Monday, January 7, 2019

Kembalinya NU sebagai Jam’iyah


Kembalinya NU sebagai Jam’iyah

Setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa sistem banyak partai kurang menjamin keterlaksanaan pembangunan Nasional. Oleh karena itu, pemerintah orde baru ingin mela–kukan penyederhanaan partai dan perombakan struktur politik dengan membagi partai menjadi dua kelompok saja, yakni: materiil-spiritual dan spiritual-materil.
Dengan adanya penyederhanaan partai menjadi dua kelompok tersebut, maka pada 5 Januari 1973 kelompok “Spiritual–materiil”, yaitu NU, Permusi, PSII dan Perti menyatakan berfusi dan bergabung dalam sebuah wadah bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Deklarasi penggabungan itu pun dipertegas lagi dengan penandatanganan piagam pembentukan PPP pada tanggal 5 Pebruari 1973. Setelah penge–lompokan menemukan bentuknya, maka keluarlah UU nomer 3 tahun 1973 tentang partai politik dan Golongan Karya, yang menetapkan berlakunya hasil penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia de–ngan hanya dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indo–nesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Dalam melahirkan PPP, tampaknya NU memainkan peranan cukup penting. Peranan NU tampak pada pemberian lambang partai dengan gambar “Ka’bah” yang berasal dari KH. Bisri Syansuri. “Simbol ini dipilih, Supaya menjadi persatuan, persatuan ini diikat dengan simbol Kabah,” tutur KH. Kholid Mawardi dalam persaksiannya mengenang kelahiran partai ini.
Dalam struktur organisasi terlihat pada penem–patan lembaga Muktamar sebagai forum tertinggi partai. Dalam struktur kepemimpinan tampak pe–nempatan Majelis Syura sebagai pimpinan tertinggi partai yang dipimpin Rais Aam. Dan pada per–sonalia antara lain terlihat KH. Bisri Syasnuri sebagai Rais Aam, KH. M. Dachlan sebagai wa–kilnya, KH. Masykur sebagai Ketua Umum Majelis Pertimbangan, sedangkan KH. Idham Chalid sebagai Presiden Partai (AD/ART PPP).
Ini agaknya ditempuh NU agar pengalaman pahit yang pernah dirasakan sewaktu dengan Ma–syumi tidak terulang lagi. Oleh karena itu pada Musyawarah Nasional Dewan Partai pada 6-8 November 1975, NU perlu mengadakan konsensus mengenai kriteria perolehan jumlah kursi dalam pemilu 1977 mendatang.
Kesempatan yang dikenal dengan “Konsensus Munas 1977” itu berisi tentang pedoman untuk pembagian kursi DPR dan DPRD dengan berpe–doman pada perimbangan hasil perolehan pemilu sebelumnya.
Dalam kesaksian KH. Kholid Mawardi, keikut–sertaan KH Bisri Syansuri dalam melahirkan partai tersebut bak pagar tersendiri bagi partai ini. Di dalam lingkungan NU maupun PPP, Kiai Bisri merupakan pengendali akhlak dari umat nahdliyin. Beliau sangat fokus, jika sudah bersangkut paut dengan moralitas; akhlak.
Kalau organisasi tanpa Mbah Bisri, maka bisa-bisa tidak terkendali lagi, terbawa arus peradaban yang sudah rusak, misalnya money politik.” Tandas Kiai Kholid.
Slamet Efendi Yusuf dalam bukunya Dinamika Kaum Santri mengemukakan data tentang tidak —sepenuhnya— ditaatinya konsensus 1975 itu. Terbukti pada hasil Pemilu 1977 yang ketika itu PPP meraih kenaikan dari 94 kursi di tahun 1971, menjadi 99 kursi pada Pemilu 1977. Sehingga eks partai Islam yang sudah melebur diri ke tubuh PPP juga mengalami kenaikan: Permusi Mengalami ke–naikan dari 24 manjadi 25 kursi, PSII dari 10 menjadi 14 kursi, Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Te–tapi justeru NU tidak mengalami kenaikan malah turun dari 58 kursi menjadi 56 kursi. Ini berarti Konsensus Munas 1975 dari semula sudah tidak ditaati.
Dari segi publikasi, konsolidasi dalam bentuk Kombes memang cukup berhasil. Paling sedikit beberapa pejabat pemerintah yang tadinya belum paham benar akan eksistensi NU, dengan adanya Kombes itu menjadi paham dan selanjutnya bisa membuka hubungan. Namun dari segi kepentingan jam’iyah diniyah yang sebenarnya, belum banyak memberikan manfaat. Masalahnya, di dalam Kom–bes itu sendiri belum ada perubahan–perubahan yang berarti bagi kepentingan NU setelah me–ngubah bentuknya. Belum terjadi pembagian tugas dalam kepengurusan NU dan siapa pula yang menjaga gawang PPP.
Perangkapan Jabatan masih tetap dilakukan oleh tokoh-tokoh dan pejabat teras NU. Lihat misalnya Idham Chalid, Ketua Umum PBNU me–rangkap Presiden Partai, KH. Bisri Syansuri, Rais Aam Majelis Syura PPP, KH. Masykur, wakil Rais Syuriyah NU merangkap ketua Dewan Pertim–bangan PPP (AD/ART-PPP). Variasi seperti itu juga berlaku bagi pemimpin NU di tingkat wilayah (provinsi) atau tingkat Cabang (Kabupaten). Pe–rangkapan jabatan ini dikarenakan perintisan awal dari PPP supaya partai ini cepat mendapat massa terutama dariumat Nahdliyin.
Setelah NU meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan dan kembali kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan yang bersifat non-politik (jam’iyah), ter–lepas dari sikap keberatan yang dirasakan KH. Bisri Syansuri terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, beliau tidak dapat berpangku tangan melihat tan–tangan demi tantangan yang dihadapi.
Pada Muktamar ke 26 tahun 1979 di Semarang menghasilkan keputusan besar NU di kancah orga–nisasi Islam dan perpolitikan di Indonesia, dengan menunjukan sikapnya untuk kembali sebagai jam’iyah secara tuntas dan mantap. Seruan kembali ke jiwa 1926 harus dijawab dengan kegiatan operasional di seluruh jajaran kepengurusan NU. Dengan kembalinya konsep NU ke 1926 maka dibentuk program dasar dalam dua bagian yaitu Program Syuriyyah dan Program Tanfidiyah.
Program untuk Syuriyah terdiri dari 18 perangkat, di antaranya: Syuriyah harus peka terha–dap hajat hidup umat khususnya warga NU, harus dijalin hubungan erat antara Syuriyah dan Tanfi–dziyah di seluruh tingkatan, dengan Tanfidziyah memberikan Informasi atau data. Sedangkan Syuri-yah memberikan pengarahannya dan sebagainya.
Program Tanfidiyah terdiri dari 12 perangkat: bidang pendidikan (Ma’arif), bidang dakwah, bidang sosial (Mabarot), bidang kepemudaan, bidang peng–kaderan, bidang orientasi dan bidang pembentukan kepribadian NU dan lain sebagainya.


Secara konseptual, Muktamar tersebut berhasil memantapkan kembali NU ke bentuk jam’iyah. Lebih-lebih bila ditinjau dari produk Muktamar yang dihasilkan yakni berupa pengembangan AD/ART NU yang baru dan program dasar pe–ngembangan lima tahun NU. Tetapi produk terse–but mengalami hambatan yang cukup berarti. Hal ini disebabkan karena dalam pemilihan pengurus baru, masih belum ada pemisahan yang cukup jelas dalam kepengurusan antara di NU dan di PPP: terkesan masih didominasi pengurus lama.
Misalnya, Idham Chalid terpilih kembali seba–gai ketua Umum PBNU dan merangkap sebagai Presiden partai. Sedangkan KH. Bisri Syansuri juga menduduki kembali jabatan Rais ‘Aam PBNU tetapi juga merangkap Rais Aam Majelis Syura PPP. Yusuf Hasyim, ketua I PBNU juga merangkap sebagai anggota DPP-PPP. Mahbub Djuanaidi, Ketua II PBNU juga merangkap sebagai Ketua Umum PPP. Nuddin Lubis, Ketua III PBNU juga sebagai Wakil Ketua Umum PPP. H. Munasir, Sekjen PBNU juga merangkap anggota Majelis Pertimbangan PPP. KH. Anwar Musaddad, Wakil Rais ‘Aam PBNU juga menjadi Wakil Rais Majelis Syura PPP. KH. Ali Yafie, Rais Awwal PBNU juga merangkap sebagai Rais di Majelis Pertimbangan PPP. KH. Masykur, Rais Tsani, PBNU juga merangkap sebagai Ketua pertimbangan PPP.
Kekacauan berlanjut ketika seusai Muktamar di Semarang dikarenakan menonjolnya aktifitas NU ke arah politik-praktik. Kenyataan ini, menurut Anam, dapat disimak dari mulai terjadinya keretakan NU-MI (Muslim Indonesia) di dalam DPR/MPR, peri–hal pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) pemilu, yang merupakan perubahan dari UU No. 4/1975, yang sebelumnya adalah UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permu–syawaratan Perwakilan Rakyat.
Pembahasan RUU Pemilu ini berjalan alot dan memakan waktu lama. Pembahasan ini dimulai sejak September 1979 sampai dengan 1980. Pada tanggal 29 Februari 1980 dilangsungkan Sidang Pleno DPR untuk mengesahkan RUU tersebut. Di dalam tubuh PPP sendiri terjadi perbedaan pendapat sehingga unsur NU terpaksa tidak menghadiri sidang terse–but. Ketidakhadiran unsur NU itu, menurutnya, be–lum terselesaikannya beberapa pasal mengenai ‘pe–ngembangan masa’ yang belum disetujui kelompok NU. Namun demikian, ini merupakan bibit perpe–cahan dalam tubuh PPP. Banyak yang mengatakan jika KH. Bisri Syansuri di Jakarta, tidak akan terjadi seperti ini.
Kegiatan politik-praktis yang cenderung mere–takkan hubungan NU dan unsur non-NU, terutama dengan unsur MI di dalam PPP, menurut Anam, itu terjadi semenjak KH. Bisri Syansuri, Rais ‘Aam PBNU yang juga Rais Aam PPP, menderita sakit. Lebih memuncak lagi ketika KH. Bisri Syansuri pulang ke Rahmatullah.
Kepergian KH. Bisri Syansuri, yang wafat pada tahun 1980 dan dimakamkan di pemakaman pesan–trennya, Denanyar Jombang, memang merupakan pilu bagi NU dan PPP. Namun demikian, naluri politik jua lah yang akhirnya mendorong berbagai perpecahan di tubuh partai tersebut, setelah tokoh sentral yang diseganinya tidak ada lagi.
Peristiwa politik yang menghiasi lembaran seja–rah NU setelah di tinggal oleh Rais ‘Aam-nya, selalu datang dan pergi, sehingga tidak pernah terlihat adanya penyelesaian. Pada bulan Agustus 1980 terjadi perebutan jabatan “ketua Komisi VIII” di DPR-RI.
Dalam catatan Anam, pada Agustus 1980 DPR-RI melakukan pemilihan pimpinan komisi untuk tahun persidangan 1980/1981. Sesuai dengan konsensus Fraksi PPP bahwa Ketua Komisi VIII adalah haknya NU yang dalam tahun persidangan 1979/1980, ‘dipinjamkan’ kepada Drs. Sudardji dari MI. NU bermaksud mengambil kembali ‘pinjaman–nya’ tetapi ditolak sehingga dilakukan pemilihan secara terbuka dan Sudardji mendapat dukungan dari FKP dan ABRI. NU kalah
Kemudian pada 27 Oktober 1981 terjadi keri–butan masalah daftar calon anggota DPR kepada Lembaga Pemilihan Umum Indonesia (LPUI), yang diprotes oleh unsur NU, karena tanpa dimusyawa–rahkan terlebih dahulu. Pada hari yang sama, hanya Yusuf Hasyim dengan kawan-kawannya datang agak siang untuk menyerahkan daftar calon anggota DPR. Rebutan menyerahkan calon ini kedahuluan. Setelah pengumuman daftar calon, beberapa tokoh NU seperti: Drs. H. A. Chaliq Ali, Dr. T. Jafizham, HM. Jasjim Latief, dan lain-lain terpental dari no–mor utama, nomor jadi atau nomor prioritas, ke nomor kering —nomor cadangan— atau tidak ada harapan. Ternyata, sehabis pemilihan umum, tokoh-tokoh NU ini benar-benar tidak kebagian kursi di DPR.
Kericuhan diperparah lagi dengan protes dari MI mengenai perimbangan kursi DPR. Unsur MI menghendaki perimbangan yang “wajar” tanpa berpedoman pada “Konsensus Munas 1975”. Dengan kata lain, MI menghendaki pembagian Kursi untuk eks partai Islam lebih banyak dari NU.
Dalam catatannya, Anam menjelaskan bahwa isu pembagian kursi di DPR tanpa pedoman pada konsensus 1975 itu berasal dari Drs. Sudardji, tokoh MI. Tuntutan itu diberi embel-embel untuk member–sihkan sikap Orde Lama dan anggota yang pernah walk-out ketika pengesahan RUU pemilihan Umum 1980. Tentu yang dimaksud adalah kelompok NU.
Kekalahan politik yang dialami oleh NU tidak semata-mata lahir di ruang kosong. Sepeninggal KH. Bisri Syansuri, tindakan-tindakan indisipliner dari tokoh-tokoh NU sudah mulai terlihat. Sikap-sikap politik NU lebih mencerminkan sikap pribadi para tokohnya. Asas kebersamaan mulai memudar dan bahaya tumbuhnya kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan semakin mengancam tubuh NU.

Untuk menjaga jangan sampai kekhawatiran itu terwujud, maka perlu adanya pemagaran tokoh dalam tubuh NU. Namun usaha pemagaran itu sendiri tidak gampang, langkah awal terlebih dulu menyelesaikan jabatan Rais ‘Aam yang masih kosong. Maka itu, pekerjaan yang paling mendesak adalah mencari pengganti KH. Bisri Syansuri. Sebab hanya dengan Rais ‘Aam inilah pemagaran akan bisa dilakukan dan kerja evaluasi kelemahan-kelemahan NU akan dapat berjalan efektif dan efisien.
Pentingnya seorang Rais ‘Aam ini juga terlihat pada pernyataan KH. Bisri Syansuri kepada bebe–rapa orang dalam sebuah pertemuan tidak resmi di Jombang, sebagaimana tertera dalam Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama:
“Ada orang-orang PBNU yang nakalan (curang), yang dikehendaki hanyalah lan–carnya politik, tidak mengingat isi politik itu. Aku (saya) dipolitiki. Setiap kuajak ra–pat selalu ada alasan untuk menunda. Jika aku di Jakarta mereka sama-sama me–nyembunyikan diri tetapi jika aku berada di Jombang mereka mengadakan rapat sendiri-sendiri. Tanpa aku”.
Penegasan KH. Bisri Syansuri itu disampaikan dalam bahasa Jawa, di hadapan beberapa tamunya di Jombang. Di antaranya yang mendengarkan ada–lah puteranya, HA. Aziz Bisri dan Maksoem Mahfoedz, putera KH.Mahfoedz Anwar, Jombang.
Penegasan KH. Bisri Syansuri tersebut me–ngundang dua pengertian pokok mengenai perkem–bangan yang terjadi dalam tubuh NU. Pertama, menegaskan bahwa di dalam tubuh NU sudah tumbuh kelompok-kelompok yang saling berkepenti–ngan membawa NU.
Ada yang ingin membawa NU tetap bergerak di bidang politik, ada pula yang ingin bergerak dibidang agama, karena sudah kembali pada jam’iyah. Tetapi ada pula yang menginginkan NU bergerak dibidang politik maupun dibidang agama. Tentu saja terakhir ini dimaksudkan adalah politik dalam arti konsep.
Kedua, menunjukkan adanya ketidakkompakan dalam tubuh NU. Dengan kata lain, sejumlah tokoh NU sudah mulai berani mempermainkan Rais ‘Aam untuk kepentingan politik. Keberadaan Rais ‘Aam dianggap sebagai penghalang kemauan politik yang hendak mereka lakukan. Oleh karena itu mudah dipahami, apabila sikap politik NU lebih mencer–minkan sikap pribadi tokoh NU ketika Rais ‘Aam tidak banyak tinggal di Jakarta.

No comments: