Kembalinya
NU sebagai Jam’iyah
Setelah pemilu 1971,
pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa sistem banyak partai kurang menjamin
keterlaksanaan pembangunan Nasional. Oleh karena itu, pemerintah orde baru
ingin mela–kukan penyederhanaan partai dan perombakan struktur politik dengan
membagi partai menjadi dua kelompok saja, yakni: materiil-spiritual dan
spiritual-materil.
Dengan
adanya penyederhanaan partai menjadi dua kelompok tersebut, maka pada 5 Januari
1973 kelompok “Spiritual–materiil”, yaitu NU, Permusi, PSII dan Perti
menyatakan berfusi dan bergabung dalam sebuah wadah bernama Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Deklarasi
penggabungan itu pun dipertegas lagi dengan penandatanganan piagam pembentukan
PPP pada tanggal 5 Pebruari 1973. Setelah penge–lompokan menemukan bentuknya,
maka keluarlah UU nomer 3 tahun 1973 tentang partai politik dan Golongan Karya,
yang menetapkan berlakunya hasil penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia
de–ngan hanya dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indo–nesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar).
Dalam melahirkan
PPP, tampaknya NU memainkan peranan cukup penting. Peranan NU tampak pada
pemberian lambang partai dengan gambar “Ka’bah” yang berasal dari KH. Bisri
Syansuri. “Simbol ini dipilih, Supaya menjadi persatuan, persatuan ini
diikat dengan simbol Kabah,” tutur KH. Kholid Mawardi dalam persaksiannya
mengenang kelahiran partai ini.
Dalam struktur
organisasi terlihat pada penem–patan lembaga Muktamar sebagai forum tertinggi
partai. Dalam struktur kepemimpinan tampak pe–nempatan Majelis Syura sebagai
pimpinan tertinggi partai yang dipimpin Rais Aam. Dan pada per–sonalia antara
lain terlihat KH. Bisri Syasnuri sebagai Rais Aam, KH. M. Dachlan sebagai
wa–kilnya, KH. Masykur sebagai Ketua Umum Majelis Pertimbangan, sedangkan KH.
Idham Chalid sebagai Presiden Partai (AD/ART PPP).
Ini agaknya ditempuh
NU agar pengalaman pahit yang pernah dirasakan sewaktu dengan Ma–syumi tidak
terulang lagi. Oleh karena itu pada Musyawarah Nasional Dewan Partai pada 6-8
November 1975, NU perlu mengadakan konsensus mengenai kriteria perolehan jumlah
kursi dalam pemilu 1977 mendatang.
Kesempatan yang
dikenal dengan “Konsensus Munas 1977” itu berisi tentang pedoman untuk
pembagian kursi DPR dan DPRD dengan berpe–doman pada perimbangan hasil
perolehan pemilu sebelumnya.
Dalam kesaksian KH.
Kholid Mawardi, keikut–sertaan KH Bisri Syansuri dalam melahirkan partai
tersebut bak pagar tersendiri bagi partai ini. Di dalam lingkungan NU
maupun PPP, Kiai Bisri merupakan pengendali akhlak dari umat nahdliyin.
Beliau sangat fokus, jika sudah bersangkut paut dengan moralitas; akhlak.
“Kalau organisasi
tanpa Mbah Bisri, maka bisa-bisa tidak terkendali lagi, terbawa arus peradaban
yang sudah rusak, misalnya money politik.” Tandas Kiai Kholid.
Slamet Efendi Yusuf
dalam bukunya Dinamika Kaum Santri mengemukakan data tentang tidak
—sepenuhnya— ditaatinya konsensus 1975 itu. Terbukti pada hasil Pemilu 1977
yang ketika itu PPP meraih kenaikan dari 94 kursi di tahun 1971, menjadi 99
kursi pada Pemilu 1977. Sehingga eks partai Islam yang sudah melebur diri ke
tubuh PPP juga mengalami kenaikan: Permusi Mengalami ke–naikan dari 24 manjadi
25 kursi, PSII dari 10 menjadi 14 kursi, Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Te–tapi
justeru NU tidak mengalami kenaikan malah turun dari 58 kursi menjadi 56 kursi.
Ini berarti Konsensus Munas 1975 dari semula sudah tidak ditaati.
Dari segi publikasi,
konsolidasi dalam bentuk Kombes memang cukup berhasil. Paling sedikit beberapa
pejabat pemerintah yang tadinya belum paham benar akan eksistensi NU, dengan
adanya Kombes itu menjadi paham dan selanjutnya bisa membuka hubungan. Namun
dari segi kepentingan jam’iyah diniyah yang sebenarnya, belum banyak memberikan
manfaat. Masalahnya, di dalam Kom–bes itu sendiri belum ada perubahan–perubahan
yang berarti bagi kepentingan NU setelah me–ngubah bentuknya. Belum terjadi
pembagian tugas dalam kepengurusan NU dan siapa pula yang menjaga gawang PPP.
Perangkapan Jabatan
masih tetap dilakukan oleh tokoh-tokoh dan pejabat teras NU. Lihat misalnya
Idham Chalid, Ketua Umum PBNU me–rangkap Presiden Partai, KH. Bisri Syansuri,
Rais Aam Majelis Syura PPP, KH. Masykur, wakil Rais Syuriyah NU merangkap ketua
Dewan Pertim–bangan PPP (AD/ART-PPP). Variasi seperti itu juga berlaku bagi
pemimpin NU di tingkat wilayah (provinsi) atau tingkat Cabang (Kabupaten).
Pe–rangkapan jabatan ini dikarenakan perintisan awal dari PPP supaya partai ini
cepat mendapat massa terutama dariumat Nahdliyin.
Setelah NU
meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan dan kembali
kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan yang bersifat
non-politik (jam’iyah), ter–lepas dari sikap keberatan yang dirasakan
KH. Bisri Syansuri terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, beliau tidak
dapat berpangku tangan melihat tan–tangan demi tantangan yang dihadapi.
Pada Muktamar ke 26
tahun 1979 di Semarang menghasilkan keputusan besar NU di kancah orga–nisasi
Islam dan perpolitikan di Indonesia, dengan menunjukan sikapnya untuk kembali
sebagai jam’iyah secara tuntas dan mantap. Seruan kembali ke jiwa 1926
harus dijawab dengan kegiatan operasional di seluruh jajaran kepengurusan NU.
Dengan kembalinya konsep NU ke 1926 maka dibentuk program dasar dalam dua
bagian yaitu Program Syuriyyah dan Program Tanfidiyah.
Program untuk
Syuriyah terdiri dari 18 perangkat, di antaranya: Syuriyah harus peka terha–dap
hajat hidup umat khususnya warga NU, harus dijalin hubungan erat antara Syuriyah
dan Tanfi–dziyah di seluruh tingkatan, dengan Tanfidziyah memberikan Informasi
atau data. Sedangkan Syuri-yah memberikan pengarahannya dan sebagainya.
Program Tanfidiyah
terdiri dari 12 perangkat: bidang pendidikan (Ma’arif), bidang dakwah, bidang
sosial (Mabarot), bidang kepemudaan, bidang peng–kaderan, bidang orientasi dan
bidang pembentukan kepribadian NU dan lain sebagainya.
Secara konseptual,
Muktamar tersebut berhasil memantapkan kembali NU ke bentuk jam’iyah.
Lebih-lebih bila ditinjau dari produk Muktamar yang dihasilkan yakni berupa
pengembangan AD/ART NU yang baru dan program dasar pe–ngembangan lima tahun NU.
Tetapi produk terse–but mengalami hambatan yang cukup berarti. Hal ini
disebabkan karena dalam pemilihan pengurus baru, masih belum ada pemisahan yang
cukup jelas dalam kepengurusan antara di NU dan di PPP: terkesan masih
didominasi pengurus lama.
Misalnya, Idham
Chalid terpilih kembali seba–gai ketua Umum PBNU dan merangkap sebagai Presiden
partai. Sedangkan KH. Bisri Syansuri juga menduduki kembali jabatan Rais ‘Aam
PBNU tetapi juga merangkap Rais Aam Majelis Syura PPP. Yusuf Hasyim, ketua I
PBNU juga merangkap sebagai anggota DPP-PPP. Mahbub Djuanaidi, Ketua II PBNU
juga merangkap sebagai Ketua Umum PPP. Nuddin Lubis, Ketua III PBNU juga
sebagai Wakil Ketua Umum PPP. H. Munasir, Sekjen PBNU juga merangkap anggota
Majelis Pertimbangan PPP. KH. Anwar Musaddad, Wakil Rais ‘Aam PBNU juga menjadi
Wakil Rais Majelis Syura PPP. KH. Ali Yafie, Rais Awwal PBNU juga merangkap
sebagai Rais di Majelis Pertimbangan PPP. KH. Masykur, Rais Tsani, PBNU juga
merangkap sebagai Ketua pertimbangan PPP.
Kekacauan berlanjut
ketika seusai Muktamar di Semarang dikarenakan menonjolnya aktifitas NU ke arah
politik-praktik. Kenyataan ini, menurut Anam, dapat disimak dari mulai
terjadinya keretakan NU-MI (Muslim Indonesia) di dalam DPR/MPR, peri–hal
pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) pemilu, yang merupakan perubahan dari UU
No. 4/1975, yang sebelumnya adalah UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota Badan Permu–syawaratan Perwakilan Rakyat.
Pembahasan RUU
Pemilu ini berjalan alot dan memakan waktu lama. Pembahasan ini dimulai
sejak September 1979 sampai dengan 1980. Pada tanggal 29 Februari 1980
dilangsungkan Sidang Pleno DPR untuk mengesahkan RUU tersebut. Di dalam tubuh
PPP sendiri terjadi perbedaan pendapat sehingga unsur NU terpaksa tidak
menghadiri sidang terse–but. Ketidakhadiran unsur NU itu, menurutnya, be–lum
terselesaikannya beberapa pasal mengenai ‘pe–ngembangan masa’ yang belum
disetujui kelompok NU. Namun demikian, ini merupakan bibit perpe–cahan dalam
tubuh PPP. Banyak yang mengatakan jika KH. Bisri Syansuri di Jakarta, tidak
akan terjadi seperti ini.
Kegiatan
politik-praktis yang cenderung mere–takkan hubungan NU dan unsur non-NU, terutama
dengan unsur MI di dalam PPP, menurut Anam, itu terjadi semenjak KH. Bisri
Syansuri, Rais ‘Aam PBNU yang juga Rais Aam PPP, menderita sakit. Lebih
memuncak lagi ketika KH. Bisri Syansuri pulang ke Rahmatullah.
Kepergian KH. Bisri
Syansuri, yang wafat pada tahun 1980 dan dimakamkan di pemakaman pesan–trennya,
Denanyar Jombang, memang merupakan pilu bagi NU dan PPP. Namun demikian, naluri
politik jua lah yang akhirnya mendorong berbagai perpecahan di tubuh partai
tersebut, setelah tokoh sentral yang diseganinya tidak ada lagi.
Peristiwa politik
yang menghiasi lembaran seja–rah NU setelah di tinggal oleh Rais ‘Aam-nya,
selalu datang dan pergi, sehingga tidak pernah terlihat adanya penyelesaian.
Pada bulan Agustus 1980 terjadi perebutan jabatan “ketua Komisi VIII” di
DPR-RI.
Dalam catatan Anam,
pada Agustus 1980 DPR-RI melakukan pemilihan pimpinan komisi untuk tahun
persidangan 1980/1981. Sesuai dengan konsensus Fraksi PPP bahwa Ketua Komisi
VIII adalah haknya NU yang dalam tahun persidangan 1979/1980, ‘dipinjamkan’
kepada Drs. Sudardji dari MI. NU bermaksud mengambil kembali ‘pinjaman–nya’
tetapi ditolak sehingga dilakukan pemilihan secara terbuka dan Sudardji
mendapat dukungan dari FKP dan ABRI. NU kalah
Kemudian pada 27
Oktober 1981 terjadi keri–butan masalah daftar calon anggota DPR kepada Lembaga
Pemilihan Umum Indonesia (LPUI), yang diprotes oleh unsur NU, karena tanpa
dimusyawa–rahkan terlebih dahulu. Pada hari yang sama, hanya Yusuf Hasyim
dengan kawan-kawannya datang agak siang untuk menyerahkan daftar calon anggota
DPR. Rebutan menyerahkan calon ini kedahuluan. Setelah pengumuman daftar calon,
beberapa tokoh NU seperti: Drs. H. A. Chaliq Ali, Dr. T. Jafizham, HM. Jasjim
Latief, dan lain-lain terpental dari no–mor utama, nomor jadi atau nomor prioritas,
ke nomor kering —nomor cadangan— atau tidak ada harapan. Ternyata, sehabis
pemilihan umum, tokoh-tokoh NU ini benar-benar tidak kebagian kursi di DPR.
Kericuhan diperparah
lagi dengan protes dari MI mengenai perimbangan kursi DPR. Unsur MI menghendaki
perimbangan yang “wajar” tanpa berpedoman pada “Konsensus Munas 1975”. Dengan
kata lain, MI menghendaki pembagian Kursi untuk eks partai Islam lebih banyak
dari NU.
Dalam catatannya,
Anam menjelaskan bahwa isu pembagian kursi di DPR tanpa pedoman pada konsensus
1975 itu berasal dari Drs. Sudardji, tokoh MI. Tuntutan itu diberi embel-embel
untuk member–sihkan sikap Orde Lama dan anggota yang pernah walk-out ketika
pengesahan RUU pemilihan Umum 1980. Tentu yang dimaksud adalah kelompok NU.
Kekalahan politik
yang dialami oleh NU tidak semata-mata lahir di ruang kosong. Sepeninggal KH.
Bisri Syansuri, tindakan-tindakan indisipliner dari tokoh-tokoh NU sudah mulai
terlihat. Sikap-sikap politik NU lebih mencerminkan sikap pribadi para
tokohnya. Asas kebersamaan mulai memudar dan bahaya tumbuhnya kelompok-kelompok
yang berbeda kepentingan semakin mengancam tubuh NU.
Untuk menjaga jangan
sampai kekhawatiran itu terwujud, maka perlu adanya pemagaran tokoh dalam tubuh
NU. Namun usaha pemagaran itu sendiri tidak gampang, langkah awal terlebih dulu
menyelesaikan jabatan Rais ‘Aam yang masih kosong. Maka itu, pekerjaan yang
paling mendesak adalah mencari pengganti KH. Bisri Syansuri. Sebab hanya dengan
Rais ‘Aam inilah pemagaran akan bisa dilakukan dan kerja evaluasi
kelemahan-kelemahan NU akan dapat berjalan efektif dan efisien.
Pentingnya seorang
Rais ‘Aam ini juga terlihat pada pernyataan KH. Bisri Syansuri kepada bebe–rapa
orang dalam sebuah pertemuan tidak resmi di Jombang, sebagaimana tertera dalam Kebangkitan
Ulama dan Bangkitnya Ulama:
“Ada
orang-orang PBNU yang nakalan (curang), yang dikehendaki hanyalah
lan–carnya politik, tidak mengingat isi politik itu. Aku (saya) dipolitiki.
Setiap kuajak ra–pat selalu ada alasan untuk menunda. Jika aku di Jakarta
mereka sama-sama me–nyembunyikan diri tetapi jika aku berada di Jombang mereka
mengadakan rapat sendiri-sendiri. Tanpa aku”.
Penegasan KH. Bisri
Syansuri itu disampaikan dalam bahasa Jawa, di hadapan beberapa tamunya di
Jombang. Di antaranya yang mendengarkan ada–lah puteranya, HA. Aziz Bisri dan
Maksoem Mahfoedz, putera KH.Mahfoedz Anwar, Jombang.
Penegasan KH. Bisri
Syansuri tersebut me–ngundang dua pengertian pokok mengenai perkem–bangan yang
terjadi dalam tubuh NU. Pertama, menegaskan bahwa di dalam tubuh NU
sudah tumbuh kelompok-kelompok yang saling berkepenti–ngan membawa NU.
Ada yang ingin
membawa NU tetap bergerak di bidang politik, ada pula yang ingin bergerak
dibidang agama, karena sudah kembali pada jam’iyah. Tetapi ada pula yang
menginginkan NU bergerak dibidang politik maupun dibidang agama. Tentu saja
terakhir ini dimaksudkan adalah politik dalam arti konsep.
Kedua,
menunjukkan adanya ketidakkompakan dalam tubuh NU. Dengan kata lain, sejumlah
tokoh NU sudah mulai berani mempermainkan Rais ‘Aam untuk kepentingan politik.
Keberadaan Rais ‘Aam dianggap sebagai penghalang kemauan politik yang hendak
mereka lakukan. Oleh karena itu mudah dipahami, apabila sikap politik NU lebih
mencer–minkan sikap pribadi tokoh NU ketika Rais ‘Aam tidak banyak tinggal di
Jakarta.
No comments:
Post a Comment