Thursday, December 6, 2018

Pendiri pesantren denanyar (part 5)

        KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah merupakan pasangan yang saling melengkapi satu sama lain, terutama dalam mengasuh dan menjalan–kan pesantren yang didirikannya.Dalam hal pendidikan kepada putra dan put–rinya, KH. Bisri Syansuri bersama Nyai Hj. Cha–didjah melakukan pendidikan langsung dan intensif. Sebagaimana penuturan Hj. Muhassonah, cucu KH. Bisri Syansuri, pola asuh yang intensif dan langsung ini yang dikemudian hari turut membentuk generasi Mambaul Ma’arif dalam pengasuhan pesantren.



     
      “Konsep Islam yang ditanamkan Kiai Bisri Syansuri memberikan pengaruh besar terhadap kelangsungan pondok pesantren yang didirikannya,” tutur Muhassonah di sela-sela acara bedah buku pada 29 April 2014 di Komplek Pesantren Mambaul Ma’arif, Jombang.
Nyai Hj. Chodidjah, perempuan ulet dan tang–guh ini juga berperan dalam keputusan KH. Bisri Syansuri untuk mendirikan pondok pesantren putri di Denanyar. Atas dukungan moralnya, ia kemudian diberi wewenang untuk mengelola dan memberikan pendidikan agama kepada santri putri di pesantren tersebut. Oleh karena itu, Nyai Hj. Chodidjah juga merupakan pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif di Denanyar Jombang.
           
             Demikianlah KH. Bisri Syansuri, Kiai yang teguh dan adaptif dalam pembangunan pesantren
dan masyarakat sekitarnya. Ia hadir menjadi petanda yang cukup kukuh di tengah kehidupan masyarakat Denanyar yang selalu dihantui dengan kriminalitas.Pesantren Mambaul Ma’arif kian pasti menatap masa depan, sebagai wadah pendadaran ilmu agama. Pesantren ini, dibawah asuhan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Chadidjah berkembang cukup pesat.Seiring dengan berkembangnya pesantren, KH. Bisri Syansuri juga mulai sibuk memberi pengajian bagi masyarakat sekitar, dan berkembang ke wilayah yang lebih luas. Ia menjadi tersohor dan banyak memberi wejangan keagamaan bagi masyarakat. Kip–rahnya tak hanya di Jombang, melainkan meluas hingga ke ibukota, Jakarta.

            Seiring dengan kesibukannya, anak pertama, Achmad Athoillah, selanjutnya turut ambil bagian dengan membantu KH. Bisri Syansuri mengurusi pesantren. Tak jarang ia menggantikan posisi kepe–ngasuhan ayahnya dalam mengembangkan pondok pesantren Mambaul Ma’arif. Ini ia lakukan jika sang Ayah berhalangan melakukan tugasnya ke luar pesantren.

          Peran anak pertama ini juga signifikan. Selain mengurusi kelancaran ngaji di pesantren, Achmad Athoillah juga diberi tanggungjawab untuk mengu–rusi sawah yang dimiliki KH. Bisri Syansuri. Sawah ini digunakan untuk pendanaan pondok pesantren.
Tahun 1958 merupakan tahun berkabung bagi keluarga besar Mambaul Maarif. Nyai Hj. Chadidjah wafat. Sebagai salah seorang pendiri pesantren, kapundutnya juga berarti kehilangan yang mendalam bagi para santri dan masyarakat sekitar.

             Namun, masa berkabung ini tak lama, kondisi pesantren yang membutuhkan sentuhan seorang pe-rempuan juga menjadi pertimbangan bagi KH. Bisri Syansuri untuk menikah lagi. Pesantren juga butuh diasuh oleh tangan lembut dan dingin seorang perempuan.Selang beberapa lama, KH. Bisri Syansuri me–nikah lagi dengan Nyai Maryam Mahmud dari Jember dan sudah membawa anak yang bernama Arifin Khan. Jadi bisa dikatakan dalam pernika–hannya yang kedua ini, KH. Bisri Syansuri tidak mempunyai keturunan dari istri keduanya. Kehadi–ran Nyai Maryam Mahmud ini sekaligus juga meng–gantikan peran Hj. Chodidjah sebagai pengasuh Pondok Pesantren perempuan di Denanyar.

            Mambaul Maarif, sebuah pesantren yang berdiri tak jauh dari Tambak Beras, adalah pesan–tren rintisan dan hasil jerih payah dari KH. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Cadidjah. Dengan sikap disiplin, tawadhu’ dan saling melengkapi antar suami istri, pesantren ini kemudian diminati banyak orang sebagai tempat mengaji dan belajar ilmu agama. Itu semua, juga tak lepas dari dukungan KH. Has–bullah, sang mertua di Tambak Beras dan KH. Hasyim Asy’ari, sang Kiai di Tebuireng. 

No comments: