1.
Pandangan / Pemikiran
Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan dua puluh satu
kebudayaan yang sempurna dan Sembilan kebudayaan yang kurang
sempurna.Kebudayaan sempurna umpamanya Yunani-Roma, Maya (Amerika Serikat),
Hindu, Barat, Eskimo, Sparta, Polynesia, dan Turki.Kesimpulan A.J Tyonbee ialah
dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur
timbul tenggelamnya kebudayaan dengan pasti. (Moh Ali, 2102 : 95)
Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbeeialah wujud daripada kehidupan suatu
golongan seluruhnya, yaitu seperti yang disebut oleh Spengler sebagai kultur
dan zivilisation.
Menurut Toynbee, gerak sejarah berjalan melalui
tingkatan-tingkatan seperti berikut :
a.
Genesis of civilization atau lahirnya kebudayaan
b.
Growth of civilization atau perkembangan kebudayaan
c.
Decline of civilization atau keruntuhan kebudayaan
1)
Breakdown of civilization atau kemrosotan kebudayaan
2)
Disintegration of civilization atau kehancuran kebudayaan
3)
Dissolution of civilization atau hilang dan lenyapnya
kebudayaan
(Moh Ali,
2012:95)
Suatu kebudayaan terjadi, dilahirkan karena tantangan dan
jawaban (challenge and response) antara manusia dan alam sekitar.Dalam alam
yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudyaan seperti di Eropa,
India dan Tiongkok.Didaerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia
membeku (Eskismos), di darah yang terlalu panas tak dapat timbul pula suatu
kebudyaan (Sahara, Kalahari, Gobi).Maka apabila tantangan ekstrem ini tidak
ditemukan dalam suatu wilayah, maka dapat melahirkan suatu kebudyaan.
Pertumbuhan dan perkembagan suatu kebudyaan di gerakkan
oleh sebgian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Jumlah kecil (minoritas) itu
menciptakan kebudyaan, dan massa (mayoritas) meniru. Tanpa minoritas yang kuat dan
dapat mencipta, suatu kebudaan tidak dapat berkembang.
Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya
menciptanya, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan
tidak dapat lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, maka keruntuhan
(decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu :
a.
Kemerosotan kebudayaan
Minoritas
kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak
lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan di dalam kebudayaan (antara
minoritas dan meyoritas) pecah dan tentulah tunas-tunas hidupnya kebudayaan
akan lenyap.
b.
Kehancuran kebudayaan
Masa ini
mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan
terhenti.Seteah pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya hidup itu membeku
dan terdapatlah suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa
ini sebagai petrification, pembatuan
atau kebudayaan yang sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil
c.
Lenyapnya kebudayaan
Masa ini
terjadi apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur, lenyap.
(Moh Ali,
2012:96)
Tiga masa ini, yaitu breakdown,
disintegration, dissolution tidak berlangsung berturut-turut dengan
cepat.Antara breakdown dengan dissolution sering terbentang masa 2000 tahun,
masa peralihan itu ialah masa-masa pembatuan itu. Kebudayaan Tiongkok kuno, umpamanya
berada dalam masa petrification itu “menunggu” masa dissolution
Pada masa breakdown sebelum masa
disintegration timbul sering terdapat suatu usaha untuk menghentikan kehancuran
usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai
Al-Masih. Akan tetapi, perjuangan para Al-Masih itu tidak berhasil sama sekali.
Suatu usaha untuk menghentikan
keruntuhan suatu kebudyaan yang mungkin berhasil merupakan pergantian segala
norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Maka dengan pergantian itu
tampaklah bawa tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau lebih
kongkret : kerajaan Allah menurut paham Prostestan Inggris : mengetahui
kehendak Allah dan wujud daripada kehendak itu dalam sejarah agar dapat
lebih-lebih mencintai Tuhan.Dengan demikian, jelaslah bahwa garis besar
daripada teori Toynbee mirip dengan tafsiran Santo Agustinus. Akhir dari gerak
sejarah pun sama : Civitas Dei. (Moh Ali, 2012:97)
Toynbee dalam metode kajian sejarah juga sependapat dengan
Spengler mengenai kebudayan-kebudayaan. Toyn bee hampir sependapat dengan
Spengler mengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan suatu masyarakat
yang terdiri atas berbagai kelompok
yang memiliki karakteristik cultural khusus,
tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafilasi atau system internasional
yang mereka ikut, yaitu suatu sistem
yang pada hakikatnya didasarkan pada kondisi-kondisi dominasi
Barat atas berbagai tupe sisempolitik
yang berkembang pada zaman modern.
Ini berarti bahwa kesatuan historis,
menurutnya sebagaimana menurut
Spengler bukanlah umat manusia seluruhnya atau kawasan kawasan politik ataupun kesatuan-kesatuan nasional. Ia merupakan sejumlah kelompok manusia
yang kita sebut dengan masyarakat cultural atau kesatuan kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya. Dengan demikian,
Toyn bee seiring dengan Spengler
dalam penolakan terhadap metode tradisional
yang terkenal dari para sejarawan terdahulu.Yaitu suatu metode
yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai kutub tetap
yang menjadi ukuran kebudayaan-kebudayaan lainnya. Akan tetapi,
Toynbee berpendapat bahwa pola-pola kebudayaan
yang dikajinya- jumlahnya ada delapan-
tidak cukup bias mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah
yang benar. Oleh karena itu, Toyn bee pun
berupaya mengkaji lima masyarakat
yang ada masa kini, yaitu masyarakat
Kristen Barat, masyarakat Kristen timur
(Byzantium) masyarakat India, masyarakat Timur Jauh dan masyarakat
Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan masyarakat
yang telah mati yang tidak jelas kepribadiannya,
misalnya kaum Yahudi.
(Hasbullah, 2012:149-151)
Menurut Toynbee, ide
yang mendominasi pemikiran banyak sejarawan
Barat itu ditegakkan diatas tiga ilusi,
yaitu cinta diri yang
mendominasi orang orang Barat, ide timur yang mandek dan pendapat tentang kemajuan sebagai gerak yang
membentuk suatu garis yang
selalu lurus. Dari sini Toynbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektifatas semua kebudayaan tanpa pengunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat. Karena kebudayaan barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-kebudayaan seperti menurut banyak sejarawan Barat.Toyn bee juga menambahkan jika tidak adanya pengaruhnya ras dalam bangunan kebudayaan. Apabila Toynbee
menolak ide ras dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan sejarah
manusia, ia juga menolak ide lingkungan geografis dan dampaknya atas
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan sejarah manusia. Sebab, bukti-bukti
yang ada tidak menunjukkan adanya hubungan lingkungan geografis dan kebudayaan
yang timbul didalamnya. Adapun factor positif
yang benar2 berperan menciptakan kebudayaan,
menurut Toyn bee adalah factor tantangan dan respons. Hal ini karena penciptaan pada dasarnya merupakan hasil pertemuan berbagai upaya manusia,
dan permulaan kebudayaan merupakan hasil interaksinya. Jadi kondisi kondisi
yang sulit lah, bukan yang membuatkan tegaknya kebudayaan berbagai bangsa sebab kemudahan adalah musuh kebudayaan. Sementara lingkungan alam
yang sulit merupakan rangsangan terbesar kearah kebudayaan dan rangsangan itu semakin meningkat dengan semakin sulitnya lingkungan
yang ada. (Hasbullah, 2012:151-153)
Beralih pada filsafat Tyonbee mengenai keruntuhan
kebudayaan.Toynbee berpendapat bahwa kehancuran kebudayaan terjadi karena
ketiadaan tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat,
yaitu kelompok minoritas yang biasnya memimpin kelompok mayoritas yang tidak
kreatif. Ketiadaan tenaga kreatif itu membuat kelompok mayoritas merasa enggan
untuk mengikuti kelompok minoritas.Akibatnya, ketepersoalan kelompok mayoritas
kepada kelompok minoritas yang unggul menjadi pudar dan kesetiaan kelompok
pertama dan kelompok terakhirpun sirna.Akan tetapi, analisis tentang faktor-faktor
terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat yang hampir runtuh itu membuat
timbulnya suatu pertanyaan yang pada hakikatnya merupakan substansi persoalan
keruntuhan kebudayaan versi Tyonbee. (Hasbullah, 2012:154)
Toynbee mengemukakan suatu bahasan tentang psikologi
runtuhnya kebudayaan-kebudayaan yang didsarkanpada analisis mengenai watak
kreatifitas waasan psikologis dari segi hubungan seseorang yang melahirkan
suatu kreasi dengan para pengagumnya dan dan dampaknya tas upaya raksasanya.
Apabila kreatifitas pertama merupakan suatu salah satu bentuk jawaban seseorang
melahirkan kreasi itu terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat, keburukan
kreativitas terletak pada keterpersonaan para pengagumnya yang mencapai tingkat
pengutusan.Dalam kedaan demikian, tenag-tenaga yang tersembunyi tidak mampu
melahirkan kekuatan-kekuatan raksasa dan kreatifitas tetap diwarnai dengan
kesungguhan dan orisinalitas.Rahasia keberhasilannya pada fase pertama menjadi
hambatan baginya untuk tetap berkreasi. Ini karenatimbulnya kondisi-kondisi
baru dan ia tidak memiliki apa yang bisa disajikan pada para pengagumnya lagi,
kecyali dengan mengukang-ulang keberhasilannya yang sebelumnya. Padahal
kebutuhan baru selalu timbul, tetapi ia tidak mampu menyajikan kreasi baru kepada
mereka. Hal ini juga akan menghalangi timbulnya kreativitas baru dari generasi
kedua. Itulah keburukan kreativitas , yaitu kemandekan dari pribadi yang
kreatif dan kekaguman dari kultur individu dari para pengagum. (Hasbullah,
2012:155)
Demikianlah interprestasi Toynbee tentang keruntuhan
kebudayaan, yaitu dengan terjadinya disintegrasi masyarakat dari dalam sebelum
terjadinya invasi dari luar untuk menghancurkannya.Ini karena dalam kondisi
demikian, invasi luar bukanlah merupakan ukulan terakhir yang mematikan bagi
suatu masyarakat.Oleh karena itu Toynbee tidak meamndang penting faktor-faktor
eksternal dalam runtuhnya kebudayaan.Jadi runtuhnya kebudyaan pertama-tama
bukanlah merupakan suatu incidental yang didasarkan pada fakto kebetulan atau
takdir yang pada akhirnya kita dapat mengatkan seperti pendapat ahli huum
ketika mereka kekurangn bukti bahwa suatu peristiwa itu tidak diketahui
pelakunya. Keruntuhan ini juga tidak bisa dituduhkan kepada hilangnya kemampuan
untuk mengendalikan lingkungan, atau kemunduran
dari sistem-sitem industry atau teknologi atau bahkan pada invasi luar
yang menghancurkan. (Hasbullah, 2012: 156)
Toynbee menguraikan kondisi tersebut memakai dua
terminoligi Cina, yaitu terminology yin dan yang. Kondisi yin adalah kondisi
kemandekan, sedangkan kondisi yan adalah kondisi gerak maju.Dengan demikian
menurut Toynbee sjarah manusia menjadi serangkain aksi dan reaksi secara yang
bersama-sama membentuk ritme teratur yang seakan-akan merpakan denyut yang
mengalir dalam alam ini.Dengan demikian sejarah merupakan satu pengalaman yang
berlangsung dalam berbagai eriode atau daur, dan semua kebudyaan yang
dikajikannya melalui periode-periode yang serupa pertumbuhan, kelangsungan
kemajuan, dan peningkatan kekuatannya.Setelah itu kebudyaan mengalami berbagi
kendala, baik dari dalam mauoun dari luar yang merefleksikan dalam berbagi
bentuk tantangan.Suatu kebudyaan adakalanya tidak mampu memberikan jawaban yang
berhasil terhadap tentangan-tantangan sehingga terjadilah keruntuhan dan
disintegrasi.Sebaliknya ada kebudyaan yang berhasil menghadapi tantangan
sehingga terjadilah kemajuan kesinambungan sampai masa tertentu. Akan tetapi
pada akhirnya, keruntuhan suatu kebudayaan menurut Toynbee bukanlah merupakan
keburukan mutlak sebab semua pengalaman kebudayaan terdahulu, dalam bentuk
lainnya akan terefleksikan dakam kebudayaan baru. (Hasbullah, 2012:156-157)
Dari sinilah Toynbee berpendapat bahwa sejarah tidak
mengenal suatu kebudayaan yang sirna sepenuhnya.Hal yang etrjadi pada umumnya
dalah kebudayaan itu, setelah purna daurnya ditangan suatu bangsa, menjadi
renta, membeku, dan kemudian unsur-unsurnya memencar pada suatu bangsa atau
bangsa-bangsa, kemudin timbul suatu kebudyaan atau berbagai kebudyaan baru.
(Hasbullah, 2012 : 157).
2.
Kesimpulan
- Pola atau Irama gerak : Spiral
b.
Motor Penggerak :
masyarakat
kultural, faktor tantangan dan respons tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat
- Arah dan Tujuan : Civitas Dei
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah M, S. 2012. Filsafat Sejarah.
Bandung : CV
Pustaka Setia.
Ali, M.
2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta.
PT LKiS Pelangi Aksara
Tamburaka, R. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan IPTEK. Jakarta.
PT Rineka Cipta
Husodo, Purwo. 2018. Keruntuhan
Peradaban Barat Menutrut Oswald Spengler.
Universitas
Andalas. Vol 7
No comments:
Post a Comment