Di saat-saat penuh kesulitan setelah terjadinya percobaan penggulingan kekuasaan pemerintahan oleh G-30-S/PKI di tahun 1965, dengan pertum–pahan darah luar biasa besarnya serta perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde Baru, Kiai Bisri sering harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional, karena Kiai Abdul Wahab sudah banyak sekali menghadapi udzur.
Dalam periode setelah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan pengangkatan Kiai Bisri sebagai Rais Aam, semakin jelas beratnya tanggung jawab memimpin Nahdlatul Ulama. Organisasi itu semakin nyata membuktikan diri sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah anggota (man-power) dan kekuatan kejiwaan (daya tahan). Begitu besar dan banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya sendiri.
Saat itu, Kiai Bisri menghadapi situasi politik yang cukup menyulitkan bagi NU. Hal ini karena, rezim Orde Baru mulai memperkuat basis-basis kekuatan politiknya dengan mengendalikan semua elemen masyarakat. Orde Baru saat itu, menggagas konsep massa mengambang atau floating mass untuk memperkokoh Golkar. Menurut Rahman Tolleng, salah satu pencetus massa mengambang, gagasan itu sebenarnya antitesis konsep politik Orde Lama yang membolehkan partai membangun organ atau sayap di masyarakat.
Tokoh Nahdlatul Ulama, Subchan Z.E., sem–pat memprotes keras gagasan itu. Ia menuding floating mass bersumber dari teori diktator proletariat. Sebaliknya, bagi Golkar, floating mass sama sekali tidak mengganggu karena sebagai organisasi baru, Golkar belum membangun organ politik.
Karenanya, semua partai saat itu direkayasa de–ngan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua or–ganisasi yang ada. Operasi semacam itu dimak–sudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrastruktur politik (un–tuk mendobrak infrastruktur politik yang berorien–tasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi ke–masyarakatan dan fungsional. Hal ini kemudian ter–wujud pada tahun 1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai Golkar, PPP (peng–gabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
Pada konteks itulah, Nahdlatul Ulama dipaksa dileburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Per–satuan Pembangunan (PPP). Namun, di lain pihak, NU tidak ingin terbawa arus hanya dalam urusan politik kepartaian, NU secara tegas juga mem–perkuat fungsinya sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politik (jam'iyah) di luar ke–partaian. Kiai Bisri sebenarnya keberatan terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, akan tetapi tidak beliau tidak berpangku tangan melihat tantangan demi tantangan yang dihadapi. Meski aktif di PPP, akan tetapi Kiai Bisri telah berhasil menempatkan NU sebagai organisasi masyarakat yang cukup kokoh dan tangguh serta pada 1984 disempurnakan oleh cucunya, Gus Dur dengan kembali ke Khittah 1926.
Tantangan besar yang pertama adalah mun–culnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perka–winan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Sangat menarik untuk diikuti bahwa proses perundingan dalam upaya menyetujui RUU tersebut agar menjadi Undang-Undang (UU) berlangsung sangat alot dan ketat.
Sebagian besar peserta yang terlibat dalam proses perundingan tersebut berasal dari NU yang berhadapan dengan unsur dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Hal ini menunjukkan, begitu besarnya pengaruh para ulama di dalam dan di luar PPP pada saat itu.
“Para jenderal yang saat itu memiliki nama dan wewenang yang cukup besar, seperti Soemitro, Daryatmo dan Soedomo harus berhadapan dengan Kiai Bisri yang terkenal tidak mengenal kompromi dan penganut penerapan iqih secara ketat,” demikian tulis H. Abd. Aziz Masyhuri, dalam bukunya Al-Magfurlah KH. Bisri Syansuri, Cita-cita dan Pengabdiannya.
Tindakan pertama yang diambil Kiai Bisri adalah mengumpulkan sejumlah ulama daerah Jom–bang, untuk membuat sebuah rancangan tandingan atas RUU Perkawinan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kiai Bisri Syansuri dan para ula–ma tersebut menuntut RUU perkawinan harus ber–dasarkan sendi agama Islam.
Setelah rancangan tandingan itu selesai dibuat, lalu diajukan ke dalam lingkungan Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama, dan diterima secara akla–masi. Rancangan tandingan itu kemudian diajukan kepada sidang Majlis Syura Partai Persatuan Pem–bangunan, yang menerimanya dan kemudian me–merintahkan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk menjadikannya dasar bagi satu-satunya rancangan undang-undang yang dapat diterima oleh partai tersebut.
Setelah melalui proses negosiasi berbelit-belit dan diselingi kerusuhan oleh sejumlah pemuda di gedung lembaga perwakilan rakyat, rancangan tan–dingan itu diterima sebagai Undang-undang Perka–winan yang disahkan dengan sedikit perubahan di sana-sini.
Andrée Feillard, dalam bukunya “Nu Vis-à -vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna”, menjelas–kan secara gamblang, isi RUU Alternatif rancangan para ulama yang dimotori KH. Bisri Syansuri, yang meliputi pertama, Perkawinan bagi orang muslim ha–rus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara si–pil (pasal 2: NU berhasil memenangkan pendapat–nya);
Kedua, Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah setelah diceraikan harus diperpendek. Pemerintah mengusulkan satu tahun, sedangkan NU minta tiga bulan karena menuntut seorang dari Muslimat, suami berhak rujuk kembali kepada istri selama masa ‘iddah itu. Tidak ada perkecualian diberlakukan bagi wanita usia lanjut. Pemerintah ingin memperpanjang masa ‘iddah bagi para wanita yang berusia di atas 52 tahun, dengan anggapan mereka memerlukan bantuan yang lebih lama karena kemungkinan untuk menikah lagi sangat kecil.
Sebenarnya, dalam pasal 46 rancangan UU Perkawinan itu, disebutkan bahwa suami diharuskan memberi biaya hidup kepada bekas istrinya selama ia masih hidup dan belum bersuami lagi. Sedangkan, “Islam hanya mewajibkan suami memberi nafkah kepada bekas istri yang diceraikannya selama bekas istri itu masih berada dalam masa tunggu (‘iddah) yang dapat dirujuk. Akhirnya, diputuskan halaman ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Ketiga, pernikahan setelah kehamilan di luar ni–kah tidak diizinkan. NU cukup berhasil dalam arti definisi anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.
Keempat, pertunangan dilarang karena “dapat mendorong ke arah perzinahan”. NU berhasil, pasal 13 ini dihapus.
Kelima, Anak angkat tidak memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Dalam hal ini NU berhasil; pasal 42 mengatakan bahwa anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.
Keenam, penghapusan sebuah pasal dari ranca–ngan undang-undang yang diajukan yang menya–takan bahwa perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan. Pasal 11 ini dihilangkan dan tidak di–singgung.
Ketujuh, batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan adalah 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita. 19 tahun bagi pria dan bukan 21 tahun. Pada pasal 7 ini, NU berhasil
Kedelapan, penghapusan pasal mengenai pem–bagian rata harta bersama antara wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakannya”. Pada pasal ini, NU berhasil.
Kesembilan, NU menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat. Pasal ini disempurnakan menjadi hubungan sebagai anak angkat tidak dila–rang, tetapi disinggung pula soal hubungan per–susuan.
Kesepuluh, NU menolak larangan melangsung–kan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai. Dalam pasal 10 ini, NU berhasil.
Tantangan berat lain setelah itu, terjadi men–jelang pemilihan umum tahun 1977, ketika terjadi tekanan dari berbagai kalangan agar Partai Persa–tuan Pembangunan tidak menggunakan gambar Ka’bah sebagai lambang dalam pemilihan umum. Tampak jelas sekali pada akhirnya, KH. Bisri Syansuri dapat menahan tekanan-tekanan politik itu secara mantap, dan partai tersebut dapat mengikuti pemilihan umum tetap dengan tanda gambar ka’bah.
Oleh sebab itu, Anam menyebut, aktifitas NU masih tetap saja berbau politik praktis. Terlebih lagi ketika pelaksanaan pemilihan umum 1977 sudah di ambang pintu. Sudah tentu para pemimpin NU yang juga pemimpin PPP, lebih mengutamakan kegiatan PPP yang menurut pandangan mereka memang perlu didahulukan. Sehingga dalam meng–hadapi pemilu 1977, tampak sekali peran tokoh-tokoh NU baik dari segi motor penggerak kam–panye atau sebagai perekat tubuh PPP. Sampai puncak peranannya ketika menghadapi Sidang Umum MPR 1978.
Dalam masa persiapan menjelang dan selama berlangsungnya Sidang Umum Majlis Permusya–waratan Rakyat hasil pemilihan umum 1977, kem–bali terjadi perbedaan tajam dengan pihak-pihak lain mengenai beberapa rancangan ketetapan lembaga tersebut. Terutama dalam persoalan pemberian status kepada aliran kepercayaan, cara berpikir yang semata-mata dilandaskan pada hukum fiqh telah membuat Kiai Bisri menolak gagasan tersebut.
Pendapat itu tidak berubah sama sekali dalam proses tawar-menawar politik yang terjadi. Ketegu–han pendirian itu akhirnya membawa kepada sikap meninggalkan sidang (walk out), ketika lembaga permusyawaratan itu tetap memutuskan memberi–kan status formal kepada aliran kepercayaan.
Sikap serba keras seperti itu menyembunyikan sebuah kenyataan penting yang tidak pula luput dari pengamatan orang banyak: Kiai Bisri sebenarnya telah banyak mengambil pendekatan yang dilakukan Kiai Abdul Wahab semasa hidupnya. Seolah-olah terjadi metamorfosa dalam dirinya, sewaktu ia memikul beban yang tadinya dipikul sang ipar. Kiai Bisri lalu menjadi orang yang bersedia melihat persoalan dari beraneka sudut pandang, sebelum diambil keputusan terakhir.
Sikap yang hanya mau mencari sumber pengambilan keputusan literatur fiqh saja ditinggal–kannya, karena hal itu sudah tidak sesuai lagi dengan peranan yang dijalaninya. Sebelum itu, pendekatan monolinear kepada fiqh itu dilakukannya untuk me–ngurangi sejauh mungkin pemudahan persoalan yang timbul dari pendekatan yang dipakai Kiai Abdul Wahab, seolah-olah ia adalah penjaga ga–wang, yang harus menjaga jangan sampai kebo–bolan. Tetapi, dengan beban yang harus dipikulnya sendiri, Kiai Bisri harus mampu menggabungkan kedua jenis pendekatan semula itu, untuk memungkinkan pengambilan keputusan yang mengandung unsur kebijaksanaan yang tinggi.
No comments:
Post a Comment