Pergulatan
di Masa Orde Baru
Pengukuhan Jendral Soeharto sebagai
Presiden oleh MPRS menandai adanya perpindahan ke–kuasaan pemerintahan dari
Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai pemimpin baru, Soeharto juga meli–hat posisi
penting Kiai Bisri dalam perpolitikan nasional.
Posisi penting Kiai Bisri juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi Jenderal Soeharto. Setidaknya ada dua fakta bahwa Mbah
Bisri demikian disegani oleh Presiden Soeharto. Pertama, pada tahun
1976, se–cara diam-diam Pak Harto sowan ke Mbah Bisri di Jombang.
Kedatangan Presiden Republik Indone–sia ke kediaman Mbah Bisri di
Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar itu, tidak secara resmi, alias diam-diam,
tanpa pengawalan resmi, hanya ditemani oleh seorang Letnan Kolonel. Istilahnya
kunjungan atau perjalanan incognito. Waktu itu, yang menjamin keamanan
Pak Harto adalah menantu cucu Mbah Bisri, yaitu KH. Hamid Baidhawi,
suami Aisyah binti KH. Wahid Hasyim (KH. A Wahid Hasyim adalah putra Hadratus
Syekh Hasyim Asy’ari, mantan Menteri Agama —yang merupakan suami dari
Sholihah binti KH. Bisri Syansuri). Aisyah dalam suatu kesempatan menuturkan, “Itu
secara rahasia, gak pakai ngoweng-ngoweng, dan sampai sekarang saya masih
menyimpan (dokumen) surat pernyataan suami saya, jaminan keamananan bagi Pak
Harto, selama beliau berada di Mamba’ul Ma’arif,” tutur Aisyah.
Kedatangan Pak Harto ini membuktikan
bahwa Mbah Bisri mempunyai kedudukan penting di mata Presiden kedua
Indonesia ini. “Tak sembarang orang disowani Pak Harto. Biasanya orang,
bahkan tokoh yang justru sowan kepada presiden, bukan sebaliknya,” kenang
Aisyah.
Fakta kedua adalah saat Partai
Persatuan Pem–bangunan (PPP) berdiri. “Supaya menjadi persatuan yang
sebenarnya, maka diusulkan agar persatuan itu diikat dengan simbol Kabah,”
demikian usulan Mbah Bisri, sebagaimana dituturkan oleh Aisyah. Sementara itu,
ada pihak lain menginginkan simbol Bintang. Rapat yang juga dihadiri oleh Pak
Harto ini, mengalami perdebatan yang cukup tajam dan sengit. Mbah Bisri
kemudian berujar, “Sudah, gak usah ada PPP saja, kalau tidak memakai simbol
Ka’bah, tidak usah ada partai,” tegasnya. Pak Harto yang datang dalam rapat
yang menegangkan itu tak berkutik, takluk dan menurut pada keinginan Mbah
Bisri, dan menyetu–juinya juga. Jadilah ka’bah sebagai lambang PPP hingga saat
ini.
Terkait simbol ini, Kiai Aziz Masyhuri
mem–beri kesaksian bahwa sebelum Kiai Bisiri ngotot agar PPP diberi lambang
ka'bah, ternyata Kiai Bisri sebelumnya sudah berdiskusi atau berdebat dengan
Jenderal Amir Mahmud. Mahmud memilih bintang dan Kiai Bisri memilih Ka'bah
sebagai simbol persatuan. Debat berlangsung seru, dan ternyata logika Amir
Mahmud mampu dipatahkan Kiai Bisri. Tahu dirinya kalah argumen, Amir berpesan
ke Kiai Bisri: "mohon perdebatan yang membuat saya kalah ini jangan
disebarkan”. Namun, dengan cerdiknya, Kiai Bisri dalam suatu pertemuan
menyatakan: "saya dipesani oleh Pak Amir Mahmud agar tidak mengu–mumkan
kekalahannya dalam berargumen tentang simbol PPP."
Seiring dengan posisinya di NU dan
dunia perpolitikan nasional, membuat KH. Bisri Syansuri sering harus
meninggalkan Jombang, untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan
Nah–dlatul Ulama, mengenai masalah-masalah nasional. Sebagaimana dijelaskan
diatas, dalam periode sete–lah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan
pengangkatan KH. Bisri Syansuri sebagai Rais Aam ketiga, semakin jelas beratnya
tanggung jawab me–mimpin Nahdlatul Ulama.
Dalam perjalanan mengemban amanah
menjadi Rais Aam PBNU, muncul beberapa tantangan dan dinamika yang dihadapi
oleh KH. Bisri Syansuri. Munculnya sosok HM. Subchan ZE yang memang cukup bisa
mengangkat martabat NU, namun daya gedornya, yang tidak segan-segan
mengkritik peme–rintah dan kekuatan sosial politik yang menyimpang dari
komitmen Orde Baru, juga perlu disikapi secara bijak oleh KH. Bisri Syansuri.
Kabar baiknya, Subchan ternyata juga cukup berambisi untuk membawa NU sebagai
kekuatan sosial politik yang disegani.
Dengan sikap Subchan yang terlalu
agresif membawa NU ke martabat yang lebih tinggi, hal ini dinilai Idham Chalid
sebagai membahayakan partai, mambahayakan posisi NU. Dari sinilah perpecahan NU
muncul, Subchan dengan Idham Chalid. Tetapi sikap yang ditunjukan KH. Bisri
Syansuri pada saat itu adalah, ia telihat sepenuhnya di belakang Idham Chalid.
Sikap ini terbukti ketika Muktamar NU
ke 25 pada tanggal 20-25 Desember 1971 di Surabaya. Keinginan Subchan untuk
mengubah citra politik NU hampir berhasil melalui muktamar Surabaya tersebut.
Sebagian besar Muktamirin mengharapkan Subchan menjadi ketua umum PBNU.
Saat sidang pemilihan dimulai,
tiba-tiba ditunda karena KH. Bisri Syansuri mengeluarkan pernyataan tidak
bersedia duduk bersama Subchan di PBNU. Akan tetapi Subchan tidak kehilangan
akal. Ia meminta diadakan konsensus yang diaklamasikan lewat ikrar, dan Subchan
bersedia mengundurkan diri di hadapan peserta Muktamar.
“Ternyata ikrar Subchan ditolak
Muktamirin. Ini berarti massa NU masih menghendaki Subchan. Berarti pula bahwa
Subchan merupakan manifestasi kemauan dan sikap politik warga NU. Ini berarti
pula bahwa pertentangan antara kelompok Idham dengan kelompok Subchan sudah
mulai memuncak,” demikian tulis Choirul Anam.
Walaupun mendapatkan dukungan massa, Subchan harus
sadar bahwa kelompok yang diha–dapi adalah kelompok yang mempunyai hak veto.
Pada Januari 1972 Rais Aam PBNU, KH. Bisri Syansuri, mengeluarkan surat
pemecatan terhadap diri Subchan sebagai salah seorang ketua PBNU.
Surat pemecatan PB. Syuriyah NU itu bernomor 004/Syur/C/I/’72
tertanggal 21 Januari 1972, yang ditandatangani oleh Rais Aam KH. Bisri
Syansuri, Ketua Dewan Partai KH. Moh. Dachlan dan Ketua Umum PBNU KH. Dr. Idham
Chalid. Tetapi Subchan menolak dengan keras pemecatan itu dan menuntut diadakan
Muktamar luar biasa. Belakangan diketahui bahwa motif sebenarnya tragedi
pemecatan tersebut adalah karena gaya hidup Subchan. Pada tahun yang sama
Subchan meninggal dunia. Secara otomatis, kemelut di tubuh NU terhindar.
No comments:
Post a Comment