Friday, November 23, 2018

PANDANGAN OSWALD SPENGLER DAN ARNOLD J. TOYNBEE (Part II)

            PANDANGAN OSWALD SPENGLER DAN ARNOLD J. TOYNBEE (Part II)


1.      Pandangan / Pemikiran
Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan dua puluh satu kebudayaan yang sempurna dan Sembilan kebudayaan yang kurang sempurna.Kebudayaan sempurna umpamanya Yunani-Roma, Maya (Amerika Serikat), Hindu, Barat, Eskimo, Sparta, Polynesia, dan Turki.Kesimpulan A.J Tyonbee ialah dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan dengan pasti. (Moh Ali, 2102 : 95)
Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbeeialah wujud daripada kehidupan suatu golongan seluruhnya, yaitu seperti yang disebut oleh Spengler sebagai kultur dan zivilisation.
Menurut Toynbee, gerak sejarah berjalan melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut :
a.       Genesis of civilization atau lahirnya kebudayaan
b.      Growth of civilization atau perkembangan kebudayaan
c.       Decline of civilization atau keruntuhan kebudayaan
1)      Breakdown of civilization atau kemrosotan kebudayaan
2)      Disintegration of civilization atau kehancuran kebudayaan
3)      Dissolution of civilization atau hilang dan lenyapnya kebudayaan
(Moh Ali, 2012:95)
Suatu kebudayaan terjadi, dilahirkan karena tantangan dan jawaban (challenge and response) antara manusia dan alam sekitar.Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudyaan seperti di Eropa, India dan Tiongkok.Didaerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskismos), di darah yang terlalu panas tak dapat timbul pula suatu kebudyaan (Sahara, Kalahari, Gobi).Maka apabila tantangan ekstrem ini tidak ditemukan dalam suatu wilayah, maka dapat melahirkan suatu kebudyaan.
Pertumbuhan dan perkembagan suatu kebudyaan di gerakkan oleh sebgian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Jumlah kecil (minoritas) itu menciptakan kebudyaan, dan massa (mayoritas) meniru. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudaan tidak dapat berkembang.
Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas  minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak dapat lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa, yaitu :
a.       Kemerosotan kebudayaan
Minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan di dalam kebudayaan (antara minoritas dan meyoritas) pecah dan tentulah tunas-tunas hidupnya kebudayaan akan lenyap.
b.      Kehancuran kebudayaan
Masa ini mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti.Seteah pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan yang sudah menjadi batu, mati dan menjadi fosil
c.       Lenyapnya kebudayaan
Masa ini terjadi apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur, lenyap.
(Moh Ali, 2012:96)
            Tiga masa ini, yaitu breakdown, disintegration, dissolution tidak berlangsung berturut-turut dengan cepat.Antara breakdown dengan dissolution sering terbentang masa 2000 tahun, masa peralihan itu ialah masa-masa pembatuan itu. Kebudayaan Tiongkok kuno, umpamanya berada dalam masa petrification itu “menunggu” masa dissolution
            Pada masa breakdown sebelum masa disintegration timbul sering terdapat suatu usaha untuk menghentikan kehancuran usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Masih. Akan tetapi, perjuangan para Al-Masih itu tidak berhasil sama sekali.
            Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudyaan yang mungkin berhasil merupakan pergantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Maka dengan pergantian itu tampaklah bawa tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau lebih kongkret : kerajaan Allah menurut paham Prostestan Inggris : mengetahui kehendak Allah dan wujud daripada kehendak itu dalam sejarah agar dapat lebih-lebih mencintai Tuhan.Dengan demikian, jelaslah bahwa garis besar daripada teori Toynbee mirip dengan tafsiran Santo Agustinus. Akhir dari gerak sejarah pun sama : Civitas Dei. (Moh Ali, 2012:97)
            Toynbee dalam metode kajian sejarah juga sependapat dengan Spengler mengenai kebudayan-kebudayaan. Toyn bee hampir sependapat dengan Spengler mengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok yang memiliki karakteristik cultural khusus, tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafilasi atau system internasional yang mereka ikut, yaitu suatu sistem yang pada hakikatnya didasarkan pada kondisi-kondisi dominasi Barat atas berbagai tupe sisempolitik yang berkembang pada zaman modern. Ini berarti bahwa kesatuan historis, menurutnya sebagaimana menurut Spengler bukanlah umat manusia seluruhnya atau kawasan kawasan politik ataupun kesatuan-kesatuan nasional. Ia merupakan sejumlah kelompok manusia yang kita sebut dengan masyarakat cultural atau kesatuan kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya. Dengan demikian, Toyn bee seiring dengan Spengler dalam penolakan terhadap metode tradisional yang terkenal dari para sejarawan terdahulu.Yaitu suatu metode yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai kutub tetap yang menjadi ukuran kebudayaan-kebudayaan lainnya. Akan tetapi, Toynbee berpendapat bahwa pola-pola kebudayaan yang dikajinya- jumlahnya ada delapan- tidak cukup bias mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh karena itu, Toyn bee pun berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yaitu masyarakat Kristen Barat, masyarakat Kristen timur (Byzantium) masyarakat India, masyarakat Timur Jauh dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan masyarakat yang telah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya kaum Yahudi. (Hasbullah, 2012:149-151)
Menurut Toynbee, ide yang mendominasi pemikiran banyak sejarawan Barat itu ditegakkan diatas tiga ilusi, yaitu cinta diri yang mendominasi orang orang Barat, ide timur yang mandek dan pendapat tentang kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus. Dari sini Toynbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya  penilaian objektifatas semua kebudayaan tanpa pengunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat. Karena kebudayaan barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-kebudayaan seperti menurut banyak sejarawan Barat.Toyn bee juga menambahkan jika tidak adanya pengaruhnya ras dalam bangunan kebudayaan. Apabila Toynbee menolak ide ras dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan sejarah manusia, ia juga menolak ide lingkungan geografis dan dampaknya atas pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan sejarah manusia. Sebab, bukti-bukti yang ada tidak menunjukkan adanya hubungan lingkungan geografis dan kebudayaan yang timbul didalamnya. Adapun factor positif yang benar2 berperan menciptakan kebudayaan, menurut Toyn bee adalah factor tantangan dan respons. Hal ini karena penciptaan pada dasarnya merupakan hasil pertemuan berbagai upaya manusia, dan permulaan kebudayaan merupakan hasil interaksinya. Jadi kondisi kondisi yang sulit lah, bukan yang membuatkan tegaknya kebudayaan berbagai bangsa sebab kemudahan adalah musuh kebudayaan. Sementara lingkungan alam yang sulit merupakan rangsangan terbesar kearah kebudayaan dan rangsangan itu semakin meningkat dengan semakin sulitnya lingkungan yang ada. (Hasbullah, 2012:151-153)
Beralih pada filsafat Tyonbee mengenai keruntuhan kebudayaan.Toynbee berpendapat bahwa kehancuran kebudayaan terjadi karena ketiadaan tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat, yaitu kelompok minoritas yang biasnya memimpin kelompok mayoritas yang tidak kreatif. Ketiadaan tenaga kreatif itu membuat kelompok mayoritas merasa enggan untuk mengikuti kelompok minoritas.Akibatnya, ketepersoalan kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas yang unggul menjadi pudar dan kesetiaan kelompok pertama dan kelompok terakhirpun sirna.Akan tetapi, analisis tentang faktor-faktor terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat yang hampir runtuh itu membuat timbulnya suatu pertanyaan yang pada hakikatnya merupakan substansi persoalan keruntuhan kebudayaan versi Tyonbee. (Hasbullah, 2012:154)
Toynbee mengemukakan suatu bahasan tentang psikologi runtuhnya kebudayaan-kebudayaan yang didsarkanpada analisis mengenai watak kreatifitas waasan psikologis dari segi hubungan seseorang yang melahirkan suatu kreasi dengan para pengagumnya dan dan dampaknya tas upaya raksasanya. Apabila kreatifitas pertama merupakan suatu salah satu bentuk jawaban seseorang melahirkan kreasi itu terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat, keburukan kreativitas terletak pada keterpersonaan para pengagumnya yang mencapai tingkat pengutusan.Dalam kedaan demikian, tenag-tenaga yang tersembunyi tidak mampu melahirkan kekuatan-kekuatan raksasa dan kreatifitas tetap diwarnai dengan kesungguhan dan orisinalitas.Rahasia keberhasilannya pada fase pertama menjadi hambatan baginya untuk tetap berkreasi. Ini karenatimbulnya kondisi-kondisi baru dan ia tidak memiliki apa yang bisa disajikan pada para pengagumnya lagi, kecyali dengan mengukang-ulang keberhasilannya yang sebelumnya. Padahal kebutuhan baru selalu timbul, tetapi ia tidak mampu menyajikan kreasi baru kepada mereka. Hal ini juga akan menghalangi timbulnya kreativitas baru dari generasi kedua. Itulah keburukan kreativitas , yaitu kemandekan dari pribadi yang kreatif dan kekaguman dari kultur individu dari para pengagum. (Hasbullah, 2012:155)
Demikianlah interprestasi Toynbee tentang keruntuhan kebudayaan, yaitu dengan terjadinya disintegrasi masyarakat dari dalam sebelum terjadinya invasi dari luar untuk menghancurkannya.Ini karena dalam kondisi demikian, invasi luar bukanlah merupakan ukulan terakhir yang mematikan bagi suatu masyarakat.Oleh karena itu Toynbee tidak meamndang penting faktor-faktor eksternal dalam runtuhnya kebudayaan.Jadi runtuhnya kebudyaan pertama-tama bukanlah merupakan suatu incidental yang didasarkan pada fakto kebetulan atau takdir yang pada akhirnya kita dapat mengatkan seperti pendapat ahli huum ketika mereka kekurangn bukti bahwa suatu peristiwa itu tidak diketahui pelakunya. Keruntuhan ini juga tidak bisa dituduhkan kepada hilangnya kemampuan untuk mengendalikan lingkungan, atau kemunduran  dari sistem-sitem industry atau teknologi atau bahkan pada invasi luar yang menghancurkan. (Hasbullah, 2012: 156)
Toynbee menguraikan kondisi tersebut memakai dua terminoligi Cina, yaitu terminology yin dan yang. Kondisi yin adalah kondisi kemandekan, sedangkan kondisi yan adalah kondisi gerak maju.Dengan demikian menurut Toynbee sjarah manusia menjadi serangkain aksi dan reaksi secara yang bersama-sama membentuk ritme teratur yang seakan-akan merpakan denyut yang mengalir dalam alam ini.Dengan demikian sejarah merupakan satu pengalaman yang berlangsung dalam berbagai eriode atau daur, dan semua kebudyaan yang dikajikannya melalui periode-periode yang serupa pertumbuhan, kelangsungan kemajuan, dan peningkatan kekuatannya.Setelah itu kebudyaan mengalami berbagi kendala, baik dari dalam mauoun dari luar yang merefleksikan dalam berbagi bentuk tantangan.Suatu kebudyaan adakalanya tidak mampu memberikan jawaban yang berhasil terhadap tentangan-tantangan sehingga terjadilah keruntuhan dan disintegrasi.Sebaliknya ada kebudyaan yang berhasil menghadapi tantangan sehingga terjadilah kemajuan kesinambungan sampai masa tertentu. Akan tetapi pada akhirnya, keruntuhan suatu kebudayaan menurut Toynbee bukanlah merupakan keburukan mutlak sebab semua pengalaman kebudayaan terdahulu, dalam bentuk lainnya akan terefleksikan dakam kebudayaan baru. (Hasbullah, 2012:156-157)
Dari sinilah Toynbee berpendapat bahwa sejarah tidak mengenal suatu kebudayaan yang sirna sepenuhnya.Hal yang etrjadi pada umumnya dalah kebudayaan itu, setelah purna daurnya ditangan suatu bangsa, menjadi renta, membeku, dan kemudian unsur-unsurnya memencar pada suatu bangsa atau bangsa-bangsa, kemudin timbul suatu kebudyaan atau berbagai kebudyaan baru. (Hasbullah, 2012 : 157).
2.      Kesimpulan
  1. Pola atau Irama gerak : Spiral
b.      Motor Penggerak         : masyarakat kultural, faktor tantangan dan respons tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat
  1. Arah dan Tujuan         : Civitas Dei


DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah M, S. 2012. Filsafat Sejarah. Bandung : CV Pustaka Setia.
Ali, M. 2012. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta. PT LKiS Pelangi Aksara
Tamburaka, R. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan IPTEK. Jakarta. PT Rineka Cipta
Husodo, Purwo. 2018. Keruntuhan Peradaban Barat Menutrut Oswald Spengler.
 Universitas Andalas. Vol 7

No comments: