Wednesday, November 28, 2018

cerita kiyai bisri syansuri (nyantri ke kiyai kholil) part 1

Nyantri ke Syaichona Kholil dan Kiai Oemar  (part 1)


          Tahun 1906 adalah perjalanan terpanjang per–tama yang dilalui Bisri. Berbekal ilmu dan nasihat guru-gurunya di Pati, Bisri kemudian ingin meng–inisiasikan keilmuannya dengan ulama besar pada zaman itu, yaitu Kiai Khalil Bangkalan.

        Kiai Khalil adalah ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua Kiai yang terpandang di seluruh Jawa waktu itu. Beliau lahir pada 11 Jamadil Akhir 1235 (27 Januari 1820) di Bangkalan, Madura. Selain penghafal al Qur'an (hafizh), juga mampu menguasai qiraah tujuh (tujuh cara membaca Al-Qur'an). Pada tahun 1276 H/1859 M, Kiai Kholil belajar di Mekkah. Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi yang termasuk ulamak dari sumbawa tepatnya di bima.

     Kiai Khalil wafat pada usia 106 tahun (29 Ramadan 1343 atau 14 Mei 1925). Beliau adalah perwujudan dari sebuah proses yang telah ber–langsung lebih setengah abad lamanya. Proses tersebut adalah tanda munculnya ulama-ulama terkenal di kalangan 'Santri Jawi' atau di sebut juga dengan santri dari kalangan orang jawa yang berasal dari kawasan Asia Tenggara sejak pertengahan abad kesembilan belas di Mekkah.

       Menurut Gus Dur, pada saat itu di semenan–jung Arabia sedang terjadi sebuah proses dialog intensif, antara orientasi keagamaan lama dan tun–tutan akan pemurnian ajaran agama yang diajukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah tradisi keilmuan yang baru, yaitu penegasannya kembali otoritas fiqh dari aspek-aspek lain dari kehidupan beragama Islam.

        Tradisi kekiaian jenis baru muncul, yaitu dari lingkungan mereka yang memeriksa kembali pola pendalaman ilmu-ilmu agama Islam yang sudah cu–kup lama berjalan di kalangan pesantren. Ilmu-ilmu seperti kanuragan (kekebalan) dan lain-lain, yang dipergunakan untuk memperkuat tubuh dengan tenaga supernatural, ditundukkan kepada pengara–han kembali oleh metode berpikir keagamaan yang berlandaskan pada fiqh dan peralatannya.

        Muncullah generasi baru para ulama fiqh yang tangguh di Mekkah, yang berasal dari kawasan Asia Tenggara, diantaranya Kiai Nawawi Banten, Syekh

     Mahfudz At Tirmasy, Kiai Sholeh Darat dan Kiai Khalil Bangkalan yang berhasil menggabungkan kedua kecenderungan fiqh dan tarekat dalam di–rinya, dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fiqh. Tidak heran jika pesantren beliau sangat terkenal untuk menjadi tempat utama mencetak calon kiai di masa depan, dan karena itu pulalah pemuda Bisri pada usia belasan tahun itu belajar di Bangkalan.

          Meskipun jarak yang ditempuh sekitar 281 KM, apalagi ditengah pergolakan membangun identitas kebangsaan di bawah koloni Belanda, tidak menyu–rutkan niat Bisri nyantri di Bangkalan. Kepada Kiai Kholil, Bisri mempelajari ilmu nahwu dan shorof sebagai pendukung ilmu al Qur’annya.
        Dalam buku Ensiklopedi Ulama Nusantara dise–butkan, pengembaraan Bisri ke Madura ini adalah untuk mendalami ilmu agama pada KH. M. Kholil di Demangan, Bangkalan. Di pesantren ini ia mem–pelajari ilmu Nahwu dan Shorof sebagai pendukung ilmu al Qur’annya.

      Layaknya di tempat baru, pertemanan Bisri juga semakin luas. Ia bertemu dengan berbagai karakter remaja lainnya. Di tempat ini ia belajar, melatih diri, mendisipinkan

berikut adalah kisah lanjtan kiyai bisri syansuri part 2

No comments: