Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Friday, January 18, 2019

putra kiyahi bisri syansuri ke 5 dan ke 6


Moechamad Aliaschab alias KH. Abdul AzizBisri

Putra kelima KH. Bisri Syan–suri dan Hj. Chdidjah yaitu Moechamad Aliaschab yang kemudian dikenal dengan KH. Aziz Bisri. Lahir pada tanggal 03 Agustus 1929 (27 Safar 1348 H). KH. Aziz Bisri merupakan sosok kiai yang disiplin, rapi dan tegas.
Ketegasan itu terbukti ketika KH. Aziz Bisri berhadapan dengan suatu kegiatan. Ia selalu menar–getkan harus sukses. Ia juga tak segan-segan meluapkan amarah manakala ada yang tidak disiplin. Jika dalam suatu kegiatan, KH. Aziz Bisri tidak berkenan atau menemukan sesuatu yang tidak sama dengan prinsipnya, seketika itu juga, ia akan marah dan mengambil keputusan supaya kegiatan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kehendak KH. Aziz Bisri.
KH. Aziz Bisri memiliki delapan putra dan putri yaitu KH. Abdul Wahid Aziz, Hj. Noor Azizah Aziz, Hj. Lilik Khodijah Aziz, Hj. Masriatin Aziz, Hj. Noor Fatimah Aziz, Hj. Luluk Muasshomah Aziz, Umi Salamah Aziz dan Noor Hayati Aziz.
Dalam mendidik anak-anaknya, KH. Aziz Bisri memberikan pendidikan secara langsung. Namun ketika tidak sedang bersama, maka pihak pengasuh memberikan pendidikan tersebut.
Dalam berorganisasi, KH. Aziz Bisri cukup berbeda dengan putra-putri KH. Bisri Syansuri lain–nya. Ia memilih untuk memasuki partai GOLKAR (Golongan Karya) yang tidak sejalan dengan perin–tah atau fatwa dari KH. Bisri Syansuri.
KH. Aziz Bisri memiliki alasan tersendiri untuk mendukung dan masuk dalan partai GOLKAR. Ia berpendapat bahwa jika dalam partai tersebut, tidak ada orang NU-nya, lalu siapa yang akan menjadi pihak untuk mengingatkan jika partai tersebut me–lenceng dari ajaran agama Islam. Alasan lain adalah ia ingin memperjuangkan aswaja di partai non-Islam. 

KH. Moechamad Sochib Bisri


KH. Moechamad Sochib Bisri lahir di Jombang 21 November 1932 (23 Rajab 1351 H). Ia ada–lah putra keenam atau terakhir dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah.
Tak hanya dikenal sebagai putra pendiri dan pengasuh pon–dok pesantren Mamba’ul Ma’arif, KH. Moechamad Sochib Bisri juga tersohor sebagai organisatoris, ak–tivitas partai politik dan organisasi Islam Nahdaltul Ulama’. Kiprahnya dibidang politik diawali saat Kyai Sochib masuk dalam fungsionaris parta ber–lambang ka’bah. Pada saat itu Kyai Sochib, terpilih menjadi anggota dewan di wilayah Bangkalan, Madura. Hal ini tidak terlepas dari amanah yang diberikan oleh KH. Bisri Syansuri untuk supaya dapat menjalin hubungan baik dengan para kyai dan saudara di daerah bangkalan.
KH. Moechamad Sochib Bisri, dalam riwayat pendidikannya pernah melakuakan tradisi yang ke–banyakan dilakukan oleh para kyai sebelumnya, yaitu ‘nyantri keliling’. Mulai dari Lirboyo, Lasem, Krap–yak sampai pada Gontor. Hal ini dilakuakan untuk menambah ilmu agamanya hingga lebih matang dalam mangarungi dunia pesantren dan organisasi islam kelak. Pendidikan nyantri keliling tersebut, ti–dak terlepas dari dari dorongan dorongan KH. Bisri Syansuri. Hal ini dilakukan untuk dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan pondok pesantren yang didirikannya kelak.
Setelah malakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, Kyai Sochib Bisri mengikuti jejak KH. Bisri Syan–suri untuk masuk dalam organisasi Islam dan politik pada tahun 1972. Dalam politiknya, KH. Moecha–mad Sochib Bisri tidak terlepas dari partai ber–lambang ka’bah tersebut. Semasa hidupnya, ia sangat loyal pada partai, sehingga banyak pejabat pemerintahan yang selalu menjadikan KH. Moechamad Sochib Bisri sebagai penasihat agama. Selain itu juga, Kyai Sochib Bisri juga aktif dalam kegiatan sosial, yaitu dengan ikut serta dalam kegiatan Rumah sakit umum di Jombang. Kyai Sochib Bisri menjadi penasehat spiritual di rumah sakit tersebut.
Dalam organisasi Islam yang diikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, KH. Moechamad Sochib Bisri pernah memegang tampuk kepemimpinan PCNU di Jombang. Ia juga pernah menjadi pengurus di PWNU Jawa timur. Semasa mengabdi di pesantren, ia juga merupakan pengasuh sekaligus ketua yayasan Mamba’ul Ma’arif. Kedua posisi yang dipegang oleh satu orang tersebut, merupakan yang pertama dan terakhir kalinya terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Setelah sepeninggal beliau, belum per–nah ada yang menjadi pengasuh sekaligus pemimpin yayasan dalam satu waktu.
Dalam persaksian Kyai Akhwan, Mbah Mad—begitu ia menyebutnya— merupakan sosok yang inovatif. Ia tak segan-segan berseberangan dengan ayahnya, Kyai Bisri. Dikisahkan dalam satu kesem–patan, Mbah Mad turut serta dalam perkumpulan Ulama di Jombang bersama ayahnya. Saat itu, para ulama sedang membahas foto. “Seng diharamkan itu gambar, foto itu dijepret, maka boleh. Aku ijen,” demikian tegas Mbah Mad, sebagaimana diceritakan oleh KH. Akhwan.
Kesaksian lain yang diceritakan oleh KH. Akhwan adalah saat jamaah sholat. Kyai Bisri—ayahanda mbah Mad, yang dikenal cukup disiplin selalu mengawasi santri yang tak ikut jamaah. Kyai Bisri tak segan-segan mencari anak yang tidak ikut berjamaah sholat sampai ketemu. “Kalau ketemu disel nang gudang. isinya gudang itu kacang. Yang mbengok itu Kiai Ahmad, karena kacangnya dimakan santri,” demikian tutur KH. Akhwan.
KH. Moechamad Sochib Bisri menikah tahun 1957 dengan Hj. Nadhiroh Mansyur dan dikaruniai Sembilan putra dan putri yaitu, Lathifah Shohib, Zaenab Shohib, Muflihah Shohib, Abd Mujib Sho–hib, Abdulloh, Mas'adah Shohib, Mu'linah Shohib, Abd Mu'id Shohib, dan Abd Salam Shohib. Dimata keluarga, KH. Moechamad Sochib Bisri merupakan sosok yang disiplin, tegas dan perhatian terhadap pendidikan putra-putrinya.

Thursday, January 17, 2019

Putri kiyai bisri syansuri


Hj. Moeasshomah


Hj.Moeasshomah merupakan putri kedua dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Hj. Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal 1339 H), di Denanyar Jombang.
Ia menikah dengan Kiai Hasbullah Salim dan dikarunia tiga orang putra-putri. Pertama, Hj. Muhasshonah Hasbullah, kedua Hj. Sholihaty Hasbullah dan ketiga K. Muslih Hasbullah. Seperti halnya yang lain, ketiga anaknya diberikan pendidikan agama langsung, terutama oleh kiai Hasbullah, walaupun terkadang pendidikan itu juga diberikan oleh sang kakek kyai Bisri.

Hj. Solichah


Hj. Solichah, yang dikemudian hari dikenal dengan Solichah A. Wahid Hasyim dilahirkan di De–nanyar Jombang pada 19 De–sember 1923 (11 Jumadil Awal 1344 H). Ibunya, Hj. Chadidjah, adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakbe-ras. Sedangkan ayahnya, Kyai Bisri Syansuri adalah seorang ulama keturunan kyai dari pesantren Lasem.
Kelahiran Solichah diliputi oleh suasana per–juangan yang membingkai alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai putri seorang kyai, Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi prestige yang melekat dan diwarisinya sejak dilahirkan.
Pada masa Solichah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat diliputi kecemasan, me–nyongsong malapetaka Perang Dunia II. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya sema–kin meluas menjangkau masyakarat di luar pesan–tren, Solichah remaja mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya, yaitu menekankan agar generasi re–maja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial.
Lingkungan pesantren Denanyar dimana Soli–chah remaja hidup dalam kesehariannya, juga me–miliki selera budaya terutama kesenian. Ini berbeda dengan yang hidup di dunia para kolonialis maupun yang digemari oleh para priyayi. Pada masa remajanya, Solichah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilahan dua pandangan dunia yang antagonistik tersebut.
Para gadis juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Dasar pertimbangan urusan perjodohan yang hidup di dunia pesantren berbeda dengan yang hidup di kalangan warga pedesaan pada umumnya. Laki-laki yang kemudian terpilih untuk mendampingi Solichah adalah pilihan Ha–dhratus Syekh Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dari pondok pesantren Tebuireng. Dan, seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra Kyai Cholil dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrohim dipanggil Yang Maha Kuasa.
Pada usianya yang belum memasuki usia ke-15 tahun, Solichah telah menyandang status janda. Solichah kemudian diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitan yang kedua. Calon suami yang kedua juga berasal dari keluarga pondok pesantren, hanya bedanya kali ini Solichah sudah mengenal lebih dahulu calon suaminya. Calon suami keduanya adalah Wahid Hasyim, putra kandung Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sebelumnya Soli–chah sudah pernah bertemu ketika ta’ziyah.
Pernikahan mereka diselenggarakan pada 10 Syawal 1356 H atau 1938 M dan kemudian dikaruniai empat orang anak laki-laki dan dua orang perempuan. Usia perkawinan Solichah dan Wahid Hasyim hanya berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, karena pada tahun 1953 suami tercintanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan. Saat itu, Solichah sedang mengandung anak keenam.
Sepeninggal suaminya, Solichah tetap gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan ke–luarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Solichah inilah yang sangat menen–tukan perjalanan hidup anak pertamanya, Abdur–rahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang presiden. Solichah meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, se–telah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di komplek pemakaman Tebuireng Jombang.

Hj. Moesjarrofah

Hj. Moesjarrofah merupakan putri keempat dari KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Ia lahir pada 31 Desember 1925 bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1344 H). Tahun 1938 Hj. Moesjarrofah melangsungkan pernikahan dengan Kiai Fatah. Waktu itu, Kiai Fatah berusia 25 tahun, sedangkan Hj. Moesjarrofah masih berusia 12 tahun. Perni–kahan tersebut masih ada hubungan kekerabatan dari Hj. Chadidjah yang merupakan istri dari KH. Bisri Syansuri.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua be–las putra dan putri (tiga putra dan sembilan putri) yaitu: (1) Fatimah; (2) Mu’izah; (3) Hj. Nafisah; (4) Hj. Hurriyah; (5) Mahsunah; (6) Hj. Muthmainnah; (7) Hubby Syauqi; (8) Hj. Lilik Muhibbah; (9) KH. Abdul Nasir; (10) KH. Ahmad Taufiqurrahman; (11) Hj. Syafiyah; (12) Bani (meninggal saat kecil).
Hj. Moesjarrofah merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan putra dan putrinya. Da–lam banyak hal, Hj. Moesjarrofah juga tauladan yang dapat dijadikan uswah bagi putra-putrinya dan para santri khusunya perihal ubudiyah. Ia juga dikenal sebagai seseorang yang istiqomah dalam mengasuh pondok pesantrennya. Setelah wafatnya kiai Fattah, ke-istiqomahan Hj. Moesjarrofah tersebut tampak dengan lebih memperhatikan dan selalu menyam–paikan perkataan-perkataan dari kiai Fattah kepada santrinya.
Bagi para santri, Hj. Moesjarrofah adalah figur yang sangat perhatian dan peduli. Hal ini ditun–jukkan tatkala para santri mendapat sebuah masalah, sikapnya sangat tenang dalam memberikan solusi terbaik untuk para santrinya. Santri merupakan sua–tu bagian dari hidup dan keluarga Hj. Moesjarrofah, karena para santri dianggapnya sebagai anak sendiri. Maka dari itu, curahan perhatian dan kasih sa–yangnya sepenuhnya ia berikan untuk santri-santrinya.
Menurutnya, sikap yang demikian adalah ben–tuk tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren pada saat itu. Kecintaannya kepada santri sudah tidak perlu dibantahkan, kecintaan itu juga terwujud ketika Hj. Moesjarrofah mendirikan pondok pesan–tren khusus bagi mereka yang yatim piatu. Kegiatan khusus ia lakukan pada setiap tanggal 10 Muharram dengan mengundangan anak yatim piatu dan me–ngajak makan bersama dengan keluarganya. Kon–sistensinya tercermin dalam dedikasinya pada pen–didikan, utamanya pesantren.
Disiplin, komitmen, konsekuen Hj. Moesjarro–fah dalam masalah al Qur’an dan Ibadah juga terbilang sangat tingi. Ada suatu hal yang selalu menjadi ciri khusus Hj. Moesjarrofah ketika mang–hadapi suaminya untuk berdiskusi, ia selalu meli–batkan orang ketiga sebagai penengah dan mediator. Seseoarang yang selalu menjadi pihak ketiga tersebut adalah KH. M.A Sahal Mahfudz, yang juga menantu kiai Fatah.
Hj. Moesjarrofah merupakan tokoh yang aktif dalam organisasi dan masyarakat. Di antara yang pernah diikuti oleh Hj. Moesjarrofah adalah Mus–limat. Ia sangat aktif dalam mengikuti setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan Muslimat, seperti pengajian rutin kepada masyarakat. Hal ini dila–kukan di kala Hj. Moesjarrofah sudah berusia lanjut. Meski demikian, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian-pengajian. Kecintaannya juga terwujud dalam pengabdian ke masyarakat sekitar. Walaupun Hj. Moesjarrofah merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren besar, namun beliau tetap men–jaga keharmonisan hubungan dengan masyarakat sekitar.

Wednesday, January 16, 2019

Putra kiyai bisris syansuri


KH. Ahmad Athoillah Bisri

KH. Ahmad Athoillah Bisri, putra pertama dari KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. KH. Ahmad Athoillah Bisri lahir di Jombang pada 18 Juni 1916 M. bertepatan dengan 17 Sya’ban 1334 H. KH. Ahmad Athoillah Bisri turut menjalani pendidikan ‘nyantri keliling’ yang merupakan tradisi dalam mendalami ilmu agama Islam. Di antaranya, pernah belajar di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar di bawah asuhan ayahanda, KH. Bisri Syansuri, hingga usia remaja. Kemudian me–lanjutkan ke Pondok Pesantren Tremas Pacitan, seangkatan dengan KH. Mu’thi Ali (mantan Menteri Agama RI) dan KH. Ali Ma’sum (Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak).
Setelah melakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, KH. Ahmad Athoillah Bisri mengabdi pada pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Bisri Syansuri (Ayahnya sendiri). Selama pengabdiannya tersebut, KH. Ahmad Athoillah Bisri menjadi asisten penga–suh. Ketika KH. Bisri Syansuri mulai fokus menjadi anggota DPR, posisi pengasuh pondok pesantren mulai ia pegang.
KH. Ahmad Athoillah Bisri merupakan sosok yang menginginkan pembaharuan, seperti diada–kannya pendidikan salaf ke sistem madrasah dengan berdirinya madrasah Mabadi’ul Huda. Madrasah ini dikemudian hari menjadi MTsN dan MAN Dena–nyar. Semasa KH. Ahmad Athoillah Bisri menjadi pengasuh dan mendidik para santri, kitab yang menjadi ciri khasnya adalah Tafsir Jalalain, Syarah Ibnu Aqil dan Kifayatul Ahyar.
Metode pembelajaran yang diterapkannya, me–makai cara sorogan di kelas, dengan cara santri membaca dan memeragakan, guru mendengar dan meluruskan bacaannya. KH. Ahmad Athoillah Bisri juga terkenal sangat tegas dan disiplin ketika berhadapan dengan para santrinya.
KH. Ahmad Athoillah Bisri merupakan sosok yang sangat mempedulikan kepada santri yang ku–rang mampu, namun sungguh-sungguh dalam me–nuntut ilmu. Sehingga ia tak segan-segan membiayai santri tersebut sampai selesai di pondok pesantren.
Kyai Athoillah menikah dengan Hj. Mahmulah, putri bungsu KH. Masyhoed, Pengasuh Pondok Pesantren Keprabon Solo. Dalam pernikahannya dengan Hj. Mahmulah, ia dikaruniai empat orang putra dan putri yaitu, Ahmad Hafidz Ahmad, Hamidah Ahmad, Halimah Ahmad dan Hanifah Ahmad. Dalam kehidupan keluarga Kyai Athoillah dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan sangat mengutamakan keluarga.

Tuesday, January 15, 2019

Wasiat KH. Bisri Syansuri


Wasiat KH. Bisri Syansuri

Jombang 1980, KH. Bisri Syansuri kembali ke pangkuan-NYA. Seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri menerima jabatan menjadi Rais Aam NU hingga akhir hayatnya pula. Ia meninggal pada hari Jum’at, 25 April 1980, bertepatan dengan 19 Jumadil Ahkir 1400 H, di kediamannya: Pondok Pesantren Mam–baul Ma’arif Denanyar, Jombang. Kiai Bisri wafat pada hari Jumat, “sebagaimana doanya, ia memang menginginkan ajalnya di hari Jum’at,” kenang KH. A. Aziz Masyhuri. Bagi Kiai Aziz, Mbah Bisri itu termasuk pendiri NU yang paling terakhir wafatnya. Ia tidak sekedar pengurus atau aktivis NU, tapi lebih dari itu: Mu’assisu an nahdloh.
Kiprahnya dalam organisasi sosial keagamaan dan politik memberi arti bahwa keteguhan, keda–laman ilmu dan keluasan pandangan telah mengha–dirkan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Meski, berbagai riak menandai perjalananya, tetapi kukuh pendiriannya-lah yang akhirnya mengantarkan NU, baik sebagai jam’iyah maupun sebagai gerbong poli–tik menemukan perannya dalam mewarnai arena politik negeri ini.
Ia dikenang sebagai sosok yang teguh pendi–rian, ahli fiqh yang saklek, namun tetap mau menyediakan seluruh jiwa raganya untuk kebesaran organisasi Islam. Sikap ini, sejatinya juga tak luput dari membekasnya pengalaman saat ia menyaksikan Kiai Wahab mendirikan cabang Syarikat Islam di Makkah: dirasakan perlunya mengorganisir diri da–lam melakukan perjuangan keagamaan, di luar 'kumpulan' masing-masing pesantren.
Kiai Bisri berpulang ke rahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan meta–morfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan.
Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencermi–nan dari penerimaan mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupannya. Sebelum beliau wa–fat, ada beberapa wasiat yang diamanatkan kepada keluarga atau keturunannya.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku Wasiat, yen aku kapundut, supoyo siji: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku papat, diurus anak-anakku ora papat, diurus anak-anakku nuli putu-putuku lan sak teruse. Sak teruse ing ndalem lingkungan jam’iyah organisasi Nahdlatul Ulama.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku makilno moco surat wasiatku nang anakku Hj. Sholichah kang disekseni: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Dalem ngelaksana‘aken dawuhipun Abah. Maosa–ken surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-Hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Aku wasiat yen aku kepundhut supoyo:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang diurus dining anak anakku, nuli putu putuku, sakteruse, lan wong kang disetujui, kang cakep cukup ngurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif, kang
disetujui dining sebagian akeh ahli waris lajer lanang lan wadon.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus lan diasuh dining anak Ahmad Atho’illah lan diwakili anakku Shohib Bisri sak teruse. Serta dibantu anak anakku liyane, nuli putu putuku sakteruse. Lan wongkang dise–tujui kang cakep cukup mengasuh pondok pesantren putra mau kang dimufakati dining golongan kang akeh saking ahli waris lajer lanang lan wadon.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus lan diasuh dining Hj. Mariyam Mah–mud, lan anak anakku, nuli putuku sak teruse, lan wongkang disetujui kang cakep cukup ngurus lan mengasuh pendok pesantren putri mau, kang disetujui sebagian akeh soko ahli warisku kang lajer lanang lan wadon. Yen soko anak-anak putuku sakteruse wis ora ono sing mencukupi syarat, mongko pengurus lan pengasuh pondok pesantren kudu dipilih oleh sebagian akeh ahli waris, kang lajer lanang lan wadon, pengurus yayasan, lan pengusuh pon–dok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Kudu soko wongkang ono lingkungane Jam’iyah Nahdlatul Ulama.


Bismillahirrohmanirrohim
Saya Wasiat, kalau saya meninggal supaya, satu: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku empat, diurus anak-anakku tidak empat, diurus anak-anakku lalu cucu-cucuku dan seterusnya, seterus–nya dalam lingkungan jam’iyah organisasi Nah–dlatul Ulama
Bismillahirrohmanirrohim
Saya mewakilkan baca surat wasiatku pada anakku Hj. Sholichah yang disaksikan: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Saya melaksanakan perintahnya Abah, membaca–kan surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Saya wasiat kalau saya meninggal, supaya:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jom–bang, diurus oleh anak anakku, lalu cucu-cucuku, seterusnya dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus Yayasan Mam–ba’ul Ma’arif, yang disetujui oleh sebagian
banyak ahli waris turunan langsung laki-laki dan perempuan.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus dan diasuh oleh anak saya, Ahmad Atho’illah dan diwakili anakku Shohib Bisri, seterusnya, serta dibantu anak anakku lainnya, lalu cucu-cucuku seterusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup menjadi pengasuh pondok pesantren putra tadi, yang disepakati oleh sebagaian besar ahli waris keturunan laki-laki maupun perempuan.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus dan diasuh oleh Hj. Mariyam Mahmud dan anak anakku, lalu cucu-cucuku dan sete–rusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus dan mengasuh pondok pesantren putri tadi, yang disetujui sebagian besar dari ahli warisku, yang keturunan lang–sung laki-laki atau perempuan. Kalau dari anak-anak cucuku seterusnya sudah tidak ada yang mencukupi syarat, maka pengurus dan pengasuh pondok pesantren harus dipilih oleh sebagian besar ahli waris yang keturunan lang–sung laki-laki dan perempuan. Pengurus yayasan dan pengasuh pondok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jom–bang harus dari orang yang ada di lingkungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Demikianlah wasiat Kiai Bisri Syansuri pada generasinya. Wasiat ini ditulis guna memberikan pe–tunjuk bagi pengembangan peninggalan-peninggalannya bagi kejayaan Islam secara keseluruhan. Wa–siat tersebut tersimpan dalam Arsip Yayasan Mam-baul Ma’arif Denanyar, berupa rekaman suara (kaset pita). Wasiat KH. Bisri Syansuri ini direkam pada 18 Juli 1978, bertepatan dengan 12 Sya’ban 1390 Hij–riyah.




Saturday, January 12, 2019

Muslimat NU di Panggung Politik


Muslimat NU di Panggung Politik

Bagi Aisyah Hamid, Muslimat Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut Muslimat) lahir dari getaran berbagai irama yang bergolak di kalangan wanita Islam Indonesia, khususnya wanita di lingkungan Ahlu as sunnah wa al Jamaah. Pada awal abad ke-20 terjadi transformasi kultural sebagai konsekuensi logis modernisasi. Banyak munculnya pesantren pe–rempuan yang memicu adanya gerakan-gerakan wa–nita tersebut.
Keterlibatan kaum perempuan dalam kampa-nye NU patut mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya karena keberhasilan cara-cara mereka terap–kan, tetapi juga perjuangan mendapatkan hak seba–gai calon yang dipilih untuk menjadi anggota legislatif dari partai NU.
Usulan tersebut mendapat pertentangan dari kiai-kiai yang masih memiliki pemikiran konservatif. Argumentasinya, seorang perempuan dalam melak–sanakan tugas di legislatif dikhawatirkan banyak gangguan yang membuatnya tidak kuat.
Gangguan itu bersifat bahaya moral dan fisik, baik dari sisi politiknya maupun pribadinya, sebagai ibu rumah tangga. Memang tidak seorang pun anggota Muslimat yang dapat mengingat siapa Kiai yang menolak calon legislatif perempuan ketika itu. Walaupun ada kemungkinan orang itu adalah KH. Bisri Syansuri yang terkenal konservatif mengenai masalah gender di perpolitikan. “Pada awal tahun 1960-an, ia menentang keterlibatan perempuan dalam kegiatan marching band dan latihan militer,” Kata Aisjah Dachlan, pada 17 februari 1992 dan Asma Syahruni, 21 Februari dan 9 maret 1992, sebagaimana dikutip Fealy.
                Setelah melalui perdebatan sengit, PBNU akhirnya menyetujui adanya anggota perempuan dari NU, serta memberi instruksi pada Lapunu agar perempuan juga dimasukkan dalan daftar nama calon. Sebagaimana sebelumnya, dengan keputusan untuk memperluas hak-hak anggota perempuan, para tokoh NU tidak bisa melawan keharusan politik. Tokoh-tokoh perempuan dari PNI, Masyu–mi, dan PKI terbukti menjadi juru kampanye yang efektif. Hanya dengan memberikan kesempatan yang sama kepada Muslimat, NU berharap akan dapat memaksimalkan dukungan dari pemilih perempuan.