Thursday, January 17, 2019

Putri kiyai bisri syansuri


Hj. Moeasshomah


Hj.Moeasshomah merupakan putri kedua dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Hj. Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal 1339 H), di Denanyar Jombang.
Ia menikah dengan Kiai Hasbullah Salim dan dikarunia tiga orang putra-putri. Pertama, Hj. Muhasshonah Hasbullah, kedua Hj. Sholihaty Hasbullah dan ketiga K. Muslih Hasbullah. Seperti halnya yang lain, ketiga anaknya diberikan pendidikan agama langsung, terutama oleh kiai Hasbullah, walaupun terkadang pendidikan itu juga diberikan oleh sang kakek kyai Bisri.

Hj. Solichah


Hj. Solichah, yang dikemudian hari dikenal dengan Solichah A. Wahid Hasyim dilahirkan di De–nanyar Jombang pada 19 De–sember 1923 (11 Jumadil Awal 1344 H). Ibunya, Hj. Chadidjah, adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakbe-ras. Sedangkan ayahnya, Kyai Bisri Syansuri adalah seorang ulama keturunan kyai dari pesantren Lasem.
Kelahiran Solichah diliputi oleh suasana per–juangan yang membingkai alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai putri seorang kyai, Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi prestige yang melekat dan diwarisinya sejak dilahirkan.
Pada masa Solichah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat diliputi kecemasan, me–nyongsong malapetaka Perang Dunia II. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya sema–kin meluas menjangkau masyakarat di luar pesan–tren, Solichah remaja mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya, yaitu menekankan agar generasi re–maja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari gaya hidup kaum kolonial.
Lingkungan pesantren Denanyar dimana Soli–chah remaja hidup dalam kesehariannya, juga me–miliki selera budaya terutama kesenian. Ini berbeda dengan yang hidup di dunia para kolonialis maupun yang digemari oleh para priyayi. Pada masa remajanya, Solichah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilahan dua pandangan dunia yang antagonistik tersebut.
Para gadis juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Dasar pertimbangan urusan perjodohan yang hidup di dunia pesantren berbeda dengan yang hidup di kalangan warga pedesaan pada umumnya. Laki-laki yang kemudian terpilih untuk mendampingi Solichah adalah pilihan Ha–dhratus Syekh Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dari pondok pesantren Tebuireng. Dan, seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra Kyai Cholil dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrohim dipanggil Yang Maha Kuasa.
Pada usianya yang belum memasuki usia ke-15 tahun, Solichah telah menyandang status janda. Solichah kemudian diboyong kembali ke Denanyar untuk menjalani masa pingitan yang kedua. Calon suami yang kedua juga berasal dari keluarga pondok pesantren, hanya bedanya kali ini Solichah sudah mengenal lebih dahulu calon suaminya. Calon suami keduanya adalah Wahid Hasyim, putra kandung Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sebelumnya Soli–chah sudah pernah bertemu ketika ta’ziyah.
Pernikahan mereka diselenggarakan pada 10 Syawal 1356 H atau 1938 M dan kemudian dikaruniai empat orang anak laki-laki dan dua orang perempuan. Usia perkawinan Solichah dan Wahid Hasyim hanya berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, karena pada tahun 1953 suami tercintanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan. Saat itu, Solichah sedang mengandung anak keenam.
Sepeninggal suaminya, Solichah tetap gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan ke–luarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Solichah inilah yang sangat menen–tukan perjalanan hidup anak pertamanya, Abdur–rahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang presiden. Solichah meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, se–telah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di komplek pemakaman Tebuireng Jombang.

Hj. Moesjarrofah

Hj. Moesjarrofah merupakan putri keempat dari KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chadidjah. Ia lahir pada 31 Desember 1925 bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1344 H). Tahun 1938 Hj. Moesjarrofah melangsungkan pernikahan dengan Kiai Fatah. Waktu itu, Kiai Fatah berusia 25 tahun, sedangkan Hj. Moesjarrofah masih berusia 12 tahun. Perni–kahan tersebut masih ada hubungan kekerabatan dari Hj. Chadidjah yang merupakan istri dari KH. Bisri Syansuri.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua be–las putra dan putri (tiga putra dan sembilan putri) yaitu: (1) Fatimah; (2) Mu’izah; (3) Hj. Nafisah; (4) Hj. Hurriyah; (5) Mahsunah; (6) Hj. Muthmainnah; (7) Hubby Syauqi; (8) Hj. Lilik Muhibbah; (9) KH. Abdul Nasir; (10) KH. Ahmad Taufiqurrahman; (11) Hj. Syafiyah; (12) Bani (meninggal saat kecil).
Hj. Moesjarrofah merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan putra dan putrinya. Da–lam banyak hal, Hj. Moesjarrofah juga tauladan yang dapat dijadikan uswah bagi putra-putrinya dan para santri khusunya perihal ubudiyah. Ia juga dikenal sebagai seseorang yang istiqomah dalam mengasuh pondok pesantrennya. Setelah wafatnya kiai Fattah, ke-istiqomahan Hj. Moesjarrofah tersebut tampak dengan lebih memperhatikan dan selalu menyam–paikan perkataan-perkataan dari kiai Fattah kepada santrinya.
Bagi para santri, Hj. Moesjarrofah adalah figur yang sangat perhatian dan peduli. Hal ini ditun–jukkan tatkala para santri mendapat sebuah masalah, sikapnya sangat tenang dalam memberikan solusi terbaik untuk para santrinya. Santri merupakan sua–tu bagian dari hidup dan keluarga Hj. Moesjarrofah, karena para santri dianggapnya sebagai anak sendiri. Maka dari itu, curahan perhatian dan kasih sa–yangnya sepenuhnya ia berikan untuk santri-santrinya.
Menurutnya, sikap yang demikian adalah ben–tuk tanggung jawab sebagai pengasuh pesantren pada saat itu. Kecintaannya kepada santri sudah tidak perlu dibantahkan, kecintaan itu juga terwujud ketika Hj. Moesjarrofah mendirikan pondok pesan–tren khusus bagi mereka yang yatim piatu. Kegiatan khusus ia lakukan pada setiap tanggal 10 Muharram dengan mengundangan anak yatim piatu dan me–ngajak makan bersama dengan keluarganya. Kon–sistensinya tercermin dalam dedikasinya pada pen–didikan, utamanya pesantren.
Disiplin, komitmen, konsekuen Hj. Moesjarro–fah dalam masalah al Qur’an dan Ibadah juga terbilang sangat tingi. Ada suatu hal yang selalu menjadi ciri khusus Hj. Moesjarrofah ketika mang–hadapi suaminya untuk berdiskusi, ia selalu meli–batkan orang ketiga sebagai penengah dan mediator. Seseoarang yang selalu menjadi pihak ketiga tersebut adalah KH. M.A Sahal Mahfudz, yang juga menantu kiai Fatah.
Hj. Moesjarrofah merupakan tokoh yang aktif dalam organisasi dan masyarakat. Di antara yang pernah diikuti oleh Hj. Moesjarrofah adalah Mus–limat. Ia sangat aktif dalam mengikuti setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan Muslimat, seperti pengajian rutin kepada masyarakat. Hal ini dila–kukan di kala Hj. Moesjarrofah sudah berusia lanjut. Meski demikian, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian-pengajian. Kecintaannya juga terwujud dalam pengabdian ke masyarakat sekitar. Walaupun Hj. Moesjarrofah merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren besar, namun beliau tetap men–jaga keharmonisan hubungan dengan masyarakat sekitar.

No comments: