Sunday, January 6, 2019

Pergulatan di masa orde baru



Pergulatan di Masa Orde Baru


Pengukuhan Jendral Soeharto sebagai Presiden oleh MPRS menandai adanya perpindahan ke–kuasaan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai pemimpin baru, Soeharto juga meli–hat posisi penting Kiai Bisri dalam perpolitikan nasional.
Posisi penting Kiai Bisri juga menjadi daya tarik tersendiri bagi Jenderal Soeharto. Setidaknya ada dua fakta bahwa Mbah Bisri demikian disegani oleh Presiden Soeharto. Pertama, pada tahun 1976, se–cara diam-diam Pak Harto sowan ke Mbah Bisri di Jombang. Kedatangan Presiden Republik Indone–sia ke kediaman Mbah Bisri di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar itu, tidak secara resmi, alias diam-diam, tanpa pengawalan resmi, hanya ditemani oleh seorang Letnan Kolonel. Istilahnya kunjungan atau perjalanan incognito. Waktu itu, yang menjamin keamanan Pak Harto adalah menantu cucu Mbah Bisri, yaitu KH. Hamid Baidhawi, suami Aisyah binti KH. Wahid Hasyim (KH. A Wahid Hasyim adalah putra Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mantan Menteri Agama —yang merupakan suami dari Sholihah binti KH. Bisri Syansuri). Aisyah dalam suatu kesempatan menuturkan, “Itu secara rahasia, gak pakai ngoweng-ngoweng, dan sampai sekarang saya masih menyimpan (dokumen) surat pernyataan suami saya, jaminan keamananan bagi Pak Harto, selama beliau berada di Mamba’ul Ma’arif,” tutur Aisyah.
Kedatangan Pak Harto ini membuktikan bahwa Mbah Bisri mempunyai kedudukan penting di mata Presiden kedua Indonesia ini. “Tak sembarang orang disowani Pak Harto. Biasanya orang, bahkan tokoh yang justru sowan kepada presiden, bukan sebaliknya,” kenang Aisyah.
Fakta kedua adalah saat Partai Persatuan Pem–bangunan (PPP) berdiri. “Supaya menjadi persatuan yang sebenarnya, maka diusulkan agar persatuan itu diikat dengan simbol Kabah,” demikian usulan Mbah Bisri, sebagaimana dituturkan oleh Aisyah. Sementara itu, ada pihak lain menginginkan simbol Bintang. Rapat yang juga dihadiri oleh Pak Harto ini, mengalami perdebatan yang cukup tajam dan sengit. Mbah Bisri kemudian berujar, “Sudah, gak usah ada PPP saja, kalau tidak memakai simbol Ka’bah, tidak usah ada partai,” tegasnya. Pak Harto yang datang dalam rapat yang menegangkan itu tak berkutik, takluk dan menurut pada keinginan Mbah Bisri, dan menyetu–juinya juga. Jadilah ka’bah sebagai lambang PPP hingga saat ini.
Terkait simbol ini, Kiai Aziz Masyhuri mem–beri kesaksian bahwa sebelum Kiai Bisiri ngotot agar PPP diberi lambang ka'bah, ternyata Kiai Bisri sebelumnya sudah berdiskusi atau berdebat dengan Jenderal Amir Mahmud. Mahmud memilih bintang dan Kiai Bisri memilih Ka'bah sebagai simbol persatuan. Debat berlangsung seru, dan ternyata logika Amir Mahmud mampu dipatahkan Kiai Bisri. Tahu dirinya kalah argumen, Amir berpesan ke Kiai Bisri: "mohon perdebatan yang membuat saya kalah ini jangan disebarkan”. Namun, dengan cerdiknya, Kiai Bisri dalam suatu pertemuan menyatakan: "saya dipesani oleh Pak Amir Mahmud agar tidak mengu–mumkan kekalahannya dalam berargumen tentang simbol PPP."
Seiring dengan posisinya di NU dan dunia perpolitikan nasional, membuat KH. Bisri Syansuri sering harus meninggalkan Jombang, untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nah–dlatul Ulama, mengenai masalah-masalah nasional. Sebagaimana dijelaskan diatas, dalam periode sete–lah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan pengangkatan KH. Bisri Syansuri sebagai Rais Aam ketiga, semakin jelas beratnya tanggung jawab me–mimpin Nahdlatul Ulama.
Dalam perjalanan mengemban amanah menjadi Rais Aam PBNU, muncul beberapa tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh KH. Bisri Syansuri. Munculnya sosok HM. Subchan ZE yang memang cukup bisa mengangkat martabat NU, namun daya gedornya, yang tidak segan-segan mengkritik peme–rintah dan kekuatan sosial politik yang menyimpang dari komitmen Orde Baru, juga perlu disikapi secara bijak oleh KH. Bisri Syansuri. Kabar baiknya, Subchan ternyata juga cukup berambisi untuk membawa NU sebagai kekuatan sosial politik yang disegani.
Dengan sikap Subchan yang terlalu agresif membawa NU ke martabat yang lebih tinggi, hal ini dinilai Idham Chalid sebagai membahayakan partai, mambahayakan posisi NU. Dari sinilah perpecahan NU muncul, Subchan dengan Idham Chalid. Tetapi sikap yang ditunjukan KH. Bisri Syansuri pada saat itu adalah, ia telihat sepenuhnya di belakang Idham Chalid.
Sikap ini terbukti ketika Muktamar NU ke 25 pada tanggal 20-25 Desember 1971 di Surabaya. Keinginan Subchan untuk mengubah citra politik NU hampir berhasil melalui muktamar Surabaya tersebut. Sebagian besar Muktamirin mengharapkan Subchan menjadi ketua umum PBNU.
Saat sidang pemilihan dimulai, tiba-tiba ditunda karena KH. Bisri Syansuri mengeluarkan pernyataan tidak bersedia duduk bersama Subchan di PBNU. Akan tetapi Subchan tidak kehilangan akal. Ia meminta diadakan konsensus yang diaklamasikan lewat ikrar, dan Subchan bersedia mengundurkan diri di hadapan peserta Muktamar.
Ternyata ikrar Subchan ditolak Muktamirin. Ini berarti massa NU masih menghendaki Subchan. Berarti pula bahwa Subchan merupakan manifestasi kemauan dan sikap politik warga NU. Ini berarti pula bahwa pertentangan antara kelompok Idham dengan kelompok Subchan sudah mulai memuncak,” demikian tulis Choirul Anam.
Walaupun mendapatkan dukungan massa, Subchan harus sadar bahwa kelompok yang diha–dapi adalah kelompok yang mempunyai hak veto. Pada Januari 1972 Rais Aam PBNU, KH. Bisri Syansuri, mengeluarkan surat pemecatan terhadap diri Subchan sebagai salah seorang ketua PBNU.
Surat pemecatan PB. Syuriyah NU itu bernomor 004/Syur/C/I/’72 tertanggal 21 Januari 1972, yang ditandatangani oleh Rais Aam KH. Bisri Syansuri, Ketua Dewan Partai KH. Moh. Dachlan dan Ketua Umum PBNU KH. Dr. Idham Chalid. Tetapi Subchan menolak dengan keras pemecatan itu dan menuntut diadakan Muktamar luar biasa. Belakangan diketahui bahwa motif sebenarnya tragedi pemecatan tersebut adalah karena gaya hidup Subchan. Pada tahun yang sama Subchan meninggal dunia. Secara otomatis, kemelut di tubuh NU terhindar.

No comments: