Tradisi
Perempuan dalam Pesantren
Perempuan pada awalnya adalah kelompok yang asing bagi
pesantren, bahkan kehadirannya dalam pesantren dianggap sebagai tabu oleh para
kiai. Ini diperlihatkan bahwa pada masa awal, yang banyak menimba ilmu di
pesantren adalah laki-laki saja, karena kebanyakan pendidikan pesantren hanya
diberikan untuk laki-laki dan belum ada pendi–dikan pesantren untuk perempuan.
Greg Barton, dalam buku Biografi Gus Dur menuliskan
bahwa pada tahun 1917, KH. Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari ibu,adalah kiai
yang pertama kali mengenalkan kelas putri ke dunia pesantren. Dalam proses dan
sistem pelajaran, pesantren masih memiliki kesan bias gender. Secara
kelembagaan pesantren masih menerapkan sistem segregatif, memisahkan ruang
perempuan dan ruang laki-laki dengan dalih agama.
Segregasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat
pembagian ruangan, tetapi juga pada tingkat keil–muan. Santri laki-laki dengan
kebebasannya yang lebih, biasanya mendapatkan kesempatan yang lebih untuk
mengakses informasi ilmu, dibandingkan de–ngan santri perempuan yang memang
sangat dibatasi.
Materi pendidikan yang didapatkan perempuan tidak
sepadat yang didapatkan laki-laki. Santri pe–rempuan secara keilmuan biasanya
lebih diarahkan kepada menghafal, misalnya, menghafal Al-Qur'an, dari pada ke
arah menganalisis. Santri laki-laki belajar ilmu-ilmu alat (Sharaf, Nahwu,
Bahasa Arab, Mantiq, Balaghah, dan lain sebagainya), santri pe–rempuan belajar
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ubudiyah, dan juga kepada suaminya
kelak, misalnya belajar Fiqh dan ilmu Akhlak.
Pada umumnya kitab kuning diajarkan secara sama, baik
untuk santri laki-laki maupun santri perempuan. Hampir tidak ada kurikulum yang
di–buat khusus untuk perempuan. Semua kurikulum mengacu pada kitab-kitab kuning
yang isinya ber–laku umum, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Kitab kuning ini, terutama kitab fiqih, memuat banyak
bidang kajian, diantaranya: bidang ubudiyah (yaitu masalah-masalah yang
berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa, zakat dan haji), hukum keluarga (family/personal
law), yaitu masalah-masalah tentang nikah, talak, rujuk, waris, dan
sebagainya, muamalah (hukum pidana), ath’imah/adzabiah (maka–nan
dan binatang sembelihan) sampai pada bidang qadha’ (peradilan) dan jihad
yang lebih berarti perang fisik.
Secara umum, bidang
ibadah paling sering dipelajari adalah semua kitab fiqh aliran Syafi’i dimulai
dari masalah ibadah. Ibadah merupakan seperempat dari seluruh isi kitab fiqh.
Porsi kedua yang lebih besar adalah materi akhlaq dan tasawuf. Oleh karena itu,
maka mata pelajaran yang sebe–narnya secara khusus menjadi fokus perempuan,
seperti haid (menstruasi), menyusui, dan masalah-masalah reproduksi
lainnya dipelajari juga secara bersama-sama, laki-laki dan perempuan.
No comments:
Post a Comment