Wasiat KH.
Bisri Syansuri
Jombang
1980, KH. Bisri Syansuri kembali ke pangkuan-NYA. Seperti halnya KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri menerima jabatan menjadi
Rais Aam NU hingga akhir hayatnya pula. Ia meninggal pada hari Jum’at, 25 April
1980, bertepatan dengan 19 Jumadil Ahkir 1400 H, di kediamannya: Pondok
Pesantren Mam–baul Ma’arif Denanyar, Jombang. Kiai Bisri wafat pada hari Jumat,
“sebagaimana doanya, ia memang menginginkan ajalnya di hari Jum’at,”
kenang KH. A. Aziz Masyhuri. Bagi Kiai Aziz, Mbah Bisri itu termasuk pendiri NU
yang paling terakhir wafatnya. Ia tidak sekedar pengurus atau aktivis NU, tapi
lebih dari itu: Mu’assisu an nahdloh.
Kiprahnya dalam
organisasi sosial keagamaan dan politik memberi arti bahwa keteguhan,
keda–laman ilmu dan keluasan pandangan telah mengha–dirkan kontribusi bagi
pembangunan bangsa. Meski, berbagai riak menandai perjalananya, tetapi kukuh
pendiriannya-lah yang akhirnya mengantarkan NU, baik sebagai jam’iyah maupun
sebagai gerbong poli–tik menemukan perannya dalam mewarnai arena politik negeri
ini.
Ia dikenang
sebagai sosok yang teguh pendi–rian, ahli fiqh yang saklek, namun tetap
mau menyediakan seluruh jiwa raganya
untuk kebesaran organisasi Islam. Sikap ini, sejatinya juga tak luput dari
membekasnya pengalaman saat ia menyaksikan Kiai Wahab mendirikan cabang
Syarikat Islam di Makkah: dirasakan perlunya mengorganisir diri da–lam
melakukan perjuangan keagamaan, di luar 'kumpulan' masing-masing pesantren.
Kiai Bisri berpulang ke rahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi
tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan
meta–morfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari
kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber
pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada
hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan
hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan.
Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan
dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencermi–nan dari
penerimaan mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupannya. Sebelum beliau
wa–fat, ada beberapa wasiat yang diamanatkan kepada keluarga atau keturunannya.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku
Wasiat, yen aku kapundut, supoyo siji: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku
papat, diurus anak-anakku ora papat, diurus anak-anakku nuli
putu-putuku lan sak teruse. Sak teruse ing ndalem lingkungan jam’iyah
organisasi Nahdlatul Ulama.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku makilno moco surat wasiatku nang anakku Hj. Sholichah
kang disekseni: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri,
(4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Dalem ngelaksana‘aken dawuhipun Abah. Maosa–ken surat
wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-Hajj Bisri Syansuri di Jakarta
tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu
‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin,
shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Aku wasiat yen aku kepundhut supoyo:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang
diurus dining anak anakku, nuli putu putuku, sakteruse, lan wong kang
disetujui, kang cakep cukup ngurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif, kang
disetujui dining sebagian akeh ahli
waris lajer lanang lan wadon.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif
Putra diurus lan diasuh dining anak Ahmad Atho’illah lan diwakili anakku Shohib
Bisri sak teruse. Serta dibantu anak anakku liyane, nuli putu putuku sakteruse.
Lan wongkang dise–tujui kang cakep cukup mengasuh pondok pesantren putra mau
kang dimufakati dining golongan kang akeh saking ahli waris lajer lanang lan
wadon.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif
Putri diurus lan diasuh dining Hj. Mariyam Mah–mud, lan anak anakku, nuli
putuku sak teruse, lan wongkang disetujui kang cakep cukup ngurus lan mengasuh
pendok pesantren putri mau, kang disetujui sebagian akeh soko ahli warisku kang
lajer lanang lan wadon. Yen soko anak-anak putuku sakteruse wis ora ono sing
mencukupi syarat, mongko pengurus lan pengasuh pondok pesantren kudu dipilih
oleh sebagian akeh ahli waris, kang lajer lanang lan wadon, pengurus yayasan,
lan pengusuh pon–dok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.
Kudu soko wongkang ono lingkungane Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Bismillahirrohmanirrohim
Saya Wasiat, kalau saya meninggal supaya, satu:
Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku empat, diurus anak-anakku tidak empat,
diurus anak-anakku lalu cucu-cucuku dan seterusnya,
seterus–nya dalam lingkungan jam’iyah organisasi Nah–dlatul Ulama
Bismillahirrohmanirrohim
Saya mewakilkan baca surat wasiatku pada anakku Hj.
Sholichah yang disaksikan: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3)
Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Saya melaksanakan perintahnya Abah, membaca–kan surat
wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-hajj Bisri Syansuri di Jakarta
tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu
‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin,
shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Saya wasiat kalau saya meninggal, supaya:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jom–bang,
diurus oleh anak anakku, lalu cucu-cucuku, seterusnya dan orang yang disetujui,
yang cakap cukup mengurus Yayasan Mam–ba’ul Ma’arif, yang disetujui oleh
sebagian
banyak ahli waris turunan langsung
laki-laki dan perempuan.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif
Putra diurus dan diasuh oleh anak saya, Ahmad Atho’illah dan diwakili anakku
Shohib Bisri, seterusnya, serta dibantu anak anakku lainnya, lalu cucu-cucuku
seterusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup menjadi pengasuh pondok
pesantren putra tadi, yang disepakati oleh sebagaian besar ahli waris keturunan
laki-laki maupun perempuan.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif
Putri diurus dan diasuh oleh Hj. Mariyam Mahmud dan anak anakku, lalu
cucu-cucuku dan sete–rusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup
mengurus dan mengasuh pondok pesantren putri tadi, yang disetujui sebagian
besar dari ahli warisku, yang keturunan lang–sung laki-laki atau perempuan.
Kalau dari anak-anak cucuku seterusnya sudah tidak ada yang mencukupi syarat,
maka pengurus dan pengasuh pondok pesantren harus dipilih oleh sebagian besar
ahli waris yang keturunan lang–sung laki-laki dan perempuan. Pengurus yayasan
dan pengasuh pondok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jom–bang
harus dari orang yang ada di lingkungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Demikianlah
wasiat Kiai Bisri Syansuri pada generasinya. Wasiat ini ditulis guna memberikan
pe–tunjuk bagi pengembangan peninggalan-peninggalannya bagi kejayaan Islam secara keseluruhan. Wa–siat tersebut
tersimpan dalam Arsip Yayasan Mam-baul Ma’arif Denanyar, berupa rekaman suara
(kaset pita). Wasiat KH. Bisri Syansuri ini direkam pada 18 Juli 1978,
bertepatan dengan 12 Sya’ban 1390 Hij–riyah.
No comments:
Post a Comment