KETERLIBATAN KH.
Bisri Syansuri tidak bisa lepas dari proses Muktamar Islam sedunia, yang
di–selenggarakan di Mekkah. Dalam buku Sejarah NU 1952-1967, Greg Fealy
mencatat, kegagalan kaum islam tradisionalis untuk ikut serta dalam muktamar
sedunia di Mekkah ini, menimbulkan perasaan ke–cewa bagi KH. Abdul Wahab
Hasbullah.
Selain itu, terdapatnya respon kurang baik dari kawan-kawannya
‘sekomite’ atas hal yang penting dalam kelangsungan muktamar terse–but, juga
mendorong munculnya keinginan untuk mewujudkannya dalam suatu pergerakan
tersendiri.
Keterlibatan
dalam Pendirian Nahdlatul Ulama
Berangkat
dari kegagalan tersebut, kemudian memunculkan sikap tegas KH. Abdul Wahab
Has–bullah untuk mengambil prakarsa mendirikan apa yang kemudian dinamai
‘Komite Hijaz’. Komite ini bergerak guna mencari dukungan atas apa yang
dianggapnya penting dengan tujuan utama mengi–rimkan sebuah delegasi ke Saudi
Arabia untuk memperjuangkan pendiriannya kepada raja Abdul Aziz ibn Sa’ud.
Upaya mengumpulkan dukungan dari para Kiai pesantren juga
melibatkan adik iparnya, KH. Bisri Syansuri. Mereka berdua menanggung beban
tugas berkeliling pulau Jawa, menghubungi Kiai-kiai dari Banyuwangi di ujung
timur pulau Jawa hingga ke Menes di ujung barat.
Semula, gagasan membentuk sebuah komite seperti itu tidak
memperoleh restu dari guru mereka, KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng. “Setelah
berbulan-bulan mengajukan argumentasi, dan mungkin juga melalui jasa-jasa baik
sejumlah Kiai lain yang lebih tua dari Kiai Hasyim Asy’ari, akhirnya izin
diberikan,” tulis Gus Dur dalam catatannya.
Seperti telah diketahui bahwa Jam’iyah Nah–dlatul Ulama, (NU) pada
mulanya adalah Komite Hijaz. Dalam buku Profil Nahdlatul Ulama, Choirul
Anam menulis, Setelah adanya dialog yang terjadi dalam tahun 1925, ketika itu
komite ini sepakat hendak mengirimkan utusan ke Muktamar Islam di Mekkah,
timbul pemikiran untuk membentuk jam’iyyah sebagai yang berkehendak mengutus
de–legasi tersebut. Maka atas usul KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz, jam’iyyah
tersebut diberi nama ‘Nah–dlatul Ulama, disingkat NU.
Menurut
catatan Anam, KH. Bisri Syansuri pa–da awal pendiriannya menjabat sebagai
A’wan. Atas posisi ini, pola kehidupan KH. Bisri Syansuri segera mengalami
perubahan total dari masa sebelumnya. Di tingkat lokal, ia kemudian harus
memotori perkembangan Nahdlatul Ulama di daerah ke–diamannya, Jombang. Di
samping itu, ia menjadi penghubung antara pelaksana kegiatan sehari-hari kepengurusan
pusat di Surabaya dan Kiai Hasyim yang dalam muktamar pertama Nahdlatul Ulama
itu telah ditetapkan sebagai Rais Akbar.
Djamal Ghofir dalam buku Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah menyebutkan,
KH. Bisri Syansuri akhirnya juga harus melakukan banyak hal di luar daerah
Jombang untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, antara lain menjadi penghubung
antara Pengurus Besar dan para tokoh organisasi di daerah pantai sebelah utara
Jawa Tengah, yang menjadi daerah asal-usul kelahirannya.
Kiai
merupakan unsur yang menentukan dalam pertumbuhan NU. Inilah yang menjadi
keunggulan dan percepatan perkembangan NU. Biasanya setia Kiai yang mempunyai pondok pesantren mengikut–kan santri-santrinya
untuk masuk dalam Nahdlatul Ulama. “Bukan hanya santri saja yang mengikuti
ajaran Kiainya dalam masuk Nahdlatul Ulama, melainkan juga masyarakat yang
loyal terhadap Kiai setempat,” demikian tulis Fealy.
Sehingga, dari sinilah pertumbuhan Nahdlatul Ulama sebagai
organisasi Islam tradisionalis me–ningkat cepat. Dengan adanya kebersamaan
Kiai-kiai dan kaum tradisionalis ini, dapatlah mengem–bangkan pendidikan
terutama pendidikan agama, sehingga terdapat penyebaran ajaran agama Islam di
semua pesantren Nahdlatul Ulama.
No comments:
Post a Comment