Perintisan
Pesantren Perempuan
KH. Bisri
Syansuri dan Hj. Chodidjah mem–buat keputusan berani dengan membuka kelas
khu–sus perempuan, sekitar tahun 1920 di Pondok Pesantren Denanyar. Menurut
pengakuan Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, langkah ini yang pertama di kawasan Jawa
Timur. “Santrinya adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda
belakang rumah beliau,” kata Aisyah Hamid, di kediamannya, 31 Oktober 2012.
“Langkah penting ini adalah percobaan pertama
di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak
perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur,” demikian tulis Gus Dur.
Langkah yang dianggap kurang sesuai di mata ulama pesantren itu, juga
tidak luput dari penga–matan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga pada suatu
hari sang guru datang melihat sendiri per–kembangan yang terjadi di pesantren
bekas murid–nya itu. Walaupun tidak memperoleh izin spesifik dari sang guru.
KH. Bisri Syansuri memilih melan–jutkan pengajaran itu, karena juga tidak ada
larangan datang dari guru yang ditundukinya.
Ketetapan hatinya untuk meneruskan perco–baan adalah suatu perubahan
sikap cukup besar dalam diri KH. Bisri Syansuri. Diterimanya perem–puan menjadi
santri dalam sebuah pesantren, waktu itu bukanlah hal yang lazim dan tidak
pernah terjadi sebelumnya. Perlahan namun pasti, pesantren yang diasuh oleh Kiai
Bisri mengalami perkembangan cukup pesat.
KH. Bisri Syansuri kemudian membagi wewe–nang pengawasan terhadap para
santri. Bisri harus mengasuh dan memberi pelajaran sehari-hari kepa–da santri
putra, sementara istrinya, Hj. Chodidjah, mendapat wewenang untuk mengawasi
santri putri.
Pembagian wewenang di atas bukan
semata-mata disebabkan oleh perkembangan pesantrennya saja, melainkan juga
karena perhatian KH. Bisri Syansuri, yang mulai tersita. Pada masa ini,
sebagai–mana dikisahkan Dahlan dalam buku Sholihah A. Wahid Hasyim: Muslimah
di Garis Depan, ia banyak disibukan oleh dinamika sosial dan politik
seperti awal pembentukan NU sebagai organisasi Islam.
Dalam
catatan Aziz Masyhuri disebutkan, ber–kat kegigihanya memperjuangkan perempuan
dalam pendidikan pesantren, KH. Bisri Syansuri dan istri–nya kemudian membuka
Madrasah Diniyah yang santrinya khusus perempuan, di tahun 1930.
Dalam
pendidikan pesantren perempuan, KH. Bisri Syansuri memberikan identitas
tersendiri bagi para santri perempuannya yaitu mengenakan atasan berupa kebaya
dan bawahan berupa jarik “sewek” atau sarung kemudian menggunakan kerudung
se–bagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselem–pangkan.
Model berpakaian yang demikian ini,
menurut Dahlan, merupakan kebiasaan yang digunakan oleh Nyai Hj. Chodijah, yang
kemudian dipakai sebagai acuan para santri perempuannnya dalam melaksa-nakan
pendidikan di pesantren. Ini menandakan adanya identitas baru untuk kaum
perempuan dalam pesantren. Sehingga identitas tersebut menjadi khas dikalangan
pesantren.
No comments:
Post a Comment