Thursday, January 10, 2019

pesantren perempuan pertama


Perintisan Pesantren Perempuan

KH. Bisri Syansuri dan Hj. Chodidjah mem–buat keputusan berani dengan membuka kelas khu–sus perempuan, sekitar tahun 1920 di Pondok Pesantren Denanyar. Menurut pengakuan Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, langkah ini yang pertama di kawasan Jawa Timur. “Santrinya adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda belakang rumah beliau,” kata Aisyah Hamid, di kediamannya, 31 Oktober 2012.
Langkah penting ini adalah percobaan pertama di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur,” demikian tulis Gus Dur.
Langkah yang dianggap kurang sesuai di mata ulama pesantren itu, juga tidak luput dari penga–matan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga pada suatu hari sang guru datang melihat sendiri per–kembangan yang terjadi di pesantren bekas murid–nya itu. Walaupun tidak memperoleh izin spesifik dari sang guru. KH. Bisri Syansuri memilih melan–jutkan pengajaran itu, karena juga tidak ada larangan datang dari guru yang ditundukinya.
Ketetapan hatinya untuk meneruskan perco–baan adalah suatu perubahan sikap cukup besar dalam diri KH. Bisri Syansuri. Diterimanya perem–puan menjadi santri dalam sebuah pesantren, waktu itu bukanlah hal yang lazim dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Perlahan namun pasti, pesantren yang diasuh oleh Kiai Bisri mengalami perkembangan cukup pesat.
KH. Bisri Syansuri kemudian membagi wewe–nang pengawasan terhadap para santri. Bisri harus mengasuh dan memberi pelajaran sehari-hari kepa–da santri putra, sementara istrinya, Hj. Chodidjah, mendapat wewenang untuk mengawasi santri putri.
Pembagian wewenang di atas bukan semata-mata disebabkan oleh perkembangan pesantrennya saja, melainkan juga karena perhatian KH. Bisri Syansuri, yang mulai tersita. Pada masa ini, sebagai–mana dikisahkan Dahlan dalam buku Sholihah A. Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan, ia banyak disibukan oleh dinamika sosial dan politik seperti awal pembentukan NU sebagai organisasi Islam.
Dalam catatan Aziz Masyhuri disebutkan, ber–kat kegigihanya memperjuangkan perempuan dalam pendidikan pesantren, KH. Bisri Syansuri dan istri–nya kemudian membuka Madrasah Diniyah yang santrinya khusus perempuan, di tahun 1930.
Dalam pendidikan pesantren perempuan, KH. Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santri perempuannya yaitu mengenakan atasan berupa kebaya dan bawahan berupa jarik “sewek” atau sarung kemudian menggunakan kerudung se–bagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselem–pangkan.
Model berpakaian yang demikian ini, menurut Dahlan, merupakan kebiasaan yang digunakan oleh Nyai Hj. Chodijah, yang kemudian dipakai sebagai acuan para santri perempuannnya dalam melaksa-nakan pendidikan di pesantren. Ini menandakan adanya identitas baru untuk kaum perempuan dalam pesantren. Sehingga identitas tersebut menjadi khas dikalangan pesantren.

No comments: