Berpolitik dalam Konstituante dan Penolakan MPRS/DPR-GR
Pada masa pemerintahan DPR tahun 1955 dari hasil pemilu pertama, KH. Bisri Syansuri men–dapatkan suara dari daerah pilihan wilayah Jawa Timur. Dalam peranannya di DPR pada saat itu, KH. Bisri Syansuri sangat menjunjung tinggi ke–pentingan umat dan memperjuangkan umat, “ka–rena ia menjadi anggota DPR pada saat itu dari hasil suara rakyat,” demikian sebagaimana tercatat dalam Arsip DPR RI.
Masa KH. Bisri Syansuri menjadi anggota DPR tidaklah lama, setelah pada tahun 1959 muncul dekrit Presiden yang menjadi sistem presidensial. Langkah pertama setelah Dekrit adalah membu–barkan kabinet. Presiden kemudian menunjuk di–rinya sebagai formatur pembentukan kabinet baru, dibantu bekas perdana menteri Djuanda dan atas usul KSAD Mayor Jendral AH. Nasution, kabinet baru terbentuk dengan nama kabinet kerja.
Dalam catatan AH. Nasuiton disebutkan, Kabinet Kerja ini hanya dibebani tiga program: sandang pangan, keamanan dalam negeri dan pe–ngembalian Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabinet ini langsung dipimpin oleh Presiden.
Tindakan-tindakan inkonstitusional lainnya se–makin gencar dilakukan Presiden. Antara lain MPR/DPR hasil pemilihan rakyat dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk MPRS yang diatur oleh penetapan Presiden (Penpres) No. 2 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959, yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sendiri.
Sejalan dengan itu, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang ang–gotanya juga diangkat serta diberhentikan oleh Presiden, yang diatur melalui Penpres No. 3 tahun 1959.
Terbentuknya MPRS sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk NU. Sebagian kelompok NU menolak terbentuknya MPRS, karena dianggap telah mencederai Undang–undang yang berlaku dan melanggar kedaulatan rakyat. Hal ini dipelopori oleh KH. Bisri Syansuri dan diikuti Dachlan, Imron Royadi dan Kiai Achmad Shiddiq. AndrĆ©e Feillardmencatat, bahwa KH. Bisri Syansuri dan kawan-kawan tersebut menganggap DPR anti demokrasi.
Bagi Kiai Bisri, ikut serta dalam perpolitikan parlementer macam DPR, yang tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat, bertentangan dengan ilmu fiqih yang dipegangnya. Berbeda dengan kelompok NU lainnya yang dipelopori oleh sahabat karibnya, Kiai Wahab yang memutuskan untuk menerima keanggotaan dewan perwakilan rakyat tunjukan presiden. Kiai Wahab menganggap jika tidak menerima kepu-tusan presiden Republik Indonesia dikhawatirkan tidak ada tempat menyalurkan aspirasi warga nahdliyin. “Ada juga alasan Kiai Wahab menerima karena alasan amar makruf nahi mungkar yang dipegang warga NU,” demikian, sebagaimana catatan KH. Aziz Masyhuri dalam buku Kiai 99 Kharismatik Indonesia.
Hebatnya, KH. Bisri Syansuri menghargai ke–putusan Kiai Wahab dengan mempersilahkan anggota konstituante dari hasil pemilu 1955 untuk menerima sebagai anggota MPRS. Alasannya, Kiai Wahab merupakan pimpinan tertinggi dalam Partai Nahdlatul Ulama.
“Sikap toleransi KH. Bisri Syansuri sangat nampak ketika putrinya, Hj. Sholihah memilih mengikuti sikap Kiai Wahab yang masuk dalam anggota DPR bentukan presiden,” tutur Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, pada 31 Oktober 2012 di rumahnya, Jakarta.
Oleh karena itu, mudah dipahami kalau NU —masih sebagai partai politik— selalu menunjukkan sikap lunak ketika menghadapi pembentukan MPRS/DPR-GR, DPAS, DEPERNAS. Meski pada awalnya, dalam tubuh NU sendiri terjadi pro-kontra dalam menghadapi persoalan tersebut.
Sikap semacam itu ditempuh NU antara lain supaya lebih mudah mendapatkan kesempatan dan memanfaatkannya secara efektif khususnya untuk mengimbangi kondisi politik pada saat itu. Walau–pun KH. Bisri Syansuri tidak ikut serta dalam keanggotaan MPRS/DPR GR bentukan presiden, KH. Bisri Syansuri juga berperan dalam pengam–bilan keputusan ketika kondisi politik banyak di dominasi PKI.
No comments:
Post a Comment