang masih kosong. Maka itu, pekerjaan yang paling mendesak adalah mencari pengganti KH. Bisri Syansuri. Sebab hanya dengan Rais ‘Aam inilah pemagaran akan bisa dilakukan dan kerja evaluasi kelemahan-kelemahan NU akan dapat berjalan efektif dan efisien.
Pentingnya seorang Rais ‘Aam ini juga terlihat pada pernyataan KH. Bisri Syansuri kepada bebe–rapa orang dalam sebuah pertemuan tidak resmi di Jombang, sebagaimana tertera dalam Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama:
“Ada orang-orang PBNU yang nakalan (curang), yang dikehendaki hanyalah lan–carnya politik, tidak mengingat isi politik itu. Aku (saya) dipolitiki. Setiap kuajak ra–pat selalu ada alasan untuk menunda. Jika aku di Jakarta mereka sama-sama me–nyembunyikan diri tetapi jika aku berada di Jombang mereka mengadakan rapat sendiri-sendiri. Tanpa aku”.
Penegasan KH. Bisri Syansuri itu disampaikan dalam bahasa Jawa, di hadapan beberapa tamunya di Jombang. Di antaranya yang mendengarkan ada–lah puteranya, HA. Aziz Bisri dan Maksoem Mahfoedz, putera KH.Mahfoedz Anwar, Jombang.
Penegasan KH. Bisri Syansuri tersebut me–ngundang dua pengertian pokok mengenai perkem–bangan yang terjadi dalam tubuh NU. Pertama, menegaskan bahwa di dalam tubuh NU sudah tumbuh kelompok-kelompok yang saling berkepenti–ngan membawa NU.
Ada yang ingin membawa NU tetap bergerak di bidang politik, ada pula yang ingin bergerak dibidang agama, karena sudah kembali pada jam’iyah. Tetapi ada pula yang menginginkan NU bergerak dibidang politik maupun dibidang agama. Tentu saja terakhir ini dimaksudkan adalah politik dalam arti konsep.
Kedua, menunjukkan adanya ketidakkompakan dalam tubuh NU. Dengan kata lain, sejumlah tokoh NU sudah mulai berani mempermainkan Rais ‘Aam untuk kepentingan politik. Keberadaan Rais ‘Aam dianggap sebagai penghalang kemauan politik yang hendak mereka lakukan. Oleh karena itu mudah dipahami, apabila sikap politik NU lebih mencer–minkan sikap pribadi tokoh NU ketika Rais ‘Aam tidak banyak tinggal di Jakarta.