Tuesday, January 15, 2019

Wasiat KH. Bisri Syansuri


Wasiat KH. Bisri Syansuri

Jombang 1980, KH. Bisri Syansuri kembali ke pangkuan-NYA. Seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri menerima jabatan menjadi Rais Aam NU hingga akhir hayatnya pula. Ia meninggal pada hari Jum’at, 25 April 1980, bertepatan dengan 19 Jumadil Ahkir 1400 H, di kediamannya: Pondok Pesantren Mam–baul Ma’arif Denanyar, Jombang. Kiai Bisri wafat pada hari Jumat, “sebagaimana doanya, ia memang menginginkan ajalnya di hari Jum’at,” kenang KH. A. Aziz Masyhuri. Bagi Kiai Aziz, Mbah Bisri itu termasuk pendiri NU yang paling terakhir wafatnya. Ia tidak sekedar pengurus atau aktivis NU, tapi lebih dari itu: Mu’assisu an nahdloh.
Kiprahnya dalam organisasi sosial keagamaan dan politik memberi arti bahwa keteguhan, keda–laman ilmu dan keluasan pandangan telah mengha–dirkan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Meski, berbagai riak menandai perjalananya, tetapi kukuh pendiriannya-lah yang akhirnya mengantarkan NU, baik sebagai jam’iyah maupun sebagai gerbong poli–tik menemukan perannya dalam mewarnai arena politik negeri ini.
Ia dikenang sebagai sosok yang teguh pendi–rian, ahli fiqh yang saklek, namun tetap mau menyediakan seluruh jiwa raganya untuk kebesaran organisasi Islam. Sikap ini, sejatinya juga tak luput dari membekasnya pengalaman saat ia menyaksikan Kiai Wahab mendirikan cabang Syarikat Islam di Makkah: dirasakan perlunya mengorganisir diri da–lam melakukan perjuangan keagamaan, di luar 'kumpulan' masing-masing pesantren.
Kiai Bisri berpulang ke rahmatullah dalam usia yang lanjut, tetapi tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan meta–morfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan.
Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencermi–nan dari penerimaan mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupannya. Sebelum beliau wa–fat, ada beberapa wasiat yang diamanatkan kepada keluarga atau keturunannya.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku Wasiat, yen aku kapundut, supoyo siji: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku papat, diurus anak-anakku ora papat, diurus anak-anakku nuli putu-putuku lan sak teruse. Sak teruse ing ndalem lingkungan jam’iyah organisasi Nahdlatul Ulama.
Bismillahirrohmanirrohim
Aku makilno moco surat wasiatku nang anakku Hj. Sholichah kang disekseni: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Dalem ngelaksana‘aken dawuhipun Abah. Maosa–ken surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-Hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Aku wasiat yen aku kepundhut supoyo:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang diurus dining anak anakku, nuli putu putuku, sakteruse, lan wong kang disetujui, kang cakep cukup ngurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif, kang
disetujui dining sebagian akeh ahli waris lajer lanang lan wadon.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus lan diasuh dining anak Ahmad Atho’illah lan diwakili anakku Shohib Bisri sak teruse. Serta dibantu anak anakku liyane, nuli putu putuku sakteruse. Lan wongkang dise–tujui kang cakep cukup mengasuh pondok pesantren putra mau kang dimufakati dining golongan kang akeh saking ahli waris lajer lanang lan wadon.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus lan diasuh dining Hj. Mariyam Mah–mud, lan anak anakku, nuli putuku sak teruse, lan wongkang disetujui kang cakep cukup ngurus lan mengasuh pendok pesantren putri mau, kang disetujui sebagian akeh soko ahli warisku kang lajer lanang lan wadon. Yen soko anak-anak putuku sakteruse wis ora ono sing mencukupi syarat, mongko pengurus lan pengasuh pondok pesantren kudu dipilih oleh sebagian akeh ahli waris, kang lajer lanang lan wadon, pengurus yayasan, lan pengusuh pon–dok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Kudu soko wongkang ono lingkungane Jam’iyah Nahdlatul Ulama.


Bismillahirrohmanirrohim
Saya Wasiat, kalau saya meninggal supaya, satu: Yayasan Mamba’ul Ma’arif diurus anakku empat, diurus anak-anakku tidak empat, diurus anak-anakku lalu cucu-cucuku dan seterusnya, seterus–nya dalam lingkungan jam’iyah organisasi Nah–dlatul Ulama
Bismillahirrohmanirrohim
Saya mewakilkan baca surat wasiatku pada anakku Hj. Sholichah yang disaksikan: (1) Nadhifah Ma–riyah Mahmud, (2) Musyarofah, (3) Shohib Bisri, (4) Hamid Baidlowi, (5) Muslih Hasbulloh, (6) Aziz Masyhuri
Saya melaksanakan perintahnya Abah, membaca–kan surat wasiat.
Wasiat Hadhrotus Syekh al-hajj Bisri Syansuri di Jakarta tanggal 12 Sya’ban 1398 bertepatan dengan 18 Juli 1978.
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbil alamin was sholaatu was Sa–laamu ‘ala Asyrofil anbiyai wal mursaliin, Sayyidina wamaulana Muhammadin, shollallahu ‘alaihi wa–sallam, wa’ala aalihi washohbihi ajma’iin, ‘amma ba’du.
Saya wasiat kalau saya meninggal, supaya:
1. Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jom–bang, diurus oleh anak anakku, lalu cucu-cucuku, seterusnya dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus Yayasan Mam–ba’ul Ma’arif, yang disetujui oleh sebagian
banyak ahli waris turunan langsung laki-laki dan perempuan.
2. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putra diurus dan diasuh oleh anak saya, Ahmad Atho’illah dan diwakili anakku Shohib Bisri, seterusnya, serta dibantu anak anakku lainnya, lalu cucu-cucuku seterusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup menjadi pengasuh pondok pesantren putra tadi, yang disepakati oleh sebagaian besar ahli waris keturunan laki-laki maupun perempuan.
3. Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri diurus dan diasuh oleh Hj. Mariyam Mahmud dan anak anakku, lalu cucu-cucuku dan sete–rusnya, dan orang yang disetujui, yang cakap cukup mengurus dan mengasuh pondok pesantren putri tadi, yang disetujui sebagian besar dari ahli warisku, yang keturunan lang–sung laki-laki atau perempuan. Kalau dari anak-anak cucuku seterusnya sudah tidak ada yang mencukupi syarat, maka pengurus dan pengasuh pondok pesantren harus dipilih oleh sebagian besar ahli waris yang keturunan lang–sung laki-laki dan perempuan. Pengurus yayasan dan pengasuh pondok pesantren putra-putri Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jom–bang harus dari orang yang ada di lingkungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Demikianlah wasiat Kiai Bisri Syansuri pada generasinya. Wasiat ini ditulis guna memberikan pe–tunjuk bagi pengembangan peninggalan-peninggalannya bagi kejayaan Islam secara keseluruhan. Wa–siat tersebut tersimpan dalam Arsip Yayasan Mam-baul Ma’arif Denanyar, berupa rekaman suara (kaset pita). Wasiat KH. Bisri Syansuri ini direkam pada 18 Juli 1978, bertepatan dengan 12 Sya’ban 1390 Hij–riyah.




No comments: