Cara Pandang
tentang Keluarga Berancana
Pada
dasarnya, program Keluarga Berencana (KB) bertujuan untuk kemaslahatan dan
kesejah–teraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Setiap tujuan
yang bermaksud untuk kemaslahatan atau kesejahteraan tentu akan dibe–narkan
oleh Islam selama cara-cara yang ditempuh bisa dibenarkan oleh syari’at Islam.
Bagian ini berasal dari kertas kerja Musyawarah
Ulama Terbatas mengenai KB yang diadakan oleh Departemen Agama RI di Wisma
Heny, Jakarta pada 28 Juni 2012. Digunakan sebagai awalan untuk melihat posisi
KH. Bisri Syansuri dan NU dalam memberikan pandangannya mengenai KB.
Keluarga Berencana (KB) dilakukan antara lain dengan jalan ikhtiar pengaturan
kelahiran. Ikhtiar pengaturan kelahiran itu tidak beda dengan ikhtiar
menunda kelahiran untuk sementara. Dalam hal ini, Keluarga berencana (KB) dapat
disamakan dengan ‘azl. Mengenai ‘azl sendiri, para fuqaha berlainan
pendapat perihal hukumnya. Pendapat yang sahih menurut al-Gahzali, adalah
boleh.
Di dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan: “Jabir,
seseorang laki-laki datang menghadap Rasulallah, lalu berucap: ‘saya mempunyai
seorang jariyah (budak perempuan yang sudah halal digauli). Dia pelayan kami,
dan saya biasa mengumpulinya, tetapi saya tidak ingin dia hamil.’ Nabi pun
bersabda: “silahkan kamu ‘azl. Sesungguhnya akan datang kepadaya apa yang
ditakdirkan”. Hadist ini memberi pengertian bahwa ‘azl adalah
ikhtiar untuk mencegah kehamilan, dengan cara mengeluarkan sperma di luar
vagina, demi menjaga kesehatan.
Dalam hadist yang lain, juga diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan: “dari
Jabir, dia berkata: kami (para sahabat) melakukan kepadanya, tetapi dia tidak
melarang kami”. Hadist ini memberi pengertian bahwa ‘azl itu boleh
dilakukan. Ada juga hadist yang memberi pengertian bahwa ‘azl tidak
diperbolehkan akan tetapi hadist-hadist yang memperbolehkan le–bih banyak dan
lebih kuat.
KB pada dasarnya bertujuan untuk kemasla–hatan, baik bagi suami istri
secara keluarga maupun masyarakat atau kaum muslimin, dan pelaksanaanya tidak
berbeda dengan ‘azl. Oleh karena itu, KB yang dilakukan oleh suami istri
dengan alasan kesehatan jasmani atau rohani, tidak dilarang oleh Islam selama
tidak membahayakan. Alhasil, bila KB ini dilakukan dengan alasan kemaslahatan
kehidupan sosial ekonomi rumah tangga, tentu saja tidak dilarang oleh Islam,
hanya saja hal itu termasuk perbuatan yang meninggalkan keutamaan.
Praktik KB antara lain dengan jalan ikhtiar menunda kelahiran atau
pemandulan untuk semen–tara. Cara inilah yang bisa dan boleh ditempuh, sebab
tujuan ‘azl yang diperbolehkan oleh hukum Islam itu pun dengan ikhtiar
menunda kelahiran sementara. Bila Keluarga Berencana dilakukan de–ngan cara
pemandulan untuk selama-lamanya, maka tindakan itu tidak dibenarkan oleh hukum
Islam.
Obat-obatan pembunuh atau pelemah bibit pria untuk mencegah bertemunya
bibit (sperma) suami dengan bibit (ovum) istri dalam rahim boleh digunakan
untuk pelaksanaan KB selama tidak mendatangkan bahaya bagi salah satu atau
kedua belah pihak. Selain itu, obat tersebut dipakai sebelum bertemunya kedua
bibit suami dan istri di dalam rahim yang berpotensi meneruskan proses
kehidupan yang sempurna sebagai calon bayi.
Sedangkan pemakaian alat-alat spiral, IUD, kondom atau alat pencegah
pertemuan kedua bibit suami-istri di dalam rahm istrinya dalam rangka KB tidak
diperbolehkan kecuali bila dipasang sendiri atau dipasang oleh suami/istrinya
sendiri. Sebab, melihat/menjamah aurat orang lain terutama aurat yang berupa
alat vital pria/perempuan dilarang dalam Islam.
Dalam pemasangan spiral ini, tidak dijumpai adanya situasi darurat,
sebab cara atau jalan lain masih dapat ditempuh. Jadi, bolehnya memakai
alat-alat tersebut dengan syarat bila alat-alat itu dipasang sendiri atau
dipasang oleh suami/istri sendiri. Juga, tidak mendatangkan bahaya bagi salah
satu atau kedua belah pihak.
Dengan demikian, pelaksanaan KB untuk kemaslahatan/kesejahteraan
keluarga boleh dilaku-kan selama cara-cara yang ditempuh bisa dibenarkan oleh
hukum Islam. Akan tetapi, bila KB dimaksudkan untuk membatasi kelahiran pada
jumlah tertentu seperti halnya undang-undang yang berlaku umumnya, maka hal ini
tidak dapat dibenarkan oleh syari’at Islam. Sebab, hal yang semacam itu
bertentangan dengan hikmah pensya–ri’atan pernikahan.
Dalam sudut pandang KH. Bisri
Syansuri, praktik Keluarga Berencana sebagaimana disebut-kan di atas, dapat
dibenarkan (dibolehkan) selama dapat dipenuhi sayarat-syarat ini: tujuan dan
pelak–sanaannya tidak bertentangan dengan hukum Islam; pelaksanaannya tidak
dipaksakan kepada masya–rakat; serta obat-obatan/alat-alat yang dipergunakan
harus dikontrol dengan ketat dan diberikan sangsi hukuman yang berat bagi siapa
saja yang meng–gunakannya untuk maksud yang tidak baik.
Menafsirkan KB, berarti membahas soal pe–ngendalian jumlah penduduk.
Pada waktu program Keluarga Berancana diperkenalkan dalam kalangan muslim,
terjadi pertentangan karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Beberapa dalil naqli yang sering digunakan untuk menentang program ini adalah
QS. Al-Isra, ayat 6; QS. Al-A'raf, ayat 86; serta hadist yang berbunyi: Nikahilah
wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba
dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat.
Selain itu juga, KB menurut para muslim, merupakan bentuk pengkebirian
umat Islam dan dapat menghambat peningkatan pemeluk agama, “karena dengan
memperbanyak anak maka pemeluk agama tersebut akan meningkat,” demikian
tulis Said Aqil Siradj dalam artikel Banyak Anak Banyak Pejuang.
Pada akhirnya, program Keluarga Berencana didukung oleh organisasi
masyarakat Islam seperti NU. Saat itu, Ulama NU, KH. Bisri Syansuri de–ngan
merujuk pendapat Imam Al-Ghazali memper–bolehkan dengan niat untuk kemaslahatan
umat dalam berumah tangga.
Berbagai buah pemikiran KH. Bisri
Syansuri, umumnya ditarik dari pemikiran fiqh yang menda–lam. Fiqh telah
mendarah daging dalam kehidu–pannya dan menjadi pengatur dalam berbagai
pandangan-pandangan keagamaannya. Lebih dari itu, fiqh juga ditempatkan Kiai
Bisri dalam berbagai pandangan dan keputusan-keputusan politik mau–pun
jam’iyah.
No comments:
Post a Comment