Monday, January 14, 2019

Cara Pandang tentang Keluarga Berancana


Cara Pandang tentang Keluarga Berancana

Pada dasarnya, program Keluarga Berencana (KB) bertujuan untuk kemaslahatan dan kesejah–teraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya. Setiap tujuan yang bermaksud untuk kemaslahatan atau kesejahteraan tentu akan dibe–narkan oleh Islam selama cara-cara yang ditempuh bisa dibenarkan oleh syari’at Islam.
Bagian ini berasal dari kertas kerja Musyawarah Ulama Terbatas mengenai KB yang diadakan oleh Departemen Agama RI di Wisma Heny, Jakarta pada 28 Juni 2012. Digunakan sebagai awalan untuk melihat posisi KH. Bisri Syansuri dan NU dalam memberikan pandangannya mengenai KB.
Keluarga Berencana (KB) dilakukan antara lain dengan jalan ikhtiar pengaturan kelahiran. Ikhtiar pengaturan kelahiran itu tidak beda dengan ikhtiar menunda kelahiran untuk sementara. Dalam hal ini, Keluarga berencana (KB) dapat disamakan dengan ‘azl. Mengenai ‘azl sendiri, para fuqaha berlainan pendapat perihal hukumnya. Pendapat yang sahih menurut al-Gahzali, adalah boleh.
Di dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan: “Jabir, seseorang laki-laki datang menghadap Rasulallah, lalu berucap: ‘saya mempunyai seorang jariyah (budak perempuan yang sudah halal digauli). Dia pelayan kami, dan saya biasa mengumpulinya, tetapi saya tidak ingin dia hamil.’ Nabi pun bersabda: “silahkan kamu ‘azl. Sesungguhnya akan datang kepadaya apa yang ditakdirkan”. Hadist ini memberi pengertian bahwa ‘azl adalah ikhtiar untuk mencegah kehamilan, dengan cara mengeluarkan sperma di luar vagina, demi menjaga kesehatan.
Dalam hadist yang lain, juga diriwayatkan Imam Muslim, disebutkan: “dari Jabir, dia berkata: kami (para sahabat) melakukan kepadanya, tetapi dia tidak melarang kami”. Hadist ini memberi pengertian bahwa ‘azl itu boleh dilakukan. Ada juga hadist yang memberi pengertian bahwa ‘azl tidak diperbolehkan akan tetapi hadist-hadist yang memperbolehkan le–bih banyak dan lebih kuat.
KB pada dasarnya bertujuan untuk kemasla–hatan, baik bagi suami istri secara keluarga maupun masyarakat atau kaum muslimin, dan pelaksanaanya tidak berbeda dengan ‘azl. Oleh karena itu, KB yang dilakukan oleh suami istri dengan alasan kesehatan jasmani atau rohani, tidak dilarang oleh Islam selama tidak membahayakan. Alhasil, bila KB ini dilakukan dengan alasan kemaslahatan kehidupan sosial ekonomi rumah tangga, tentu saja tidak dilarang oleh Islam, hanya saja hal itu termasuk perbuatan yang meninggalkan keutamaan.
Praktik KB antara lain dengan jalan ikhtiar menunda kelahiran atau pemandulan untuk semen–tara. Cara inilah yang bisa dan boleh ditempuh, sebab tujuan ‘azl yang diperbolehkan oleh hukum Islam itu pun dengan ikhtiar menunda kelahiran sementara. Bila Keluarga Berencana dilakukan de–ngan cara pemandulan untuk selama-lamanya, maka tindakan itu tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
Obat-obatan pembunuh atau pelemah bibit pria untuk mencegah bertemunya bibit (sperma) suami dengan bibit (ovum) istri dalam rahim boleh digunakan untuk pelaksanaan KB selama tidak mendatangkan bahaya bagi salah satu atau kedua belah pihak. Selain itu, obat tersebut dipakai sebelum bertemunya kedua bibit suami dan istri di dalam rahim yang berpotensi meneruskan proses kehidupan yang sempurna sebagai calon bayi.
Sedangkan pemakaian alat-alat spiral, IUD, kondom atau alat pencegah pertemuan kedua bibit suami-istri di dalam rahm istrinya dalam rangka KB tidak diperbolehkan kecuali bila dipasang sendiri atau dipasang oleh suami/istrinya sendiri. Sebab, melihat/menjamah aurat orang lain terutama aurat yang berupa alat vital pria/perempuan dilarang dalam Islam.
Dalam pemasangan spiral ini, tidak dijumpai adanya situasi darurat, sebab cara atau jalan lain masih dapat ditempuh. Jadi, bolehnya memakai alat-alat tersebut dengan syarat bila alat-alat itu dipasang sendiri atau dipasang oleh suami/istri sendiri. Juga, tidak mendatangkan bahaya bagi salah satu atau kedua belah pihak.

Dengan demikian, pelaksanaan KB untuk kemaslahatan/kesejahteraan keluarga boleh dilaku-kan selama cara-cara yang ditempuh bisa dibenarkan oleh hukum Islam. Akan tetapi, bila KB dimaksudkan untuk membatasi kelahiran pada jumlah tertentu seperti halnya undang-undang yang berlaku umumnya, maka hal ini tidak dapat dibenarkan oleh syari’at Islam. Sebab, hal yang semacam itu bertentangan dengan hikmah pensya–ri’atan pernikahan.
Dalam sudut pandang KH. Bisri Syansuri, praktik Keluarga Berencana sebagaimana disebut-kan di atas, dapat dibenarkan (dibolehkan) selama dapat dipenuhi sayarat-syarat ini: tujuan dan pelak–sanaannya tidak bertentangan dengan hukum Islam; pelaksanaannya tidak dipaksakan kepada masya–rakat; serta obat-obatan/alat-alat yang dipergunakan harus dikontrol dengan ketat dan diberikan sangsi hukuman yang berat bagi siapa saja yang meng–gunakannya untuk maksud yang tidak baik.
Menafsirkan KB, berarti membahas soal pe–ngendalian jumlah penduduk. Pada waktu program Keluarga Berancana diperkenalkan dalam kalangan muslim, terjadi pertentangan karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Beberapa dalil naqli yang sering digunakan untuk menentang program ini adalah QS. Al-Isra, ayat 6; QS. Al-A'raf, ayat 86; serta hadist yang berbunyi: Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat.
Selain itu juga, KB menurut para muslim, merupakan bentuk pengkebirian umat Islam dan dapat menghambat peningkatan pemeluk agama, “karena dengan memperbanyak anak maka pemeluk agama tersebut akan meningkat,” demikian tulis Said Aqil Siradj dalam artikel Banyak Anak Banyak Pejuang.
Pada akhirnya, program Keluarga Berencana didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti NU. Saat itu, Ulama NU, KH. Bisri Syansuri de–ngan merujuk pendapat Imam Al-Ghazali memper–bolehkan dengan niat untuk kemaslahatan umat dalam berumah tangga.
Berbagai buah pemikiran KH. Bisri Syansuri, umumnya ditarik dari pemikiran fiqh yang menda–lam. Fiqh telah mendarah daging dalam kehidu–pannya dan menjadi pengatur dalam berbagai pandangan-pandangan keagamaannya. Lebih dari itu, fiqh juga ditempatkan Kiai Bisri dalam berbagai pandangan dan keputusan-keputusan politik mau–pun jam’iyah.

No comments: