Thursday, January 3, 2019

Perjuangan bersenjata Hizbullah Mbah Bisri syansuri

      Perjuangan Bersenjata bersama Hizbullah 


Keterlibatan Kiai Bisri dalam perjuangan ber–senjata tak bisa dilepaskan dari proses terbentuknya “Jawa Hokokai”. Sebagaimana dalam catatan Choi–rul Anam, terbentuknya “Jawa Hokokai” merupakan permintaan Jepang untuk mengumpulkan pemuda-pemuda untuk dilatih menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pada kesempatan itu, KH. A. Wahid Hasyim juga meminta kepada Jepang melalui Abdul Hamid Ono Orang Jepang yang ditugaskan khusus mengawasi KH. A. Wahid Hasyim untuk melatih para santri di pesantren.
Tentara santri ini bukan bernama PETA, melainkan Hizbullah dan Sabilillah. Mereka juga ti–dak boleh dikirim ke medan perang melawan sekutu di Burma atau di kepulauan Pasifik.
Kebanyakan dari tentara Hizbullah dan Sabi–lillah masih belum berpengalaman di medan perang, maka dari itu, tentara santri ini dijadikan sebagai pasukan cadangan. Setelah mengangkat tentara san–tri sebagai tentara cadangan, pihak Jepang segara melatih para tentara santri tersebut.
Mendengar adanya informasi itu, dengan segera disampaikan kepada beberapa pesantren di Jawa dan Madura. Anam mencatat, setiap pesantren di–minta mengirimkan 5 orang santrinya untuk dilatih di Cibarusa, Jawa Barat. Latihan berlangsung selama 6 bulan pada pertengahan tahun 1944, dibawah bimbingan seorang opsir Jepang, Kapten Yanagawa, yang sebelumnya juga melatih PETA.
Markas tertinggi Hizbullah berkedudukan di Jakarta, dipimpin oleh Zainul Arifin dari NU. Se–dangkan para anggotanya diambil dari Muham–madiyah, NU dan organisiasi-organisasi Islam lain–nya yang bernaung di bawah bendera Masyumi.
Melalui markas tertinggi ini, para santri yang telah dididik di Cisarua diperintahkan melatih para pemuda Islam di daerah masing-masing. Hingga ke–mudian nama Hizbullah tersebar luas di Jawa dan Madura. Di beberapa daerah lain seperti Sumatera dan Kalimantan juga terbentuk, meski belum merata.
Berbeda dengan para santri, para Kiai kemu–dian memasuki “Barisan Sabilillah” yang dibentuk tak lama setelah Hizbullah. Markas Sabilillah yang terkenal berada di Malang, Jawa Timur. Baik Hizbullah maupun Sabilillah kemudian ditingkatkan peranannya sebagai tentara profesional, ketika Masyumi menjelma menjadi Partai Politik Islam Indonesia dalam kongresnya di Yogyakarta, 7-8 November 1945. Diperkuat lagi dalam muktamar partai Masyumi di Solo 10 Februari 1946.
Dalam buku Kronik Revolusi Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil sebagaimana dikutip dalam Majalah Pantja Raja, 15 Februari 1946 disebutkan bahwa sidang muktamar membicarakan tiga masalah pokok Muktamar: (1) Pengumuman mengenai keputusan-keputusan Muktamar, (2) pen–jelasan tentang Masyumi oleh Dr. Sukiman, dan yang nomor (3) strijd dan urgensi program oleh Abikusno Thakrosujoso.
Muktamar memutuskan untuk memperkuat pertahanan dan ketentraman Indonesia dengan mendirikan markas-markas daerah (markas Divisi) di seluruh Indonesia. Hingga kemudian tersusun pula Anggaran Dasar Barisan Hizbullah dan Sabi–lillah, yang antara lain di dalamnya tercantum tujuan dibentuknya tentara sabil tersebut yaitu “untuk me–negakkan Agama Islam dan kedaulatan Negara Republik Indonesia”. Pernyataan ini dapat diperiksa pada dokumen Anggaran Dasar Masyumi, 1945 dan Anggaran Dasar Hizbullah dan Sabilillah 1946.
Pembentukan Hizbullah dan Sabilillah juga di–ikuti adanya Markas Ulama Djawa Timur (MUDT). Pada medio pendudukan Jepang di tahun 1942 sampai 1945, keterlibatan angkat senjata KH. Bisri Syansuri tampak ditandai dengan keterlibatannya menjadi wakil ketua MUDT di Mojokerto, setelah adanya proklamasi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Saatitu, pimpinan MUDT masih dipegang oleh guru besarnya, KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini terjadi sampai pada tahun 1947, yang selanjutnya juga menjadi kekuatan besar Ulama Jawa Timur guna mempertahankan kemer–dekaan Indonesia, saat itu.
Namun, berhubung dengan suasana revolusi dan dua kali menghadapi agresi militer Belanda, pada 21 Juli 1947 dan 18 Desember 1948, maka hal-hal yang kurang menguntungkan dalam partai Ma–syumi oleh NU ditangguhkan penyelesaianya me–nunggu situasi yang memungkinkan. Anas Thahir dalam buku Kebangkitan Umat Islam dan NU di Indonesia mencatat, tiada maksud lain, kecuali agar konsentrasi ummat Islam menghadapi agresi militer Belanda itu tidak tergoyahkan.
Penangguhan itu dipandang cukup bijaksana, oleh karena dua bulan setelah muktamar Madiun, agresi militer Belanda yang pertama (21 Juli 1947) berhasil merebut Markas Tinggi Hizbullah dan Sabilillah di Malang. Berita buruk ini kemudian di–sampaikan oleh Kiai Ghufron, pimpinan Sabilillah Surabaya, dan dua orang utusan dari panglima besar Jendral Soedirman dan Bung Tomo, kepada KH. Hasyim Asy’ari di Jombang.
“Begitu berita disampaikan, langsung saja KH. Hasyim Asy’ari memegangi kepalanya sambil berseru: “Masya’ Allah, Masya’ Allah, Masya’ Allah”, lalu pingsan,” demikian, sebagaimana dicatat oleh Choirul Anam. Ia mengalami pendarahan otak.
Dalam catatan yang lain, Syaifuddin Zuhri melalui Guruku, Orang-orang dari Pesantren, menye–butkan, dokter yang didatangkan dari Jombang ti–dak bisa berbuat apa-apa, karena keadaan memang sudah parah sekali. Malam itu juga, 7 Ramadhan 1366H bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, Rais Akbar NU sekaligus petinggi Hisbullah dan Sabilillah, KH. Hasyim Asy’ari berpulang ke rahmatullah.
Dengan kondisi seperti itu, kemudian segeralah KH. Bisri Syansuri diangkat menjadi ketua Hizbullah dan Sabilillah wilayah Jawa Timur, pada waktu itu di Jombang. Sebagaimana dalam catatan Daftar Riwayat Hidup Tjalon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, penempatan markas besar di Jombang ini bukan tanpa alasan, setelah jatuhnya markas besar Ulama di Malang ke tangan Belanda, maka segeralah dipindahkan markas tersebut ke Jombang, tepatnya di perumahan utara Pabrik Gula Jombang Baru.

No comments: