Moechamad Aliaschab alias KH. Abdul AzizBisri
Putra kelima
KH. Bisri Syan–suri dan Hj. Chdidjah yaitu Moechamad Aliaschab yang kemudian
dikenal dengan KH. Aziz Bisri. Lahir pada tanggal 03 Agustus 1929 (27 Safar
1348 H). KH. Aziz Bisri merupakan sosok kiai yang disiplin, rapi dan tegas.
Ketegasan
itu terbukti ketika KH. Aziz Bisri berhadapan dengan suatu kegiatan. Ia selalu
menar–getkan harus sukses. Ia juga tak segan-segan meluapkan amarah manakala
ada yang tidak disiplin. Jika dalam suatu kegiatan, KH. Aziz Bisri tidak
berkenan atau menemukan sesuatu yang tidak sama dengan prinsipnya, seketika itu
juga, ia akan marah dan mengambil keputusan supaya kegiatan tersebut dapat berjalan
sesuai dengan kehendak KH. Aziz Bisri.
KH. Aziz
Bisri memiliki delapan putra dan putri yaitu KH. Abdul Wahid Aziz, Hj. Noor
Azizah Aziz, Hj. Lilik Khodijah Aziz, Hj. Masriatin Aziz, Hj. Noor Fatimah
Aziz, Hj. Luluk Muasshomah Aziz, Umi Salamah Aziz dan Noor Hayati Aziz.
Dalam
mendidik anak-anaknya, KH. Aziz Bisri memberikan pendidikan secara langsung.
Namun ketika tidak sedang bersama, maka pihak pengasuh memberikan pendidikan tersebut.
Dalam berorganisasi, KH. Aziz Bisri cukup berbeda dengan putra-putri
KH. Bisri Syansuri lain–nya. Ia memilih untuk memasuki partai GOLKAR (Golongan
Karya) yang tidak sejalan dengan perin–tah atau fatwa dari KH. Bisri Syansuri.
KH. Aziz Bisri memiliki alasan tersendiri untuk mendukung dan masuk
dalan partai GOLKAR. Ia berpendapat bahwa jika dalam partai tersebut, tidak ada
orang NU-nya, lalu siapa yang akan menjadi pihak untuk mengingatkan jika partai
tersebut me–lenceng dari ajaran agama Islam. Alasan lain adalah ia ingin
memperjuangkan aswaja di partai non-Islam.
KH.
Moechamad Sochib Bisri lahir di
Jombang 21 November 1932 (23 Rajab 1351 H). Ia ada–lah putra keenam atau
terakhir dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah.
Tak hanya dikenal sebagai putra pendiri dan pengasuh pon–dok pesantren
Mamba’ul Ma’arif, KH. Moechamad Sochib Bisri juga tersohor sebagai
organisatoris, ak–tivitas partai politik dan organisasi Islam Nahdaltul Ulama’.
Kiprahnya dibidang politik diawali saat Kyai Sochib masuk dalam fungsionaris
parta ber–lambang ka’bah. Pada saat itu Kyai Sochib, terpilih menjadi anggota
dewan di wilayah Bangkalan, Madura. Hal ini tidak terlepas dari amanah yang
diberikan oleh KH. Bisri Syansuri untuk supaya dapat menjalin hubungan baik
dengan para kyai dan saudara di daerah bangkalan.
KH. Moechamad Sochib Bisri, dalam riwayat pendidikannya pernah
melakuakan tradisi yang ke–banyakan dilakukan oleh para kyai sebelumnya,
yaitu ‘nyantri keliling’. Mulai dari Lirboyo, Lasem, Krap–yak sampai
pada Gontor. Hal ini dilakuakan untuk menambah ilmu agamanya hingga lebih
matang dalam mangarungi dunia pesantren dan organisasi islam kelak. Pendidikan
nyantri keliling tersebut, ti–dak terlepas dari dari dorongan dorongan KH.
Bisri Syansuri. Hal ini dilakukan untuk dapat meneruskan tongkat estafet
kepemimpinan pondok pesantren yang didirikannya kelak.
Setelah malakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, Kyai Sochib Bisri
mengikuti jejak KH. Bisri Syan–suri untuk masuk dalam organisasi Islam dan
politik pada tahun 1972. Dalam politiknya, KH. Moecha–mad Sochib Bisri tidak
terlepas dari partai ber–lambang ka’bah tersebut. Semasa hidupnya, ia sangat
loyal pada partai, sehingga banyak pejabat pemerintahan yang selalu menjadikan
KH. Moechamad Sochib Bisri sebagai penasihat agama. Selain itu juga, Kyai
Sochib Bisri juga aktif dalam kegiatan sosial, yaitu dengan ikut serta dalam kegiatan
Rumah sakit umum di Jombang. Kyai Sochib Bisri menjadi penasehat spiritual di
rumah sakit tersebut.
Dalam organisasi Islam yang diikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, KH.
Moechamad Sochib Bisri pernah memegang tampuk kepemimpinan PCNU di Jombang. Ia
juga pernah menjadi pengurus di PWNU Jawa timur. Semasa mengabdi di pesantren,
ia juga merupakan pengasuh sekaligus ketua yayasan Mamba’ul Ma’arif. Kedua
posisi yang dipegang oleh satu orang tersebut, merupakan yang pertama dan
terakhir kalinya terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Setelah sepeninggal
beliau, belum per–nah ada yang menjadi pengasuh sekaligus pemimpin yayasan
dalam satu waktu.
Dalam persaksian Kyai Akhwan, Mbah Mad—begitu ia menyebutnya— merupakan
sosok yang inovatif. Ia tak segan-segan berseberangan dengan ayahnya, Kyai
Bisri. Dikisahkan dalam satu kesem–patan, Mbah Mad turut serta dalam
perkumpulan Ulama di Jombang bersama ayahnya. Saat itu, para ulama sedang
membahas foto. “Seng diharamkan itu gambar, foto itu dijepret, maka boleh.
Aku ijen,” demikian tegas Mbah Mad, sebagaimana diceritakan oleh KH.
Akhwan.
Kesaksian lain yang diceritakan oleh KH. Akhwan adalah saat jamaah
sholat. Kyai Bisri—ayahanda mbah Mad, yang dikenal cukup disiplin selalu
mengawasi santri yang tak ikut jamaah. Kyai Bisri tak segan-segan mencari anak
yang tidak ikut berjamaah sholat sampai ketemu. “Kalau ketemu disel nang
gudang. isinya gudang itu kacang. Yang mbengok itu Kiai Ahmad, karena kacangnya
dimakan santri,” demikian tutur KH. Akhwan.
KH. Moechamad Sochib Bisri menikah tahun 1957 dengan Hj.
Nadhiroh Mansyur dan dikaruniai Sembilan putra dan putri yaitu, Lathifah
Shohib, Zaenab Shohib, Muflihah Shohib, Abd Mujib Sho–hib, Abdulloh, Mas'adah
Shohib, Mu'linah Shohib, Abd Mu'id Shohib, dan Abd Salam Shohib. Dimata
keluarga, KH. Moechamad Sochib Bisri merupakan sosok yang disiplin, tegas dan
perhatian terhadap pendidikan putra-putrinya.
No comments:
Post a Comment