Friday, January 18, 2019

putra kiyahi bisri syansuri ke 5 dan ke 6


Moechamad Aliaschab alias KH. Abdul AzizBisri

Putra kelima KH. Bisri Syan–suri dan Hj. Chdidjah yaitu Moechamad Aliaschab yang kemudian dikenal dengan KH. Aziz Bisri. Lahir pada tanggal 03 Agustus 1929 (27 Safar 1348 H). KH. Aziz Bisri merupakan sosok kiai yang disiplin, rapi dan tegas.
Ketegasan itu terbukti ketika KH. Aziz Bisri berhadapan dengan suatu kegiatan. Ia selalu menar–getkan harus sukses. Ia juga tak segan-segan meluapkan amarah manakala ada yang tidak disiplin. Jika dalam suatu kegiatan, KH. Aziz Bisri tidak berkenan atau menemukan sesuatu yang tidak sama dengan prinsipnya, seketika itu juga, ia akan marah dan mengambil keputusan supaya kegiatan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kehendak KH. Aziz Bisri.
KH. Aziz Bisri memiliki delapan putra dan putri yaitu KH. Abdul Wahid Aziz, Hj. Noor Azizah Aziz, Hj. Lilik Khodijah Aziz, Hj. Masriatin Aziz, Hj. Noor Fatimah Aziz, Hj. Luluk Muasshomah Aziz, Umi Salamah Aziz dan Noor Hayati Aziz.
Dalam mendidik anak-anaknya, KH. Aziz Bisri memberikan pendidikan secara langsung. Namun ketika tidak sedang bersama, maka pihak pengasuh memberikan pendidikan tersebut.
Dalam berorganisasi, KH. Aziz Bisri cukup berbeda dengan putra-putri KH. Bisri Syansuri lain–nya. Ia memilih untuk memasuki partai GOLKAR (Golongan Karya) yang tidak sejalan dengan perin–tah atau fatwa dari KH. Bisri Syansuri.
KH. Aziz Bisri memiliki alasan tersendiri untuk mendukung dan masuk dalan partai GOLKAR. Ia berpendapat bahwa jika dalam partai tersebut, tidak ada orang NU-nya, lalu siapa yang akan menjadi pihak untuk mengingatkan jika partai tersebut me–lenceng dari ajaran agama Islam. Alasan lain adalah ia ingin memperjuangkan aswaja di partai non-Islam. 

KH. Moechamad Sochib Bisri


KH. Moechamad Sochib Bisri lahir di Jombang 21 November 1932 (23 Rajab 1351 H). Ia ada–lah putra keenam atau terakhir dari pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah.
Tak hanya dikenal sebagai putra pendiri dan pengasuh pon–dok pesantren Mamba’ul Ma’arif, KH. Moechamad Sochib Bisri juga tersohor sebagai organisatoris, ak–tivitas partai politik dan organisasi Islam Nahdaltul Ulama’. Kiprahnya dibidang politik diawali saat Kyai Sochib masuk dalam fungsionaris parta ber–lambang ka’bah. Pada saat itu Kyai Sochib, terpilih menjadi anggota dewan di wilayah Bangkalan, Madura. Hal ini tidak terlepas dari amanah yang diberikan oleh KH. Bisri Syansuri untuk supaya dapat menjalin hubungan baik dengan para kyai dan saudara di daerah bangkalan.
KH. Moechamad Sochib Bisri, dalam riwayat pendidikannya pernah melakuakan tradisi yang ke–banyakan dilakukan oleh para kyai sebelumnya, yaitu ‘nyantri keliling’. Mulai dari Lirboyo, Lasem, Krap–yak sampai pada Gontor. Hal ini dilakuakan untuk menambah ilmu agamanya hingga lebih matang dalam mangarungi dunia pesantren dan organisasi islam kelak. Pendidikan nyantri keliling tersebut, ti–dak terlepas dari dari dorongan dorongan KH. Bisri Syansuri. Hal ini dilakukan untuk dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan pondok pesantren yang didirikannya kelak.
Setelah malakukan pendidikan ‘nyantri keliling’, Kyai Sochib Bisri mengikuti jejak KH. Bisri Syan–suri untuk masuk dalam organisasi Islam dan politik pada tahun 1972. Dalam politiknya, KH. Moecha–mad Sochib Bisri tidak terlepas dari partai ber–lambang ka’bah tersebut. Semasa hidupnya, ia sangat loyal pada partai, sehingga banyak pejabat pemerintahan yang selalu menjadikan KH. Moechamad Sochib Bisri sebagai penasihat agama. Selain itu juga, Kyai Sochib Bisri juga aktif dalam kegiatan sosial, yaitu dengan ikut serta dalam kegiatan Rumah sakit umum di Jombang. Kyai Sochib Bisri menjadi penasehat spiritual di rumah sakit tersebut.
Dalam organisasi Islam yang diikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, KH. Moechamad Sochib Bisri pernah memegang tampuk kepemimpinan PCNU di Jombang. Ia juga pernah menjadi pengurus di PWNU Jawa timur. Semasa mengabdi di pesantren, ia juga merupakan pengasuh sekaligus ketua yayasan Mamba’ul Ma’arif. Kedua posisi yang dipegang oleh satu orang tersebut, merupakan yang pertama dan terakhir kalinya terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan. Setelah sepeninggal beliau, belum per–nah ada yang menjadi pengasuh sekaligus pemimpin yayasan dalam satu waktu.
Dalam persaksian Kyai Akhwan, Mbah Mad—begitu ia menyebutnya— merupakan sosok yang inovatif. Ia tak segan-segan berseberangan dengan ayahnya, Kyai Bisri. Dikisahkan dalam satu kesem–patan, Mbah Mad turut serta dalam perkumpulan Ulama di Jombang bersama ayahnya. Saat itu, para ulama sedang membahas foto. “Seng diharamkan itu gambar, foto itu dijepret, maka boleh. Aku ijen,” demikian tegas Mbah Mad, sebagaimana diceritakan oleh KH. Akhwan.
Kesaksian lain yang diceritakan oleh KH. Akhwan adalah saat jamaah sholat. Kyai Bisri—ayahanda mbah Mad, yang dikenal cukup disiplin selalu mengawasi santri yang tak ikut jamaah. Kyai Bisri tak segan-segan mencari anak yang tidak ikut berjamaah sholat sampai ketemu. “Kalau ketemu disel nang gudang. isinya gudang itu kacang. Yang mbengok itu Kiai Ahmad, karena kacangnya dimakan santri,” demikian tutur KH. Akhwan.
KH. Moechamad Sochib Bisri menikah tahun 1957 dengan Hj. Nadhiroh Mansyur dan dikaruniai Sembilan putra dan putri yaitu, Lathifah Shohib, Zaenab Shohib, Muflihah Shohib, Abd Mujib Sho–hib, Abdulloh, Mas'adah Shohib, Mu'linah Shohib, Abd Mu'id Shohib, dan Abd Salam Shohib. Dimata keluarga, KH. Moechamad Sochib Bisri merupakan sosok yang disiplin, tegas dan perhatian terhadap pendidikan putra-putrinya.

No comments: