Wednesday, December 26, 2018

Menjadi Aktor ‘Kelas Musyawarah’ NU (sejarah mbah bisri)

Menjadi Aktor ‘Kelas Musyawarah’ NU


            Kembali ke tugas penguatan jaringan organisasi NU, tampaknya KH. Bisri Syansuri juga memiliki kelebihan tersendiri. Salah satu hal yang memban–tunya dalam penunaian tugas seperti itu adalah kontak kekeluargaan yang dimilikinya dengan peja–bat pemerintahan lokal di daerah pantai utara.

           Dari  hubungan daerah dengan ibunya yang berasal dari daerah Lasem di jawa tengah, Kiai Bisri memiliki hubungan keluarga dengan sejumlah penghulu kabupaten, seperti di Tuban. Walaupun beliau berasal dari 'sayap haji' yang diperlakukan hanya sebagai petani desa dalam pergaulan kekeluargaan, tetapi banyak yang dapat diperbuatnya dalam kapasitas seperti itu, sudah tentu dengan banyak pengorbanan perasaan di hadapan perlakuan yang seringkali ber–sifat merendahkan harga dirinya.

           Nahdlatul Ulama terus berkembang, perkem–bangannya juga tak luput dari berbagai dinamika, utamanya yang berkaitan dengan penguatan hukum Islam. Inilah yang juga menjadi tonggak penting di kalangan NU: bahwa organisasi ini memiliki akar tradisi yang kuat dalam mencari solusi atas masalah-masalah hukum Islam.

            Munculnya Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab sebagai peserta aktif dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung di lingkungan Nahdlatul Ulama, tampaknya menjadi pemantik bagi berkem–banganya tradisi pemikiran di kalangan NU.

          Setelah organisasi itu berdiri, Kiai Hasyim Asy'ari sebagai pengasuh pesantren Tebuireng dan guru para Kiai muda yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kegiatan Nahdlatul Ulama, memulai sebuah kelas yang kemudian dinamai ''kelas musya–warah': forum tetap bagi para santrinya, baik yang masih belajar di Tebuireng maupun yang telah berkiprah di tempat masing-masing, untuk diuji ke–bolehan mereka dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul di bidang hukum agama.

        Kedua sahabat yang kemudian saling ber-ipar-an itu ternyata memegang peranan, yang boleh dikata, bertolak belakang dalam kelas musyawarah seperti itu. Kiai Abdul Wahab memegang peranan sebagai penjelajah yang menelusuri bermacam-ma–cam aspek pengetahuan agama, melalui berbagai jenis disiplin keagamaan, untuk mencari pemecahan yang sejauh mungkin bersifat positif bagi relevansi kehidupan keagamaan dalam masa berubahnya lingkungan sosial yang terjadi sangat cepat.

       Pengembaraan intelektual di bidang pengeta–huan agama itu, sering membawanya kepada pen–dapat yang dianggap orang lain sebagai 'keputusan yang ringan'.

      Peranan Kiai Bisri justru sebaliknya. Dalam perdebatan sengit yang terjadi dalam forum seperti itu —yang diikuti dengan cermat oleh sang guru, Kiai Hasyim Asy'ari— Kiai Bisri justru berperan sebagai orang yang memeriksa secara tuntas semua usul pemecahan permasalahan dari sudut pandangan murni ilmu fiqh saja.

      Dari pola penghadapan kedua peranan tadi, Kiai Hasyim lalu memberikan keputusannya, yang umumnya diterima sebagai keputusan terakhir yang tidak diganggu gugat lagi. Kalau dilihat dari jenis keputusan yang dihasilkan, nyata sekali bahwa pendalaman masalah dari sudut pandangan murni ilmu fiqh, seperti dilakukan Kiai Bisri, merupakan mayoritas pendapat yang kemudian dianut Kiai Hasyim.

     Dua hal dapat disimpulkan dari kenyataan ini. Pertama, betapa sulitnya mengembangkan pemikiran keagamaan yang mencoba mendinamisasikan fiqh dengan memasukkan unsur-unsur baru ke dalam lingkup pemikirannya, seperti yang dilakukan oleh Kiai Abdul Wahab.

        Kegemarannya untuk terlibat dalam perdebatan sengit mengenai masalah-masalah hukum agama (masalah khilafiyah) dengan penganut faham lain, sering memberikan gambaran seolah-olah Kiai Bisri Sansuri adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang ber–pandangan sempit dan bersikap fanatik dan hanya mau benarnya sendiri.

       Padahal peranan itu justru tidak dilakukannya dalam lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri, karena dengan caranya tersebut ia justru mencoba meluas–kan cakrawala pemikiran di lingkungan organi–sasinya itu. Kesimpulan kedua adalah betapa jelasnya kemampuan Kiai Bisri untuk mempertemukan ke–cenderungan gurunya di bidang ilmu-ilmu hadits dan cara berpikir yang sepenuhnya terikat kepada pandangan murni ilmu fiqh.

     Hal tersebut juga berarti kemampuan sangat besar untuk menguasai perbendaharaan ayat dan hadits sebagai sumber pengambilan hukum dan menggunakannya secara tuntas bagi pengolahan ke–putusan di bidang fiqh. Sebagaimana jelas dari uraian di bagian lain dari tulisan ini, penguasaan penuh atas fiqh selamanya harus berlandaskan pe–nguasaan yang tuntas pula atas Alquran dan Hadits Nabi, sebagai sumber pengambilan hukum agama.

      Fungsi yang tampak saling bertolak belakang dari Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab ini, yang se–cara lahiriyah menggambarkan konflik pandangan yang tidak pernah terlerai, pada hakikatnya adalah proses yang mematangkan keputusan-keputusan yang diambil di lingkungan Nahdlatul Ulama.

      Kalau dilihat dari kumpulan keputusan-kepu–tusan muktamar Nahdlatul Ulama selama ini, kema–tangan berfikir yang menunjangnya tampak tidak kalah dari produk literatur fiqh di masa puncak kejayaan pengetahuan keagamaan kaum muslimin di masa lampau. Kalau dibuat pengkajian perban–dingan dalam hal ini, hasilnya tentu akan menarik: ternyata kekhawatiran para ulama muslimin yang selalu ada tentang menurunnya kualitas dan kuan–titas pengetahuan agama mereka tidak sepenuhnya benar.

      Banyak cara kolektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas penge–tahuan agama yang dimiliki di suatu masa, seperti tampak dari pola penghadapan antara cara berpikir Kiai Abdul Wahab dan kesetiaan Kiai Bisri kepada ilmu fiqh dengan segenap peralatannya.

    Peranan Kiai Bisri dan Kiai Wahab dalam ‘Kelas Musyawarah’ merupakan hal yang juga turut mendorong berkembangnya tradisi pemikiran di kalangan NU. Keduanya, yang meski tampak ber–hadap-hadapan, sesungguhnya adalah bagian dari cara mereka membesarkan NU secara ilmiah.

No comments: