Friday, January 11, 2019

tradisi pesantren perempuan


Tradisi Perempuan dalam Pesantren

Perempuan pada awalnya adalah kelompok yang asing bagi pesantren, bahkan kehadirannya dalam pesantren dianggap sebagai tabu oleh para kiai. Ini diperlihatkan bahwa pada masa awal, yang banyak menimba ilmu di pesantren adalah laki-laki saja, karena kebanyakan pendidikan pesantren hanya diberikan untuk laki-laki dan belum ada pendi–dikan pesantren untuk perempuan.
Greg Barton, dalam buku Biografi Gus Dur menuliskan bahwa pada tahun 1917, KH. Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari ibu,adalah kiai yang pertama kali mengenalkan kelas putri ke dunia pesantren. Dalam proses dan sistem pelajaran, pesantren masih memiliki kesan bias gender. Secara kelembagaan pesantren masih menerapkan sistem segregatif, memisahkan ruang perempuan dan ruang laki-laki dengan dalih agama.
Segregasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat pembagian ruangan, tetapi juga pada tingkat keil–muan. Santri laki-laki dengan kebebasannya yang lebih, biasanya mendapatkan kesempatan yang lebih untuk mengakses informasi ilmu, dibandingkan de–ngan santri perempuan yang memang sangat dibatasi.
Materi pendidikan yang didapatkan perempuan tidak sepadat yang didapatkan laki-laki. Santri pe–rempuan secara keilmuan biasanya lebih diarahkan kepada menghafal, misalnya, menghafal Al-Qur'an, dari pada ke arah menganalisis. Santri laki-laki belajar ilmu-ilmu alat (Sharaf, Nahwu, Bahasa Arab, Mantiq, Balaghah, dan lain sebagainya), santri pe–rempuan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ubudiyah, dan juga kepada suaminya kelak, misalnya belajar Fiqh dan ilmu Akhlak.
Pada umumnya kitab kuning diajarkan secara sama, baik untuk santri laki-laki maupun santri perempuan. Hampir tidak ada kurikulum yang di–buat khusus untuk perempuan. Semua kurikulum mengacu pada kitab-kitab kuning yang isinya ber–laku umum, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Kitab kuning ini, terutama kitab fiqih, memuat banyak bidang kajian, diantaranya: bidang ubudiyah (yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa, zakat dan haji), hukum keluarga (family/personal law), yaitu masalah-masalah tentang nikah, talak, rujuk, waris, dan sebagainya, muamalah (hukum pidana), ath’imah/adzabiah (maka–nan dan binatang sembelihan) sampai pada bidang qadha’ (peradilan) dan jihad yang lebih berarti perang fisik.

Secara umum, bidang ibadah paling sering dipelajari adalah semua kitab fiqh aliran Syafi’i dimulai dari masalah ibadah. Ibadah merupakan seperempat dari seluruh isi kitab fiqh. Porsi kedua yang lebih besar adalah materi akhlaq dan tasawuf. Oleh karena itu, maka mata pelajaran yang sebe–narnya secara khusus menjadi fokus perempuan, seperti haid (menstruasi), menyusui, dan masalah-masalah reproduksi lainnya dipelajari juga secara bersama-sama, laki-laki dan perempuan.

No comments: