Tuesday, January 8, 2019

KItab tidak bisa rusak karena air laut


Karakteristik Pemikiran: Tegas Berfiqih dan Lentur Bersikap

Sebelum beranjak pada isu-isu penting yang pernah dialami Kiai Bisri di tingkat nasional, perlu kiranya dipaparkan konteks perjuangannya yang berpegang teguh pada ketegasannya dalam berfiqh dan lenturnya dalam bersikap. Hal ini penting ka–rena Kiai Bisri dikenal tidak menorehkan karya dalam sebuah buku atau tulisan-tulisan sebagaimana kiai-kiai lainnya, sehingga sulit untuk dilacak.
Kiai Bisri menunjukkan kepada kita bahwa karya besar kiai atau ulama tidak semata berupa buku catatan atau kitab. Kiprah dan dedikasi tidak ubahnya sebuah prasasti yang layak menjadi mo–numen kehidupan. Kiai Bisri, adalah di antara sosok yang layak menjadi uswah hasanah bagi para santri dan pegiat NU.
Dalam sebuah kesempatan, KH. Abdul Aziz Masyhuri ketika mendampingi Kiai Bisri saat Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang, bertemu seorang guru besar Masjidil Haram bernama Syekh Zakariya bin Syekh Abdillah Billah yang mengikuti rombongan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani Makkah. Saat itu Syekh Zakariya punya beberapa karya tulis, di antaranya berjudul al-Jawahirul Hisan yang saat itu belum selesai dia tulis. Dalam karya tersebut, Syekh Zakariya ingin memasukkan biografi Kiai Bisri. Pada sat itu, Kiai Aziz Masyhuri diwawancarai oleh Syekh Zakariya.
Di antara pertanyaannya adalah mengenai karya tulis Kiai Bisri yang sudah dicetak. “Kiai Bisri Syansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku, karya monumentalnya adalah bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Kiai Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain. Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan”, jawab Kiai Aziz.
Dalam konteks ini, sepertinya Kiai Bisri sangat menjiwai kitab favoritnya Kitab Zubad, dimana pengarangnya memiliki tawadlu’ yang luar biasa dan keikhlasan yang ingin ditauladaninya. Imam Ibnu Ruslan menyelesaikan penulisan kitab Zubad di atas sebuah kapal yang berlayar di laut lepas. Pada saat kitab Zubad selesai ditulis, dia mengikatkan batu di bagian atas dan bawah kitab itu. Dia ingin melem–par kitab itu ke laut meskipun orang-orang di kapal saat melihatnya segera mencegahnya, namun dia tetap bersikukuh dengan niatnya. “Biarkanlah. Jika kitab karanganku ini benar-benar ditulis ikhlas karena Allah, air laut tidak akan mampu merusaknya”, katanya mantap. Akhirnya ombak berhasil membawa kitab tersebut ke tepi laut, dan seorang nelayan yang menemukan menyerakan kitab kepada salah seorang ulama di daerah itu.

Ulama tersebut lantas memerintahkan untuk menulis dan menyebarluaskan kitab asing tersebut Akhirnya kitab tersebut, berkat keikhlasan penga–rangnya, tersebar ke seluruh penjuru dunia, terma–suk di Indonesia. Seperti itulah keikhlasan ulama-ulama terdahulu. Mereka menomorsatukan keikhla–san dalam mengarang kitab. Tidak ada pikiran me–raih popularitas atau keuntungan materi melalui royalti.
Barangkali karena merasa belum mampu se–perti Imam Ibnu Ruslan, Kiai Bisri menunjukkan tawadlu’ cukup mentransmisikan kitab Zubad yang sanadnya diperoleh dari Kiai Hasyim Asy’ari agar mudah dicerna dan dijalankan dalam kehidupan se–hari-hari. Cukuplah sejarah mencatat namanya sela–lu bersama Kiai Hasyim Asy’ari, karena itulah Kiai Hasyim Asy’ari sangat dekat dengan Kiai Bisri.
Kiai Bisri menggunakan tradisi lisan (ngaji dan bahsu al masail) untuk mentransmisikan ilmu-ilmu gurunya kepada para santri dan masyarakat luas agar dapat lebih mudah dicerna dan dioperasionali–sasikan. Dengan tradisinya tersebut, Kiai Bisri lebih peka dan langsung mendapatkan masukan serta idiom-idiom yang berkembang di tengah masya–rakat. Kontekstualisasi dan kearifan lokal tersebut terinspirasi dari para leluhurnya, walisongo, dan ingin dikembangkan lagi untuk mengkoneksikan ilmu yang didapatkan dari Ulama baik di Nusantara maupun di Makkah kepada umat Islam. Selain itu, dia juga aktif bersilaturahmi seperti halnya Kiai Hasyim Asy’ari, mengunjungi murid atau koleganya selama menuntut ilmu.
Itulah yang secara terus menerus memompa semangat dan memperkuat daya rekat tradisi komu–nitas santri, menjaga warisan dari para ulama agar tidak tergerus dengan pemahaman-pemahaman ke–agamaan yang justru menjauhkan dari ajaran para salaf as shaleh, ahlu as sunnah wa al jamaah.
Oleh karena itu, rihlah (perjalanan) untuk tholab al ilm menjadi suatu konsep agama yang utama bagi Muslim. Konsep ini menunjukkan aspek khusus dari gerakan dan pertukaran di antara umat muslim, di mana penguasaan ilmu-ilmu Islam menjadi tema utama. Dalam kaitan inilah, keberadaan ulama-ula–ma seperti Kiai Bisri untuk meneruskan perjuangan para guru-gurunya yang saat itu memiliki komunitas di Masjidil haram.
Perkumpulan ulama-ulama tersebut dikenal dengan komunitas Jawi, atau Jama’ah al-Jawiyyin. Nisbat ini tidak sekedar meliputi teritorial ulama yang datang dari Jawa Dwipa saja, tetapi dari selu–ruh Nusantara (termasuk Melayu, Pattani, dan Philipina Selatan). Makkah tidak lagi dimaknai seba–gai pusat spiritual bagi kekuasaan politik,seperti terungkap dalam teks-teks kerajaan, tetapi mulai dipandang sebagai pusat pembelajaran Islam. Per–sepsi yang berubah ini berlangsung bersamaan dengan munculnya konfigurasi baru dalam Islam di Nusantara ketika institusi ulama semisal pesantren mulai mengambil bagian utama dalam perkemba–ngan Islam.
Kiai Bisri yang telah memberi para santri bim–bingan Islam dan keteladanan dalam sikap hidup (akhlak), mengajari mereka mambaca kitab, mem–beri mereka penjelasan lisan dari setiap bagian yang tertulis menjadi pilar pembelajaran. Bahkan Kiai Bisri lebih jauh lagi, tidak hanya di pesantren, tetapi berdakwah masuk dalam lingkungan masyarakat, membentuk komunitas Bahsul Masail dari masjid ke masjid di Jombang, sesuatu yang luar biasa dila–kukan dari tokoh yang sudah menasional. Dia men–jadikan pengajian sebagai sebuah forum untuk melisankan apa yang telah dia tulis dalam risalahnya, menegaskan model pengajaran pesantren yang ber–sifat lisan-dengar.
Kecenderungan Islam berorientasi syari’at pada awal abad ke-20 sebenarnya mulai menguat ketika di Makkah menjadi pusat gerakan puritan Dinasti Wahhabi, seiring kontrol politik Dinasti Sa’udi atas Hijaz pada 1803. Wahhabi merupakan pendukung ekstrim gerakan ortodoks yang dengan agenda purifikasinya, berperan dalam membuat Makkah cukup ketat terhadap tarekat-tarekat sufi hete–redoks. Kondisi ini berbeda ketika Makkah berada di bawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha (1813-1840) dan kemudian Turki Usmani (1840-1916), meskipun dua rezim tersebut tidak memiliki kontrol langsung atas Makkah. Mereka menyerahkan urusan ekonomi dan politik kepada penguasa lokal, syarif, sedangkan kehidupan masalah agama berada di tangan para ulama.

No comments: