Hj.
Moeasshomah
Hj.Moeasshomah
merupakan putri kedua dari pasangan KH. Bisri
Syansuri dan Hj. Chadidjah. Hj. Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal
1339 H), di Denanyar Jombang.
Ia menikah dengan Kiai Hasbullah Salim dan
dikarunia tiga orang putra-putri. Pertama, Hj. Muhasshonah Hasbullah, kedua Hj.
Sholihaty Hasbullah dan ketiga K. Muslih Hasbullah. Seperti halnya yang lain,
ketiga anaknya diberikan pendidikan agama langsung, terutama oleh kiai
Hasbullah, walaupun terkadang pendidikan itu juga diberikan oleh sang kakek
kyai Bisri.
Hj. Solichah
Hj. Solichah,
yang dikemudian hari dikenal dengan Solichah A. Wahid Hasyim dilahirkan di
De–nanyar Jombang pada 19 De–sember 1923 (11 Jumadil Awal 1344 H). Ibunya, Hj.
Chadidjah, adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakbe-ras.
Sedangkan ayahnya, Kyai Bisri Syansuri
adalah seorang ulama keturunan kyai dari pesantren Lasem.
Kelahiran Solichah diliputi oleh suasana per–juangan yang membingkai
alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai
putri seorang kyai, Solichah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga
pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi
prestige yang melekat dan diwarisinya sejak dilahirkan.
Pada masa Solichah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat
diliputi kecemasan, me–nyongsong malapetaka Perang Dunia II. Sebagai seorang
remaja yang ruang interaksi sosialnya sema–kin meluas menjangkau masyakarat di
luar pesan–tren, Solichah remaja mengalami transfer of learning pandangan
hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya, yaitu menekankan agar
generasi re–maja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari
gaya hidup kaum kolonial.
Lingkungan pesantren Denanyar dimana
Soli–chah remaja hidup dalam kesehariannya, juga me–miliki selera budaya
terutama kesenian. Ini berbeda dengan yang hidup di dunia para kolonialis
maupun yang digemari oleh para priyayi. Pada masa remajanya, Solichah menerima
transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai oleh pola pemilahan
dua pandangan dunia yang antagonistik tersebut.
Para gadis juga tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami.
Dasar pertimbangan urusan perjodohan yang hidup di dunia pesantren berbeda
dengan yang hidup di kalangan warga pedesaan pada umumnya. Laki-laki yang
kemudian terpilih untuk mendampingi Solichah adalah pilihan Ha–dhratus Syekh
Hasyim Asy’ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama dari pondok pesantren
Tebuireng. Dan, seorang Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra Kyai Cholil
dari Singosari. Namun, usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun
karena Abdurrohim dipanggil Yang Maha Kuasa.
Pada usianya yang belum memasuki usia ke-15 tahun, Solichah telah
menyandang status janda. Solichah kemudian diboyong kembali ke Denanyar untuk
menjalani masa pingitan yang kedua. Calon suami yang kedua juga berasal
dari keluarga pondok pesantren, hanya bedanya kali ini Solichah sudah mengenal lebih
dahulu calon suaminya. Calon suami keduanya adalah Wahid Hasyim, putra kandung
Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari. Sebelumnya Soli–chah sudah pernah bertemu
ketika ta’ziyah.
Pernikahan mereka diselenggarakan
pada 10 Syawal 1356 H atau 1938 M dan kemudian dikaruniai empat orang anak
laki-laki dan dua orang perempuan. Usia perkawinan Solichah dan Wahid Hasyim
hanya berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, karena pada tahun 1953 suami
tercintanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan. Saat itu, Solichah sedang
mengandung anak keenam.
Sepeninggal suaminya, Solichah tetap
gigih dan bersemangat dalam mempertahankan keutuhan ke–luarganya dan mendidik
anak-anaknya. Semangat dan kegigihan Solichah inilah yang sangat menen–tukan
perjalanan hidup anak pertamanya, Abdur–rahman Wahid, hingga berhasil menjadi
seorang presiden. Solichah meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29 Juli
1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,
se–telah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula.
Jenazahnya dimakamkan esok harinya di komplek pemakaman Tebuireng Jombang.
Hj.
Moesjarrofah
Hj. Moesjarrofah merupakan putri keempat dari KH. Bisri Syansuri
dan Hj. Chadidjah. Ia lahir pada 31 Desember 1925 bertepatan dengan 15 Jumadil
Akhir 1344 H). Tahun 1938 Hj. Moesjarrofah melangsungkan pernikahan dengan Kiai
Fatah. Waktu itu, Kiai Fatah berusia 25 tahun, sedangkan Hj. Moesjarrofah masih
berusia 12 tahun. Perni–kahan tersebut masih ada hubungan kekerabatan dari Hj.
Chadidjah yang merupakan istri dari KH. Bisri Syansuri.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua be–las putra dan putri
(tiga putra dan sembilan putri) yaitu: (1) Fatimah; (2) Mu’izah; (3) Hj.
Nafisah; (4) Hj. Hurriyah; (5) Mahsunah; (6) Hj. Muthmainnah; (7) Hubby Syauqi;
(8) Hj. Lilik Muhibbah; (9) KH. Abdul Nasir; (10) KH. Ahmad Taufiqurrahman;
(11) Hj. Syafiyah; (12) Bani (meninggal saat kecil).
Hj. Moesjarrofah merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan
putra dan putrinya. Da–lam banyak hal, Hj. Moesjarrofah juga tauladan yang
dapat dijadikan uswah bagi putra-putrinya dan para santri khusunya
perihal ubudiyah. Ia juga dikenal sebagai seseorang yang istiqomah dalam
mengasuh pondok pesantrennya. Setelah wafatnya kiai Fattah, ke-istiqomahan Hj.
Moesjarrofah tersebut tampak dengan lebih memperhatikan dan selalu
menyam–paikan perkataan-perkataan dari kiai Fattah kepada santrinya.
Bagi para santri, Hj. Moesjarrofah adalah figur yang sangat perhatian
dan peduli. Hal ini ditun–jukkan tatkala para santri mendapat sebuah masalah,
sikapnya sangat tenang dalam memberikan solusi terbaik untuk para santrinya.
Santri merupakan sua–tu bagian dari hidup dan keluarga Hj. Moesjarrofah, karena
para santri dianggapnya sebagai anak sendiri. Maka dari itu, curahan perhatian
dan kasih sa–yangnya sepenuhnya ia berikan untuk santri-santrinya.
Menurutnya, sikap yang demikian adalah ben–tuk tanggung jawab sebagai
pengasuh pesantren pada saat itu. Kecintaannya kepada santri sudah tidak perlu
dibantahkan, kecintaan itu juga terwujud ketika Hj. Moesjarrofah mendirikan
pondok pesan–tren khusus bagi mereka yang yatim piatu. Kegiatan khusus ia
lakukan pada setiap tanggal 10 Muharram dengan mengundangan anak yatim piatu
dan me–ngajak makan bersama dengan keluarganya. Kon–sistensinya tercermin dalam
dedikasinya pada pen–didikan, utamanya pesantren.
Disiplin, komitmen, konsekuen Hj. Moesjarro–fah dalam masalah al Qur’an
dan Ibadah juga terbilang sangat tingi. Ada suatu hal yang selalu menjadi ciri
khusus Hj. Moesjarrofah ketika mang–hadapi suaminya untuk berdiskusi, ia selalu
meli–batkan orang ketiga sebagai penengah dan mediator. Seseoarang yang selalu
menjadi pihak ketiga tersebut adalah KH. M.A Sahal Mahfudz, yang juga menantu
kiai Fatah.
Hj. Moesjarrofah merupakan tokoh yang
aktif dalam organisasi dan masyarakat. Di antara yang pernah diikuti oleh Hj.
Moesjarrofah adalah Mus–limat. Ia sangat aktif dalam mengikuti setiap
kegiatan-kegiatan yang diadakan Muslimat, seperti pengajian rutin kepada
masyarakat. Hal ini dila–kukan di kala Hj. Moesjarrofah sudah berusia lanjut.
Meski demikian, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian-pengajian.
Kecintaannya juga terwujud dalam pengabdian ke masyarakat sekitar. Walaupun Hj.
Moesjarrofah merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren besar, namun beliau
tetap men–jaga keharmonisan hubungan dengan masyarakat sekitar.
No comments:
Post a Comment