Wednesday, January 9, 2019

keseimbangan jamiyah NU



Pada masa Ali Pasha dan Turki Usmani inilah diskursus keislaman cukup bervariasi berkembang. Semua madzhab fiqh diperbolehkan berkembang diMakkah dan pada kondisi inilah ulama-ulama Nusantara banyak belajar di sana dan sebagian menjadi bagian dari ulama utama di Makkah. Pemi–kiran Islam yang beriringan antara syariat dan tarekat inilah yang dipelajari ulama Jawi di Mekkah dan ditransmisikan ke Nusantara, yang kemudian menjadi substansi dari tradisi Islam di Pesantren.
Meskipun pembelajaran Islam di pesantren le–bih berorientasi fiqh, namun keberagamaannya ti–dak terlepas nilai-nilai spiritual sufi yang mana ulama-ulama tarekat juga ambil bagian dalam mem–bentuk umat Islam. Agar mudah dicerna umat Islam di Jawa, para ulama-ulama Jawa mentransfor–masikan kitab-kitab Arab ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah dicerna dan dipraktekkan sehari-hari.
Dalam tradisi ini, pilar utamanya adalah men–dapatkan kemanfaatan dari suatu karya sekaligus mendapatkan berkah dari pengarangnya. Dan ka–rena keberkahan inilah tradisi Islam yang dibangun para ulama-ulama tersebut tetap menjadikannya ulama dan pesantren bertahan hingga sekarang dan memiliki otoritas keagamaan. Pola tradisional dalam pembelajaran Islam ini menunjukkan suatu ikatan yang kuat antara guru-murid seperti syarah dan matannya.
Meskipun terkadang tidak pernah bertemu fisik, dalam tradisi tersebut terdapat ikatan spiritual sehingga berkah itu diberikan Allah untuk melan–jutkan perjuangannya. Oleh karena itu, syarah dan tentu jalur sanadnya dalam hubungan guru murid, adalah aspek utama yang meneguhkan pemben–tukan otoritas keagamaan.
Tugas seorang ulama adalah mengkomuni-kasikan misi dan gagasan-gagasan ulama-ulama ter–kemuka ke negeri Nusantara di mana tempat dan waktu yang berbeda. Dengan demikian, karya-karya ulama Nusantara berkembang menjadi teks-teks dasar dalam pembelajaran Islam Pesantren. Kitab syarah menciptakan sebuah hubungan antara ulama Timur Tengah dengan para santri di pesantren dan proses ini terus berlanjut turun temurun kepada generasi berikutnya secara musalsal sampai saat ini.
Munculnya Kiai Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya yang menegaskan sebagai benteng Ahlus Sunnah Wal Jamaahmerupakan peneguhan tradisi tersebut yang telah terbukti mampu menjadi penopang utama mempertahankan kemerdekaan RI dengan hentakkan ‘Resolusi Jihad’ melawan kolo–nialisme, dan menjadikan NU sebagai jam’iyah yang selalu menjaga NKRI. Dan Kiai Bisri menye–rahkan hidupnya untuk meneruskan perjuangan gurunya tersebut, dan karena ketawadhu’annya ke–pada guru utamanya (Kiai Hasyim Asy’ari), Kiai Bisri cukup dengan mentransmisikan karya-karya Kiai Hasyim kepada para santri dan masyarakat.
Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri telah memancangkan fon–dasi kokoh untuk menjaga kesinambungan jam’iyah NU terutama lembaga syuriah. Tugas itu tampaknya mampu diemban secara baik meskipun anarki “perkembangan zaman”, terutama semenjak masa modern-lanjut yang dimulai sejak masa Orde baru, menggedor-gedor lembaga itu. Paling tidak citra ketegaran mempertahankan keutuhan ajaran itu masih tercermin dalam sikap-sikap salah seorang pendiri NU, Kiai Bisri Syansuri yang digambarkan oleh Abdurrahrnan Wahid sebagai “pecinta fiqih sepanjang hayat”. Itu artinya, lebih dari dua pertiga usianya, Nahdlatul Ulama dikawal langsung oleh ‘generasi pendiri’ dengan keteguhan tak tergoyahkan dalam rnenjalankan tradisi Fiqih.
Oleh karena itulah kenapa Kiai Bisri dan kiai-kiai lainnya senantiasa berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap otoritatif, yang ditulis oleh para ulama dari madzhab empat. Menurut Kiai Bisri, keharusan untuk berkonsultasi dengan pendapat ulama ahli madzhab dalam memahami Qur’an dan Hadis, bukanlah semata-mata persoalan apakah para sarjana Islam sekarang diperkenankan atau tidak untuk melakukan ijtihad.
Kiai Bisri seperti lainnya berkeyakinan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh para ulama mengenai masalah-masalah syari’ah ada–lah merupakan tugas dan fungsi ulama yang otoritatif, yang jauh lebih paham dalam ilmu syari’ah dibandingkan kebanyakan orang. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan syari’ah sangat kompleks (rumit) yang memerlukan pendalaman sebelum seorang mengaku dirinya mampu atau menguasai masalah-masalah syari’ah. Ini bukannya berarti bahwa para ulama mengabaikan pendapat yang hidup di masyarakat (public opinion) dalam praktek mereka mengambil suatu keputusan. Dalam kenya–taannya, konsep ijma’ (konsensus yang dicapai oleh para ulama dalam sesuatu hukum) bagi para kiai, ijma’ merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kaum pembaharu menolak ijma’ sebagai sumber hukum, mereka lebih memilih qiyas sebagai sumber hukum yang ketiga.

Kiai Bisri ingin membumikan karya-karya Kiai Hasyim Asy’ari kepada santri kepada masyarakat agar lebih operasional. Kiai Bisri Syansuri pernah memimpin semua Majlis Imarah Ulama Jombang yang dibentuk oleh para ulama lulusan pesantren Tebuirerng sampai tahun 1980.
Organisasi ini mempunyai cabang-cabang di seluruh pelosok pedesaan di Jombang. Majlis ini menyelenggarakan pengajian sebulan sekali tem–patnya berpindah-pindah menurut permintaan dan giliran dari Majlis Imaroh setempat. Dalam penga–jian ini dibahas pertanyaan-pertanyaan tentang syari’ah Islam yang diajukan oleh masyarakat. Menurut kesaksian Zamakhsari Dhofier yang mengikuti Majlis Imaroh tanggal 19 Februari 1978. Dalam pertemuan tersebut muncul banyak perta–nyaan. Pertanyaan yang mudah langsung dijawab dalam pengajian tersebut. Beberapa pertanyaan yang dianggap sensitif ditangguhkan. Jawaban-jawaban cukup fleksibel dan mudah disesuaikan dengan keadaan, kecuali terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya prinsipil.
Terdapat pertanyaan yang dapat dijadikan ilustrasi yang baik melihat karakteritik pemikiran Kiai Bisri karena menyangkut aspek politik dan keagamaan sekaligus. Perntayaan ini memerlukan proses yang cukup rumit selama satu setengah bulan sampai akhirnya Majlis yang menangguhkannya.
Pertanyaan tersebut terkait adanya seorang pe–mimpin organisasi tarekat yang tidak membantu partai Islam dalam pemilu 1977. Bolehkah muridnya meninggalkan pemimpinnya tersebut dan memasuki organisasi tarekat yang lain? karena di dalam Umdah al Salik tertulis bahwa pemimpin (guru) tarekat ada–lah imam yang harus dianut oleh murid-muridnya.
Proses formulasi jawaban atas pertanyaan ter–sebut juga dapat menggambarkan bagaimana para kiai di Jombang melaksanakan praktek ijma. Se–minggu setelah pengajian bulanan, tanggal 26 Februari 1978, Kiai Bisri mengundang lima kiai anggota Majlis Imaroh ke rumahnya. Dalam kesem–patan itu, dia menanyakan perkembangan yang terjadi sehubungan dengan adanya perbedaan pen–dapat antarta Pesantren Tebuireng dan Pesantren Rejoso mengenai tarekat Qodiriyah wa naqsyabandiyah. Dia juga memerintahkan kelima kiai tersebut untuk meneliti pendapat para ulama besar yang berfaham syafi’iyah tentang perpindahan seorang murid tarekat ke tarekat yang lain dipandang dari sudut agama, tanpa menghubungkan persoalan ini dengan afiliasi politik guru tarekat sebagaimana tersurat dalam pertanyaan yang dilontarkan oleh masyarakat.
Hampir selama dua bulan, kelima kiai tersebut menimbang pendapat-pendapat para ulama Syafi’i. Tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Mu jeeb, para ulama sepanjang sejarah Islam selalu berbeda pendapat mengenai doktrin, praktik dan penasfsiran tentang hukum-hukum Islam. Mengenai persoalan perpindahan murid dari satu tarekat ke tarekat yang lain, kelima kiai tersebut tidak mene–mukan suatu perumusan yang jelas dalam kitab-kitab klasik kecuali pendapat Ibnu Hajar al Haitany dalam kitabya Al Fatwa Al Hadisiyyah yang berbunyi sebagai berikut:
“Seorang murid tarekat diperkenankan mening–galkan gurunya bilamana sang guru tersebut tidak ahli dan tidak arif, dan dapat pindah ke tarekat yang lain yang dipimpin oleh guru yang ahli dan arif; selanjutnya murid tarekat diwajib–kan meninggalkan gurunya bilamana guru ter–sebut melakukan perbuatan-perbuatan yang dila–rang oleh Syari’ah Islam, misalnya menyalah gunakan kepemimpinanya untuk mengumpulkan kekayaan”.
Pada 5 April 1978, kelima kiai tersebut mem–bahas pendapat Ibnu Hajar al Haitany dengan Kiai Bisri Syansuri yang saat itu sebagai Rais Am PBNU. Para kiai tersebut pro kontra dalam menyikapinya, sehinga Kiai Bisri menyarankan agar formulasi al Haitamy tersebut disampaikan kepada Majlis bu–lanan tanpa diubah atau ditambah di Masjid Gudo pada tanggal 19 April 1978. Kiai Bisri menjelaskan formulasi al Haitamy tersebut pada pertemuan tersebut.
Formulasi al Haitamy tersebut telah memberi–kan kesempatan untuk mengkoordinasikan secara realistis antara hukum agama dan kenyataan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Kasus ini juga merupakan contoh yang jelas bahwa walaupun para kiai mengikuti suatu paham atau aliran madzhab tertentu (yaitu syafiiyah), namun mereka memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan hu–kum-hukum agama dengan kondisi sosial yang se–dang dihadapi.
Dalam konteks inillah kita bisa memahami langkah-langkah Kiai Bisri dalam keputusan-kepu–tusannya, seperti merintis pesantren perempuan, masalah KB, Perkawinan dan lainnya baik dalam berpolitik maupun bersosial seperti yang dijelaskan berikut ini.

No comments: