Pada masa Ali Pasha dan Turki Usmani inilah diskursus keislaman cukup
bervariasi berkembang. Semua madzhab fiqh diperbolehkan berkembang diMakkah dan
pada kondisi inilah ulama-ulama Nusantara banyak belajar di sana dan sebagian
menjadi bagian dari ulama utama di Makkah. Pemi–kiran Islam yang beriringan
antara syariat dan tarekat inilah yang dipelajari ulama Jawi di Mekkah
dan ditransmisikan ke Nusantara, yang kemudian menjadi substansi dari tradisi
Islam di Pesantren.
Meskipun pembelajaran Islam di pesantren le–bih berorientasi fiqh,
namun keberagamaannya ti–dak terlepas nilai-nilai spiritual sufi yang mana
ulama-ulama tarekat juga ambil bagian dalam mem–bentuk umat Islam. Agar mudah
dicerna umat Islam di Jawa, para ulama-ulama Jawa mentransfor–masikan
kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah dicerna dan dipraktekkan
sehari-hari.
Dalam tradisi ini, pilar utamanya adalah men–dapatkan kemanfaatan dari
suatu karya sekaligus mendapatkan berkah dari pengarangnya. Dan ka–rena
keberkahan inilah tradisi Islam yang dibangun para ulama-ulama tersebut tetap
menjadikannya ulama dan pesantren bertahan hingga sekarang dan memiliki
otoritas keagamaan. Pola tradisional dalam pembelajaran Islam ini menunjukkan
suatu ikatan yang kuat antara guru-murid seperti syarah dan matannya.
Meskipun terkadang tidak pernah bertemu fisik, dalam tradisi tersebut
terdapat ikatan spiritual sehingga berkah itu diberikan Allah untuk
melan–jutkan perjuangannya. Oleh karena itu, syarah dan tentu jalur sanadnya
dalam hubungan guru murid, adalah aspek utama yang meneguhkan pemben–tukan
otoritas keagamaan.
Tugas seorang ulama adalah mengkomuni-kasikan misi dan gagasan-gagasan
ulama-ulama ter–kemuka ke negeri Nusantara di mana tempat dan waktu yang
berbeda. Dengan demikian, karya-karya ulama Nusantara berkembang menjadi
teks-teks dasar dalam pembelajaran Islam Pesantren. Kitab syarah menciptakan
sebuah hubungan antara ulama Timur Tengah dengan para santri di pesantren dan
proses ini terus berlanjut turun temurun kepada generasi berikutnya secara musalsal
sampai saat ini.
Munculnya Kiai Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya yang menegaskan
sebagai benteng Ahlus Sunnah Wal Jamaahmerupakan peneguhan tradisi
tersebut yang telah terbukti mampu menjadi penopang utama mempertahankan
kemerdekaan RI dengan hentakkan ‘Resolusi Jihad’ melawan kolo–nialisme, dan
menjadikan NU sebagai jam’iyah yang selalu menjaga NKRI. Dan Kiai Bisri
menye–rahkan hidupnya untuk meneruskan perjuangan gurunya tersebut, dan karena
ketawadhu’annya ke–pada guru utamanya (Kiai Hasyim Asy’ari), Kiai Bisri
cukup dengan mentransmisikan karya-karya Kiai Hasyim kepada para santri dan
masyarakat.
Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri telah
memancangkan fon–dasi kokoh untuk menjaga kesinambungan jam’iyah NU
terutama lembaga syuriah. Tugas itu tampaknya mampu diemban secara baik
meskipun anarki “perkembangan zaman”, terutama semenjak masa modern-lanjut yang dimulai sejak masa Orde baru,
menggedor-gedor lembaga itu. Paling tidak citra ketegaran mempertahankan
keutuhan ajaran itu masih tercermin dalam sikap-sikap salah seorang pendiri NU,
Kiai Bisri Syansuri yang digambarkan oleh Abdurrahrnan Wahid sebagai “pecinta
fiqih sepanjang hayat”. Itu artinya, lebih dari dua pertiga usianya, Nahdlatul
Ulama dikawal langsung oleh ‘generasi pendiri’ dengan keteguhan tak tergoyahkan
dalam rnenjalankan tradisi Fiqih.
Oleh karena itulah kenapa Kiai Bisri dan kiai-kiai lainnya senantiasa
berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap otoritatif, yang ditulis oleh
para ulama dari madzhab empat. Menurut Kiai Bisri, keharusan untuk
berkonsultasi dengan pendapat ulama ahli madzhab dalam memahami Qur’an dan
Hadis, bukanlah semata-mata persoalan apakah para sarjana Islam sekarang
diperkenankan atau tidak untuk melakukan ijtihad.
Kiai Bisri seperti lainnya berkeyakinan bahwa pertimbangan-pertimbangan
yang diberikan oleh para ulama mengenai masalah-masalah syari’ah ada–lah
merupakan tugas dan fungsi ulama yang otoritatif, yang jauh lebih paham dalam
ilmu syari’ah dibandingkan kebanyakan orang. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
syari’ah sangat kompleks (rumit) yang memerlukan pendalaman sebelum seorang
mengaku dirinya mampu atau menguasai masalah-masalah syari’ah. Ini bukannya
berarti bahwa para ulama mengabaikan pendapat yang hidup di masyarakat (public
opinion) dalam praktek mereka mengambil suatu keputusan. Dalam
kenya–taannya, konsep ijma’ (konsensus yang dicapai oleh para ulama
dalam sesuatu hukum) bagi para kiai, ijma’ merupakan sumber hukum yang
ketiga setelah Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kaum pembaharu menolak ijma’ sebagai
sumber hukum, mereka lebih memilih qiyas sebagai sumber hukum yang
ketiga.
Kiai Bisri ingin membumikan karya-karya Kiai Hasyim Asy’ari kepada
santri kepada masyarakat agar lebih operasional. Kiai Bisri Syansuri pernah
memimpin semua Majlis Imarah Ulama Jombang yang dibentuk oleh para ulama
lulusan pesantren Tebuirerng sampai tahun 1980.
Organisasi ini mempunyai cabang-cabang di seluruh pelosok pedesaan di
Jombang. Majlis ini menyelenggarakan pengajian sebulan sekali tem–patnya
berpindah-pindah menurut permintaan dan giliran dari Majlis Imaroh setempat.
Dalam penga–jian ini dibahas pertanyaan-pertanyaan tentang syari’ah Islam yang
diajukan oleh masyarakat. Menurut kesaksian Zamakhsari Dhofier yang mengikuti
Majlis Imaroh tanggal 19 Februari 1978. Dalam pertemuan tersebut muncul banyak
perta–nyaan. Pertanyaan yang mudah langsung dijawab dalam pengajian tersebut.
Beberapa pertanyaan yang dianggap sensitif ditangguhkan. Jawaban-jawaban cukup
fleksibel dan mudah disesuaikan dengan keadaan, kecuali terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya prinsipil.
Terdapat pertanyaan yang dapat dijadikan ilustrasi yang baik melihat
karakteritik pemikiran Kiai Bisri karena menyangkut aspek politik dan keagamaan
sekaligus. Perntayaan ini memerlukan proses yang cukup rumit selama satu
setengah bulan sampai akhirnya Majlis yang menangguhkannya.
Pertanyaan tersebut terkait adanya seorang pe–mimpin organisasi tarekat
yang tidak membantu partai Islam dalam pemilu 1977. Bolehkah muridnya
meninggalkan pemimpinnya tersebut dan memasuki organisasi tarekat yang lain?
karena di dalam Umdah al Salik tertulis bahwa pemimpin (guru) tarekat
ada–lah imam yang harus dianut oleh murid-muridnya.
Proses formulasi jawaban atas pertanyaan ter–sebut juga dapat
menggambarkan bagaimana para kiai di Jombang melaksanakan praktek ijma.
Se–minggu setelah pengajian bulanan, tanggal 26 Februari 1978, Kiai Bisri
mengundang lima kiai anggota Majlis Imaroh ke rumahnya. Dalam kesem–patan itu,
dia menanyakan perkembangan yang terjadi sehubungan dengan adanya perbedaan
pen–dapat antarta Pesantren Tebuireng dan Pesantren Rejoso mengenai tarekat Qodiriyah
wa naqsyabandiyah. Dia juga memerintahkan kelima kiai tersebut untuk
meneliti pendapat para ulama besar yang berfaham syafi’iyah tentang
perpindahan seorang murid tarekat ke tarekat yang lain dipandang dari sudut
agama, tanpa menghubungkan persoalan ini dengan afiliasi politik guru tarekat
sebagaimana tersurat dalam pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat.
Hampir selama dua bulan, kelima kiai tersebut menimbang
pendapat-pendapat para ulama Syafi’i. Tetapi sebagaimana dinyatakan oleh
Profesor Mu jeeb, para ulama sepanjang sejarah Islam selalu berbeda pendapat
mengenai doktrin, praktik dan penasfsiran tentang hukum-hukum Islam. Mengenai
persoalan perpindahan murid dari satu tarekat ke tarekat yang lain, kelima kiai
tersebut tidak mene–mukan suatu perumusan yang jelas dalam kitab-kitab klasik
kecuali pendapat Ibnu Hajar al Haitany dalam kitabya Al Fatwa Al Hadisiyyah yang
berbunyi sebagai berikut:
“Seorang
murid tarekat diperkenankan mening–galkan gurunya bilamana sang guru tersebut
tidak ahli dan tidak arif, dan dapat pindah ke tarekat yang lain yang dipimpin
oleh guru yang ahli dan arif; selanjutnya murid tarekat diwajib–kan
meninggalkan gurunya bilamana guru ter–sebut melakukan perbuatan-perbuatan yang
dila–rang oleh Syari’ah Islam, misalnya menyalah gunakan kepemimpinanya untuk
mengumpulkan kekayaan”.
Pada 5 April 1978, kelima kiai tersebut mem–bahas pendapat Ibnu Hajar
al Haitany dengan Kiai Bisri Syansuri yang saat itu sebagai Rais Am PBNU. Para
kiai tersebut pro kontra dalam menyikapinya, sehinga Kiai Bisri menyarankan
agar formulasi al Haitamy tersebut disampaikan kepada Majlis bu–lanan tanpa
diubah atau ditambah di Masjid Gudo pada tanggal 19 April 1978. Kiai Bisri
menjelaskan formulasi al Haitamy tersebut pada pertemuan tersebut.
Formulasi al Haitamy tersebut telah memberi–kan kesempatan untuk
mengkoordinasikan secara realistis antara hukum agama dan kenyataan yang sedang
dihadapi oleh masyarakat. Kasus ini juga merupakan contoh yang jelas bahwa
walaupun para kiai mengikuti suatu paham atau aliran madzhab tertentu (yaitu syafiiyah),
namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hu–kum-hukum
agama dengan kondisi sosial yang se–dang dihadapi.
Dalam konteks inillah kita bisa
memahami langkah-langkah Kiai Bisri dalam keputusan-kepu–tusannya, seperti
merintis pesantren perempuan, masalah KB, Perkawinan dan lainnya baik dalam
berpolitik maupun bersosial seperti yang dijelaskan berikut ini.
No comments:
Post a Comment