Wednesday, November 28, 2018

cerita kiyai bisri syansuri (nyantri ke kiyai kholil bangkalan) part 2

         kisah ini adalah lanjutan dari kisah sebelummnya jadi bila teman-teman belum membaca kisah sebelumnya bisa membaca terlebih dahulu kisah kiyai bisri samsuri nyantri ke kiyai kholil (part 1)




       Pertemanan ini juga, yang kelak mengasah ke–pekaannya secara sosial. Di pesantren ini ia tumbuh menjadi remaja yang peduli, gemar berbagai danmempelajari apa saja dari berbagai hubungannya dengan orang lain.Memang, sejatinya pesantren adalah proses gulo-wentah yang tak parsial. Pesantren bisa hadir sebagai tempat yang sempurna dalam mendisiplinkan dan mendidik pola interaksi sosial. Suka, duka, pilu, riang dan sejenis perasaan lainnya, dapat diperoleh di tempat yang bernama pesantren ini: mereka hi–dup bersama membangun cita-cita dan perwujudan masyarakat islami; mereka juga menjalani berbagai penempahan ilmu dan membangun misi terhadap kecemerlangan syiar Islam.

          Hal yang spesial bagi Bisri tatkala di pesantren Syaichona Kholil adalah pertemuannya dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang santri dari Jombang. Catatan Gus Dur menyebutkan, jalinan hubungan itu kemudian menjadi tonggak penting bagi tum–buhnya perjalanan agama Islam beberapa puluh tahun setelah itu, di Indonesia.

          Dalam hubungan pertemanan tersebut, Wahab juga berpengaruh dalam pembentukan karakter Bis–ri Syansuri dalam proses bejalar agama. Ini adalah bagian dari cikal bakal, dimana Islam dalam kurun puluhan tahun setelahnya, terbentuk.

          Setahun berada di Madura membuat Bisri tak lantas merasa puas, ia kemudian melanjutkan pe–ngembaraan pencarian ilmunya. Setelah selesai mempelajari ilmu Nahwu dan Shorofnya di Dema–ngan, Bangkalan, Bisri remaja meneruskan pendi–dikan ilmu Nahwu dan Shorofnya ke daerah Jawa
bagian tengah, tepatnya di daerah Sarang Kabu–paten Rembang Jawa Tengah. Ia berguru pada KH. M. Oemar pada tahun 1907.

         Dalam kitab Tarajum Masayikh al ma’ahid ad Diniyah bi Sarang al Qudama, Kiai Oemar bin Harun adalah salah seorang kiai dari Sarang yang lahir pada 1270 H/1855 M dan wafat 1328 H/1910 M. Kiai Oemar sendiri pernah nyantri kepada Kiai Ghozali Sarang, Kiai Syarbini Sedan Rembang, Kiai Kafrowi Merakurak Tuban, dan Kiai Sholeh Langitan Tuban. Kiai Oemar juga pernah nyantri di Mekkah, berguru kepada Syekh Nawawi bin Umar al Bantani dan Syekh Abu Bakar Asy Syatta (w 1310 H/1892 M). Syekh Abu Bakar adalah ulama Mekkah yang terkenal pada zamannya dan menjadi guru para ulama Indonesia, seperti Syaikh Mahdufz at Turmusi.

        Selain Bisri Syansuri, santri-santri Kiai Oemar adalah Kiai Kholil bin Harun Kasingan Rembang, Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz (Lasem), Kiai Muhaimin bin Abdul Aziz (Lasem), Kiai Munawwar (semarang), Kiai Zuhdi (Pekalongan), Kiai Suyuti bin Abdul Aziz Rembang, Kiai Bajuri Rembang, dan Kiai Hasbullah Sholeh Langitan. Santri-santri tersebut tentu saja menjadi bagian penting dari jejaring Bisri di kemudian hari.

        Kepada Kiai Oemar Sarang, Bisri mengaji dan menghafalkan Alfiyah, serta mengaji kitab Fathu al Wahhab dan Fathu al Mu’in. Sebenarnya, seperti dituturkan Gus Dur, Bisri juga pernah belajar pada Kiai Syu'aib Sarang dan Kiai Khalil Kasingan(kedua kiyai tersebut berasal dari  daerah Rembang), dua orang kiyai terkemuka di pesisir utara pada saat waktu itu. Dimungkinkan pendidikan di bawah kedua ulama itu ditempuhnya untuk jarak waktu yang singkat di masing-masing tempat, dan bisa jadi hal itu dilakukan pada saat bulan Ramadhan.

     Pada bulan tersebut pesantren menyediakan program pengajian khusus untuk jarak waktu se–bulan saja, digunakan untuk keperluan menyegarkan kembali orientasi para alumni terhadap perkem–bangan dalam memahami teks-teks utama dalam literatur keagamaan lama. Pesantren-pesantren uta–ma pada masa seperti itu menjadi ramai dengan kehadiran para alumni yang sudah menjadi ulama di tempat masing-masing, untuk mengikuti program penyegaran kembali itu.

     Selain itu, Bisri juga berguru seorang ulama besar di Jawa Tengah, tepatnya di Kampung Darat Semarang, yaitu Kiai Sholeh Darat (1820-1903M).Dia juga guru Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Mahfudz Termas dan ulama-ulama ternama saat itu.Kiai Saleh Darat belajar kepada Kiai Haji Syahid (Kiai Murtadlo), ulama besar keturunan Syekh Mutamakkin di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Sesudah itu dia belajar kepada beberapa ulama, di antaranya adalah Kiai Haji Muhammad Saleh bin Asnawi Kudus (ayah KHR. Asnawi, keturunan Syekh Mutamakkin), KH. Ishaq Damaran, KH. Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang), KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan KH.Abdul Ghani Bima, dan Kiai Ahmad (Muhammad) Alim Basayban Bulus Gebang Purworejo.

       Selanjutnya, Kiai Sholeh Darat pergi ke Mekkah dan berguru kepada Syekh Muhammad al-Muqri al Mishri al Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrowi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan Syekh Jamal-(Mufti Madzhab Hanafi). Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana, diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Kiai Tholhah Cirebon, Kiai Abdul Jamil Cirebon, Kiai Khalil Bangkalan Madura dan Kiai Hadi Girikusumo.

        Selain Bisri Syansuri, mereka yang belajar di pesantren Kiai Khalil Bangkalan juga menjadi murid-murid Kiai Sholeh Darat. Diantaranya yang menjadi ulama tersohor adalah Syekh Mahfudz Termas, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH. Idris (Pondok Pe–santren Jamsaren, Solo), Kiai Dahlan Termas (menantu), KH. Sya’ban bin Hasan (Ulama Ahli Falak di Semarang), KH Abdul Hamid Kendal, Kiai Dimyati Termas, Kiai Basir Rembang, KH. Nahrawi Dalhar (Pendiri pondok pesantren Watu–congol Muntilan, Magelang), KH. Munawwir Krapyak, Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H, menantu Kiai Shaleh Darat), Kiai Sya’ban binHasan Semarang, Kiai Abdul Hamid Kendal, Kiai Tahir (penerus pondok pesantren Mangkang Wetan Semarang), Kiai Sahli kauman Semarang, Kiai Khalil Rembang, Kiai Yasin Rembang, Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang, Kiai Abdus Shamad Sura–karta, Kiai Yasir Areng Rembang, serta Raden Ajeng Kartini, yang menjadi simbol kebanggaan kaum wanita Indonesia.

       Melihat jejaring kolega dan gurunya tersebut, Bisri hidup pada masa ketika pesantren tengah mengalami proses konsolidasi sebagai pusat pem–belajaran Islam dan basis pembentukan komunitas santri. Pesantren tidak hanya menghadirkan corak Islam yang semakin berbeda dari diskursus Islam berorientasi kolonial oleh penghulu, tetapi juga mengarah pada penciptaan ruang bagi proses vernakularisasi Islam. Hal ini makin memantapkan untuk berguru lagi kepada seorang ulama besar saat itu, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari Jombang.

No comments: